Opini

Ormas Islam, Ideologi dan Negara

Kam, 23 Agustus 2018 | 06:00 WIB

Oleh Warsa Suwarsa

Negara yang baru diproklamasikan Bangsa Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta sesuai dengan kesepakatan para founding father adalah negara kesatuan yang berdiri di atas landasan kebangsaan. 

Sembilan belas tahun sebelum Indonesia merdeka, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari menggunakan istilah “wathaniyyah” untuk sebuah negara yang berdiri di atas landasan kebangsaan ini. Ungkapan “hubbul wathan minal iman” –beberapa waktu lalu, terutama di era Orde Baru, disangka sebagai sebuah hadits- merupakan produk asli Hadratussyaikh. 

Menurut Buya Syafi’i Maarif,  penempatan landasan kebangsaan terhadap negara baru bernama Indonesia merupakan hal yang tepat karena sesuai dengan akar sejarah bangsa Indonesia sendiri.

Memang harus diakui, selama kurun waktu hampir satu abad ini telah terjadi diskursus panjang antara tiga kelompok atau golongan; golongan agama, nasionalis, dan komunis terhadap ideologi dan landasan berpijak negara Indonesia. Golongan ketiga dapat dikatakan telah tersingkirkan secara permanen di negara ini meskipun secara laten dapat saja sedang membangun kekuatan baru (baca: Neo Komunisme). Namun tetap saja, diskursus panjang tersebut sama sekali tidak pernah mengubah arah pikiran utama tentang ideologi negara kebangsaan kita. 

Kelompok agama dan nasional di negara ini begitu berbeda dengan apa yang terjadi di wilayah jajahan lain; misalnya Timur Tengah, dua kelompok antara agama dengan nasionalis ini selalu berseberangan karena memiliki perbedaan pandangan ideologi.

Kelompok agama baik dalam Islam atau agama lainnya di negara ini juga dapat dikatakan terbagi ke dalam dua aliran: kelompok fundamentalis dan moderat. Para pendiri organisasi-organisasi besar Islam seperti Nahdlatul Ulama dan  Muhammadiyah merupakan perwakilan dari organisasi Islam moderat. Mengapa dikatakan demikian? 

Pertama, pendirian kedua organisasi tersebut tidak dilatarbelakangi oleh motivasi pendirian negara agama. Kedua, Muhammadiyah dan NU didirikan atas dasar kondisi sosial-kultural yang berkembang di jamannya. Oleh sebab itu, sebagai  adik dan kakak “seperguruan” antara KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari tidak saling kejar-mengejar di dalam memajukan kedua oranisasi ini.

KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan target utama masyarakat urban perkotaan. Sudah tentu, strategi dakwah dan ajakannya melalui pendidikan dan pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan masyarakat perkotaan. Harus diakui, memang ada beberapa anggota yang kurang tepat dalam memahami pernyataan-pernyataan KH Ahmad Dahlan, misalnya pandangan terhadap perayaan Maulid Nabi. 

KH Hasyim Asy’ari mengirimkan risalah kepada KH Ahmad Dahlan, perayaan Maulid Nabi memang tidak dibenarkan ketika diisi oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai seorang kakak, KH Ahmad Dahlan mengacungkan jempol atau membenarkan terhadap pandangan Hadratussyaikh ini.

Sementara itu, Hadratusyaikh mendirikan NU pada tahun 1926 lebih menitikberatkan pada pembanguna karakter di masyarakat rural-perdesaan. Dakwah dan strategi yang dikembangkan oleh beliau sudah tentu lebih dititikberatkan pada persoalan “kaifiyat” atau hal-hal praktis tidak sekadar teori. 

Sebagai seorang ahli hadits, beliau telah membangun sebuah masyarakat baru, pranata baru, masyarakat yang tidak perlu ruwet dalam memperdebatkan hadits dan dalil, teori dan pandangan-pandangan yang justru lebih membingungkan masyarakat perdesaan. Hadratussyaikh tidak sekadar menerapkan strategi praktis, juga telah membentuk pemikiran yang gradual terhadap pentingnya bangsa ini dalam mencitai tanah airnya sendiri.

Maka, pendirian dua pranata sosial dan kultural di atas sebenarnya telah dapat dijadikan alasan yang kuat bahwa negara ini tidak dipaksakan oleh para pendiri bangsa untuk menjadi negara agama atau negara federal yang dapat saja menimbulkan sektarianisme. Ada beberapa pandangan dari kelompok fundamentalis-legalis yang menyebutkan: pembentukan negara kebangsaan atau nasionalisme merupakan pengkhiatan terbesar terhadap amanat perjuangan para ulama dan santri. Dihapusnya tujuh kata dalam sila pertama hasil Piagam Jakarta merupakan pengebirian terhadap aspirasi mayoritas yang telah berjuang penuh dalam memerdekaan negara ini. Sebagian besar dari mereka mengira ulama-ulama yang menyokong Sila Ketuhahan Yang Maha Esa merupakan para ulama yang mengebiri ulama-ulama yang telah melahirkan Jakarta Charter.

Padahal tidak demikian, tidak dapat dipungkiri para ulama dan tokoh-tokoh nasionalis di negara ini merupakan orang-orang yang lebih mementingkan keutuhan dan kesatuan persatuan bangsa. Jika kita merujuk kepada kaidah dalam ushul fiqh, justru para ulama di negara ini telah benar-benar mengaplikasikan nilai Islam daripada sekadar syariatnya. Akhlaq atau tasawuf sebagai bagian paling krusial dalam ajaran Islam telah benar-benar diterapkan oleh para ulama pendiri negara ini. Dengan dihilangkannya kalimat: Kewajiban dengan Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya menjadi Ketuhahan Yang Maha Esa justru telah mengangkat nilai luhur umat Islam di Indonesia ke derajat di atas manusia. Harus dikatakan, para ulama pendiri negara ini telah menempatkan akhlak terpuji dari sekadar teori yang hanya berkembang dalam wacana kehidupan.

Selama dua dekade terakhir, kekuatan kanan dari kelompok fundamentalis agama lahir di kampus-kampus dan Sekolah Menengah Atas. Pemantik yang dijargonkan oleh para makelar ideologi agama ini antara lain: negara perang, hukum thogut, dan jahiliyah. Mereka membenamkan ke dalam diri para korban,  pemikiran semangat dan kerinduan mereka terhadap penerapan hukum jinayat. Alasan yang disampaikan kepada sasaran “cuci otak” adalah masa kejayaan Islam yang dikisahkan secara serampangan tanpa membeberkan sejarah Islam secara komprehensif dan adil. Puncaknya terjadi pada tahun 2017, negara dengan sungguh-sungguh telah membubarkan kelompok fundamentalis agama yang telah nyata-nyata memiliki keinginan mengganti bentuk negara kebangsaan dengan sistem khilafah, sebuah sistem yang sangat asing dengan kultur dan kehidupan masyarakat kita.

Tetapi tetap saja, meskipun telah dirongrong baik oleh pemikiran dari luar dan dalam, negara kebangsaan, NKRI tetap ajeg bendiri dalam kurun waktu hampir delapan dekade. Komunisme yang telah mengakar di wilayah-wilayah Indocina dari China hingga Vietnam pada media abad ke-20  hanya dapat menyebrangkan ide-ide dan pemikirannya tanpa berhasil mendirikan negara komunis di negara ini. Yang berkembang akhir-akhir ini justru sebuah kalimat sederhana namun dipenuhi oleh nilai heroisme: NKRI harga mati!


Penulis adalah guru MTs Riyadul Jannah, Sukabumi