Opini

Omnibus Law Cipta Kerja: Potret Bagaimana Demokrasi dan Hukum Dimanipulasi

Sel, 13 Oktober 2020 | 14:45 WIB

Omnibus Law Cipta Kerja: Potret Bagaimana Demokrasi dan Hukum Dimanipulasi

Aksi demontrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Jakarta. (Foto: Mustoleh Siroj)

Oleh: Abdil Mughis Mudhoffir dan Rafiqa Qurrata A’yun


Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai kontroversi. Pengesahan undang-undang yang lebih dikenal sebagai Omnibus Law Cipta Kerja ini memicu demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan berbagai wilayah lain. Sedikitnya seribu demonstran telah ditahan dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. 

 

Sejumlah kalangan menilai aturan yang telah merevisi 79 undang-undang ini berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya terkait isu perburuhan dan perlindungan terhadap lingkungan. 

 

Banyak kritik juga mempersoalkan proses penyusunan yang terburu-buru dan tanpa disertasi proses konsultasi publik yang memadai. Hal ini tentu saja memicu kecurigaan adanya upaya menutup-nutupi kepentingan pihak yang diuntungkan oleh undang-undang ini.

 

Namun demikian, pemerintah dan DPR mengelak dari berbagai kritik tersebut dengan menyatakan bahwa mereka telah memenuhi syarat formal penyusunan perundang-undangan, termasuk prinsip transparansi dan partisipasi publik. Mereka mengklaim bahwa representasi dari kalangan buruh dan akademisi telah dilibatkan selama perumusan dan pembahasan naskah RUU, meskipun tentu saja kualitas partisipasi tersebut sangat dapat diperdebatkan. 

 

Pemerintah telah begitu jauh membuat narasi tandingan untuk mengaburkan persepsi publik tentang undang-undang ini. Presiden Joko Widodo (Widodo) menyebut kritik dan penolakan terhadap UU Cipta Kerja didasarkan pada ‘disinformasi dan hoaks’ yang tersebar di media sosial. Sementara itu, pemerintah juga terus-menerus menekankan bahwa UU Cipta Kerja justru akan membuka lapangan kerja yang lebih luas serta tidak akan mengancam lingkungan, terlepas dari banyaknya kritik yang menyatakan sebaliknya.

 

Bagaimanapun, cara pemerintah dan DPR mengonstruksi legitimasi undang-undang dan definisi representasi proses legislasinya dalam versi mereka sendiri telah mengabaikan sebagian besar kritik. Cara seperti ini pada akhirnya merusak tatanan hukum dan demokrasi. Ini menunjukkan bagaimana sistem hukum liberal telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk melayani kepentingan aliansi bisnis dan politik, yang pada akhirnya berkontribusi memperparah kerusakan demokrasi di Indonesia. 

 

Menurut kami, manipulasi demokrasi dan supremasi hukum (rule of law) itu dimungkinkan oleh fakta bahwa tantangan terhadap aliansi bisnis-politik sejauh ini tidak terkoordinasi. Tidak ada representasi kekuatan pro-reformasi di DPR. Akibatnya, tantangan yang berarti terhadap manuver-manuver anti-demokrasi juga absen. Sebagian besar partai politik, termasuk yang menjadi oposisi, memiliki posisi yang kurang lebih sama dengan pemerintah, melayani kepentingan elite bisnis dan politik.
 

Di antara masyarakat sipil, gerakan sosial juga sangat terfragmentasi. Masing-masing cenderung berfokus pada isu sektoral mereka sendiri. Akibatnya, mereka juga rentan terserap dalam kepentingan rente. Pendekatan advokasi sebagian besar organisasi masyarakat sipil juga cenderung elitis; membangun hubungan personal dengan pejabat politik atau dengan memainkan opini publik dalam upaya memengaruhi kebijakan.

 

Pendekatan semacam ini sulit untuk dapat menjadi ancaman serius bagi kekuatan anti-demokrasi. Alhasil, kritik terhadap suatu kebijakan bermasalah mudah diabaikan, sementara mekanisme demokrasi dan hukum dengan mudahnya dimanipulasi untuk tujuan-tujuan illiberal.
 

Memanipulasi Demokrasi

Manipulasi demokrasi dan hukum untuk tujuan-tujuan illiberal sebenarnya bukan fenomena baru di Indonesia. Hanya saja, Jokowi telah mempertontonkan hal itu secara lebih gamblang. Contohnya adalah saat pemerintahan Jokowi bersama DPR berhasil memereteli kekuasaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga demokrasi yang paling dipercaya oleh publik. Upaya serupa juga telah dilakukan pada era presiden sebelumnya, namun gagal

 

Keberhasilan Jokowi dalam melemahkan KPK di antaranya disebabkan oleh kondisi masyarakat sipil yang jauh lebih terfragmentasi, sementara kekuatan anti-demokrasi semakin terkonsolidasi. Banyak pejabat polisi dan militer, misalnya, yang menempati posisi strategis dalam arena politik, yang juga berperan aktif dalam merepresi gerakan perlawanan. Demonstrasi minggu ini adalah kelanjutan dari gerakan #ReformasiDikorupsi yang pada tahun lalu telah menewaskan lima mahasiswa.

