Opini

Pendidikan Jiwa Agama di Era 4.0

Rab, 27 November 2019 | 03:30 WIB

Pendidikan Jiwa Agama di Era 4.0

Penanaman jiwa agama ini salah satunya bertujuan agar anak didik tidak terperosok ke dalam pola pikir dan belajar agama yang instan di internet dan media sosial.

Oleh Fathoni Ahmad

Masyarakat abad 21 semakin tidak bisa terlepas dari perangkat digital sebagai bagian dari perkembangan teknologi di era revolusi industri 4.0 saat ini. Bahkan, dunia ini yang tadinya menyempit menjadi sebuah kampung global (global village) saking mudahnya interaksi dan arus informasi di dalam genggaman, berkembang ke arah pola pikir, kecenderungan, sikap, dan perilaku yang ingin serba cepat, instan, simpel, dan sebagainya sehingga memunculkan disrupsi di segala bidang termasuk pendidikan.

Disrupsi teknologi yang mengubah hampir seluruh pola kehidupan seseorang tersebut tetap harus diimbangi dengan internalisasi atau persemayaman jiwa agama dalam setiap sendi-sendi kehidupan, terutama dalam proses pembelajaran. Penanaman jiwa agama ini salah satunya bertujuan agar anak didik tidak terperosok ke dalam pola pikir dan belajar agama yang instan di internet dan media sosial.

Salah seorang guru bangsa, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) selalu menekankan adab ketimbang ilmu. Sebab baginya, ilmu tidak akan bermanfaat secara luas jika tidak ditopang dengan adab yang baik, baik kepada guru, orang tua, dan orang lain. Hal ini bukan bermaksud mengesampingkan ilmu, tetapi upaya memberikan pondasi kokoh terhadap ilmu itu sendiri. Prinsip ini tentu relevan di tengah instanisasi pengetahuan di era disrupsi teknologi.

Di antara hal penting dalam setiap penyampaian materi pelajaran yaitu usaha untuk menyisipkan nilai-nilai agama dan moral sosial bahkan di dalam ilmu umum sekalipun. Belakangan, langkah ini disebut dengan pendidikan karakter. Tetapi sebelum pendidikan karakter ramai diperbincangkan pada 2006 silam, metode insersi lebih dahulu muncul.

Metode insersi adalah upaya menginternalisasi jiwa agama dalam bentuk nilai-nilai spiritual, moral, dan intelektual melalui ilmu-ilmu umum. Tulisan singkat ini bermaksud mengurai strategi penanaman (internalisasi) nilai-nilai agama atau jiwa agama melalui ilmu umum. Cara ini bisa diterapkan dengan tetap mendasarkan pada kecenderungan generasi milenial yang tidak lepas dari konten-konten di internet dan media sosial.

Metode ini diterapkan agar siswa tidak terlepas dari nilai-nilai spiritual di setiap ilmu yang dipahaminya. Hal ini dapat mewujudkan generasi kokoh, baik dalam sisi moral, sosial, dan intelektual. Tentu kecakapan komplit ini sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu memanusiakan manusia sehingga manusia tersebut juga mampu memanusiakan manusia lain. Tujuan ini menjadi bukti bahwa pendidikan melalui penerapan jiwa agama merupakan investasi sepanjang hayat (life long investment).

Metode insersi dapat dilakukan oleh guru sebagai agenda kurikulum tersembunyi (hiden curriculum). Maksud tersembunyi ini yaitu menyisipkan nilai-nilai agama ketika menerangkan materi atau mengadakan evaluasi materi. Hal ini dilakukan agar guru tidak dinilai mencampuradukkan berbagai materi oleh siswa.

Sebab tidak bisa dipungkiri, ada sebagian siswa yang merasa bosan dengan yang namanya ceramah. Dengan kata lain merasa tidak menarik untuk diceramahi. Di titik inilah guru harus mampu membuat pemahaman bahwa nilai-nilai agama sangat penting diperhatikan oleh siswa di setiap mereka mempelajari ilmu umum.

Berikut contoh simpel metode penerapan jiwa agama melalui ilmu sejarah dan bisa diaplikasikan ke ilmu-ilmu umum lain.

Di zaman agresi Belanda kedua 1945-1947, bangsa Indonesia yang terdiri dari tokoh nasional, santri, dan para ulama berjuang matian-matian untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia walau dengan peralatan perang dan jumlah prajurit seadanya. Secara perhitungan rasional, ketika itu Indonesia tidak akan mampu memenangkan perang melawan sekutu berdasarkan jumlah dan mutu persenjataan yang ada. Teori dan teknik perang melawan tentara yang telah memenangkan perang dunia kedua, kekuasaan ekonomi dan belanja perang.

Tetapi kenyataannya Indonesia melalui semangat jihad mengusir sekutu yang digawangi oleh para ulama dan santri di Surabaya berhasil memenangkan peperangan itu, lalu benar-benar terlepas dari belenggu penajajahan sehingga merdeka. Hal itu berkat semangat jihad suci bangsa Indonesia yang pantang menyerah dalam melawan kolonialisme. Berkat pertolongan dari Allah SWT karena rakyat Indonesia dalam kebenaran mempertahankan haknya yang benar dengan niat ikhlas.

Demikian metode dan strategi sederhana menyemayamkan jiwa agama yang diterapkan ke dalam ilmu sejarah. Sehingga disamping faktor kemanusiaan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, siswa juga dapat memahami bahwa faktor spiritual juga ikut menjadi penopang keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia.
 
Penanaman jiwa agama ini membidik dua sasaran sekaligus. Pertama, di era disrupsi teknologi dan perkembangan revolusi industri 4.0 ini, kekeringan spiritual dapat teratasi. Kedua, melimpahnya konten-konten keagamaan di media sosial harus diimbangi dengan penanaman jiwa agama yang baik dan benar sehingga tidak termakan oleh hoaks dan kecenderungan pemahaman agama yang instan.
 

Penulis adalah Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta