Opini

Pengelolaan Ratusan Triliun Dana Haji dan Transparansi BPKH

Kam, 4 Juni 2020 | 07:00 WIB

Pengelolaan Ratusan Triliun Dana Haji dan Transparansi BPKH

Nah, mengapa publik belakangan waswas bahkan curiga soal penggunaan ratusan triliun dana haji untuk kepentingan lain? Penyebab utamanya karena sejak dibentuk 2017 silam sampai sekarang, BPKH sebagai pengelola dana tidak transparan.

Oleh Mustolih Siradj

Keputusan Menteri Agama menerbitkan kebijakan pembatalan pengiriman jamaah haji untuk musim tahun 2020 M/1441 H baru-baru ini memang mendapat respons beragam. Ada yang pro dan ada yang kontra.


Yang menarik publik kemudian tergugah mempertanyakan bagaimana pengelolaan dana dari 4,2 juta calon haji yang menunggu giliran berangkat (waiting list) yang saat ini terkumpul kurang lebih Rp.135 triliun, termasuk juga Dana Abadi Ummat (DAU) yang berjumlah Rp 3,5 triliun sebagai hasil efesiensi penyelenggaraan ibadah haji.


Sejak terbitnya UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UUPKH) soal dana haji bukan lagi domain kewenangan Kementerian Agama tetapi menjadi tanggung jawab Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), lembaga yang berada langsung di bawah Presiden dengan tugas menerima, mengelola, dan menginvestasikan dana calon jamaah haji.


Agar bermanfaat dan tidak menganggur BPKH diberi kewenangan atas dana titipan tersebut (wadi’ah) tersebut untuk menginvestiasikan ke berbagai macam skema investasi berbasis syariah, supaya jamaah haji tunggu mendapatkan nilai tambah (profit) dan imbal hasil yang dikembalikan untuk jamaah.


Dana haji diatur sangat ketat, hanya diinvestasikan pada skema investasi syariah dan harus aman dari potensi kerugian. Oleh karenanya ia tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan sembarangan, termasuk untuk menalangi penguatan rupiah.


Apabila dana calon jamaah haji digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan UUPKH, seluruh pimpinan BPKH harus bertanggung jawab secara tanggung-renteng. Calon jamaah pun bisa mengajukan tuntutan hukum apabila ada ditemukan kerugian. Oleh karena itu pemberlakuan dana calon jamaah haji tidak dapat disamakan dengan mengelola uang negara seperti APBN atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bisa diotak-atik untuk berbagai kepentingan. BPKH harus ekstra hati-hati.


Nah, mengapa publik belakangan waswas bahkan curiga soal penggunaan ratusan triliun dana haji untuk kepentingan lain? Penyebab utamanya karena sejak dibentuk 2017 silam sampai sekarang, BPKH sebagai pengelola dana tidak transparan.


BPKH pun sampai sekarang belum menunjukkan kinerja yang maksimal sebagaimana ekspektasi dan harapan publik yang menginginkan pengelolaan dana haji sebagaimana tabungan haji di Malaysia yang memberikan manfaat dan dampak sangat positif signifikan bagi jamaah. Belum ada terobosan berarti BPKH, utamanya atas kebijakan investasi dari dana haji yang dapat memperoleh hasil secara signifikan dan memuaskan.


Soal transparansi, satu-satunya akses informasi terkait kinerja BPKH dan dana haji hanya bisa didapat melalui saluran laman website: https://bpkh.go.id/. Namun di dalam website tersebut mayoritas hanya berisi kegiatan internal dan seremonial pimpinan BPKH. Ada laporan tahun 2018 tentang keuangan haji tetapi sudah dimodifikasi sedemikian rupa, bukan menampilkan hasil audit  asli dari BPK. Padahal ada kewajiban BPKH menampilkan ke media secara luas.


Transparansi seharusnya menjadi pilar utama BPKH karena dalam UUPKH lembaga ini disebut sebagai Badan Hukum Publik terlebih seluruh operasional termasuk gaji pegawai dan pimpinan BPKH diambil dari keuntungan hasil investasi uang jamaah.


Dengan demikian konsekuensinya BPKH berkewajiban untuk melakukan transparansi sejelas-jelasnya kepada publik tentang berbagai hal misalnya capaian dan audit kinerja, rencana kerja dan anggaran (RKA), berapa jumlah jamaah yang mendaftar haji setiap bulan, dengan pihak mana saja bekerja sama/investasi, ke mana saja uang jamaah diinvestasikan, bagaimana sistem investasinya, berapa banyak imbal hasil setiap tahun/bulan yang diperoleh, berapa banyak manfaat investasi yang dijadikan ‘subsidi’ untuk penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya, berapa anggaran yang tersedot untuk kepentingan operasional dan gaji pimpinan dan karyawan BPKH, ke mana saja investasi di luar negeri ditempatkan, bagaimana dengan beban pajak, bagaimana implikasi pembatalan pemberangkatan haji tahun 2020 M terhadap keuangan haji di BPKH.


Semua informasi tersebut adalah informasi yang berhak diakses oleh publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP) karena BPKH berkedudukan sebagai badan hukum publik. Sayangnya, sampai saat ini BPKH belum memiliki struktur Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang secara khusus dan rutin bertugas menerima dan menyampaikan data/informasi kepada publik.


Karena minim transparansi, maka wajar saja bila publik sampai saat ini banyak pihak berspekulasi ke mana dan bagaimana sesungguhnya dana calon jamaah haji digunakan, dikelola, dan diinvestasikan. Terlebih pada saat kondisi sekarang mana kala perusahan investasi di sektor keuangan di berbagai negara tengah waswas menyalakan alarm kewaspadaan tingkat tinggi karena dibayang-bayangi krisis keuangan dan finansial karena masih didera pandemi Covid-19.


BPKH harus menjelaskan kepada publik bagaimana posisi dana jutaan calon jamaah haji yang diinvestasikan di berbagai jenis investasi baik yang di simpan di bank maupun nonbank, di dalam maupun di luar negeri, apakah memang benar-benar aman dan kuat dalam menghadapi krisis Covid-19 ini, tentu harus didukung dengan data-data yang solid dan meyakinkan.


Sebagai catatan, yang tidak banyak diketahui publik, hasil investasi dana haji ternyata sebagian besar digunakan untuk menyubsidi penyelenggaraan haji yang digelar setiap tahunnya. Biaya haji jamaah Indonesia sesungguhnya Rp.70 juta per orang, tetapi yang dibayar oleh jamaah pada tahun berjalan sampai pelunasan (yang berangkat ke tanah suci) hanya setengahnya yakni di kisaran Rp.35 juta per orang.


Dengan kata lain, jamaah haji tunggu ternyata menyubsidi biaya jamaah haji yang berangkat. Bukankah model subsidi semacam ini berpotensi melanggar aturan syariah (karena syarat berangkat haji adalah bagi yang mampu, bukan yang disubsidi) dan memunculkan ketidakadilan? Maka manakala biaya haji jamaah Indonesia dinarasikan sebagai termurah di antara negara-negara lain sebenarnya sangat tidak tepat. Ternyata murah karena ada subsidi.


Karena itu belum terlambat bagi BPKH untuk menata lembaganya agar menjalankan asas transparansi dan profesionalitasnya sehingga mendapat simpati dan kepercayaan publik serta memberikan keadilan bagi jutaan calon jamaah yang menitipkan uangnya. Tanpa transparansi yang terukur sangat sulit BPKH menjadi lembaga yang dipercaya publik.


Penulis adalah Ketua Komnas Haji dan Umrah. Ia juga pengajar pada UIN Syarif Hidayatullah.