 

Tendensi otoriter Jokowi juga semakin memburuk, terlihat dari bagaimana pandemi Covid-19 telah dieksploitasi untuk melayani kepentingan-kepentingan anti-demokrasi, yang pada akhirnya memperburuk penanganan wabah. 

 

Dengan dalih penerapan jarak sosial yang membatasi aksi protes, misalnya, Jokowi dan partai penguasa di DPR telah begitu ngotot mendorong sejumlah undang-undang bermasalah yang pada demonstrasi tahun lalu telah ditolak. Revisi RUU Mineral dan Tambang Batu Bara (Minerba), misalnya, telah begitu mudah diloloskan oleh DPR di tengah banyaknya kritik yang diberikan atas ancaman terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. 

 

Jalan Buntu Jalur Hukum

Jalur-jalur hukum yang dapat digunakan untuk menentang undang-undang yang illiberal ini telah dibajak oleh kekuatan-kekuatan anti-demokratis.

 

Bulan lalu, revisi atas UU Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah disahkan dengan tergesa di tengah gempuran protes. Undang-undang ini telah mengubah masa jabatan hakim konstitusi yang semula dibatasi lima tahun, menjadi 15 tahun. Batas usia hakim konstitusi juga diubah menjadi 70 tahun, yang berarti sepuluh tahun lebih lama dibandingkan ketentuan sebelumnya.

 

Para aktivis menilai perubahan tersebut sebagai ‘hadiah’ bagi hakim yang kini menjabat, yang membuka peluang-peluang keuntungan politis kepada elite yang berkuasa. Ketentuan baru ini juga telah menghapus Pasal 59 Ayat (2) yang mewajibkan presiden dan DPR untuk menindaklanjuti perubahan undang-undang yang telah diuji. Perubahan UU MK ini dengan demikian patut dinilai sebagai bentuk antisipasi terhadap permohonan uji materi atas sejumlah undang-undang bermasalah, termasuk diantaranya adalah UU Cipta Kerja.

 

Merespons kemarahan publik atas pengesahan UU Cipta Kerja, pemerintah bersikeras mendorong agar pihak-pihak yang memprotes ketentuan ini dapat menempuh jalur hukum dengan mengujinya di Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena pemerintah telah memperhitungkan dengan matang ihwal kecilnya kemungkinan penggugat undang-undang memenangkan perkara. 

 

Lebih dari itu, menempuh jalur hukum justru berisiko mengalihkan tantangan politik menjadi persoalan teknokratik belaka. Hal ini juga berisiko mendistraksi masalah yang sesungguhnya: bagaimana hukum dan demokrasi telah dimanipulasi untuk kepentingan penguasa.

 

Upaya membatalkan undang-undang dengan mendesak Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) juga merupakan jalan buntu mengingat presidenlah yang menginisiasi terbentuknya UU Cipta Kerja. Jokowi melalui juru bicaranya juga telah menyatakan bahwa ia tidak akan menerbitkan Perppu semacam itu.

 

Riwayat pemerintahan Jokowi juga telah menunjukkan bagaimana ia begitu gigih mempertahankan undang-undang yang sangat bermasalah. Sebelumnya ia telah menolak menerbitkan Perppu untuk mencabut revisi UU KPK sebagaimana dituntut oleh mahasiswa dalam aksi-aksi demonstrasi tahun 2019 lalu.

 

Akan tetapi, jika pun Jokowi pada akhirnya menerbitkan Perppu, hal itu tetaplah bukan jawaban atas telah mendarahdagingnya persoalan sistem ekonomi-politik illiberal yang menormalisasi berbagai manipulasi demokrasi dan hukum. 

 

Menempuh jalur hukum dengan demikian adalah sebuah ‘jebakan’ yang telah disiapkan oleh elemen-elemen anti-demokrasi yang telah memanipulasi sistem yang ada saat ini untuk melayani kepentingan mereka semata.

 

Pada akhirnya, sulit disangkal bahwa proses hukum tak bisa lagi diandalkan dalam menjawab permasalahan ini. Pembela demokrasi di Indonesia harus melangkah melampaui ‘jebakan’ tersebut.

 

*Tulisan ini diterjemahkan oleh Abdil Mughis Mudhoffir dan Rafiqa Qurrata A’yun dari “Omnibus law shows how democratic process has been corrupted” yang dimuat di Indonesia at Melbourne pada 12 Oktober 2020 dengan sejumlah penyuntingan. Penerjemahan dan penerbitan di NU Online seizin penulis dan penerbit.