Opini NU DAN ASAS PANCASILA (2)

NU-Negara Nasional dan Formulasi KH Achmad Siddiq

Sen, 21 November 2016 | 02:00 WIB

NU-Negara Nasional dan Formulasi KH Achmad Siddiq

NU-Negara Nasional dan Formulasi KH Achmad Siddiq

Menurut para founding fathers NU, Islam yang diperjuangkan fiddin waddunya wal akhirah dinamakan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, yang mengakui empat madzhab fiqih yang berkembang (Maliki, Hanafi, Syafii dan Hanbali), bertasawuf menurut tradisi Imam Junaid, Imam al-Ghazali dan imam-imam lain di lingkungan Ahlussunnah wal Jama’ah, dan beri’tiqad mengikuti jalan Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar NU dalam berbagai periode tahun. Oleh generasi berikutnya, hal ini kemudian disebut Ahlussunnah wal Jama’ah an- Nahdliyah, Ahlussunnah wal Jama’ah yang berlaku di lingkungan NU, yang berpijak dalam konteks masyarakat Indonesia dan Nusantara.

Islam yang demikian, oleh KH Achmad Siddiq kemudian diformulasi dengan nama Islam rahmatan lil `alamin, jauh sebelum Gus Dur mengemukakan istilah-istilah Islam rahmatan lil `alamin dalam tulisan-tulisannya.

KH Achmad Shidiq mengatakan: “Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-pribadi Muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam, serta mengembangkannya sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmat bagi seluruh alam” (KH Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, hlm. 12). Rais Am PBNU tahun 1984-1991 itu, juga menegaskan bahwa ciri-ciri diniyah Nahdlatul Ulama itu tercermin pada beberapa hal, di antaranya: “Bercita-cita keagamaan, yaitu izzul islam wal muslimin menuju rahmatan lil`alamin.” (hlm. 15).

Islam rahmatan lil`alamin itu, penamaannya mengambil dari banyak ayat Al-Qur’an yang menyebutkan di antaranya wama arsalnaka illa rahmatan lil`alamin (QS. Al-Anbiya ayat 107).

Dalam ayat ini, terdapat beberapa riwayat yang menyebut Nabi sebagai rahmat yang membentang dan rahmat untuk sekalian alam. Di antara beberapa riwayat itu disebutkan dalam Tafsir Durrul Mantsur fi Tafsir al- Ma’tsur, yaitu riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah berkata: “Dikatakan kepada Rasulullah: ud`u `alal musyrikin. Nabi ber sabda: “inni lam ub`ats la’anan, wainnama buitstu rahmatan”; hadits lain dikeluarkan al- Baihaqi dalam ad- Dala’'il dari Abu Hurairah dengan kata: “innama ana rahmatun mahdatun”; ada juga hadis dari Ibnu Hamid dari Ikrimah berkata: “Dikatakan kepada Nabi Muhammad: “Ya Rasulallah ala tal`anu quraisyan bima atau ilaika.” Nabi bersabda: “Lam ub`ats la`anan, innama buitstu rahmatan”; dan juga diriwayatkan oleh Imam athThayalisy, Ahmad, Thabrani, dan Abu Nuaim dalam ad-Dala’ il, dari Abu Umamah berkata: “Berkata Rasulullah Saw.: “Innallaha ba`atsani rahmatan lil `alamin wa hudan lilmuttaqin” (Jalaluddin as- Suyuthi, Durrul Man tsur fi Tafsir al-Ma’tsur, Jilid X, hlm. 405-406).

Menyimak dari hadits-hadits Nabi itu, ketika diminta melaknat dan mencaci orang-orang Quraisy, justru Nabi Muhammad menimpali: “Saya tidak diutus sebagai caci maki (tidak untuk mencaci maki), tetapi sesungguhnya aku diutus sebagai rahmat (untuk menebarkan kasih sayang).” Islam yang diajarkan itu adalah Islam yang mengedepankan akhlak mulia, bukan hanya pada dimensi apa yang diperjuangkan di mana Islam itu memang mulia, tetapi juga cara-cara memperjuangkan pun dengan akhlak yang mulia.

Oleh KH Achmad Siddiq watak dan ciri-ciri Islam rahamatan lil `alamin itu, disebutkan oleh Al-Qur’an sendiri yang kemudian disimpulkan dengan tiga hal penting: at-tawasuth (QS. Al-Baqarah  ayat 143), al-i’tidal (al- Ma’idah ayat 9), dan at-tawazun (QS. Al-Hadid ayat 25). Di dalam Khittah NU kemudian ditambah lebih lengkap dengan at- tasamuh, dan amar ma’ruf nahi munkar, yang sebelumnya dilengkapi juga dengan Mabadi’ Khaira Ummah (MKU) yang digagas KH Mahfudz Siddiq, yaitu ash-shidqu, al-amanah wa al-wafa bil `ahdi, dan at-ta`awun (disetujui Muktamar NU tahun 1937), yang ditambah pada Muktamar NU tahun 1992 di Lampung dengan dua hal penting, yaitu al-`adalah dan al-istiqamah.

Bentuk dari implementasi sikap at-tawasuth di dalam masalah kenegaraan, menurut KH Achmad Siddiq, tercermin dari sikap dan pandangan Nahdlatul Ulama yang melihat bahwa: (1) Negara nasional yang didiri kan bersama oleh seluruh nasion/ rakyat wajib dijaga dan dipelihara eksistensinya; (2) Penguasa Negara yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, atau memerintah ke arah yang tidak bertentangan dengan hukum Allah; (3) Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui tatacara yang sebaik-baiknya (KH Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, hlm. 66).

Meski begitu haruslah disadari bahwa peran NU dalam merumuskan dasar negara dan pandangannya dalam bentuk kenegaraan, mengalami proses panjang, baik di dalam adu argumentasi ataupun dalam sejarah politiknya, termasuk dalam riak-riak kecil dan besarnya di tengah gejolak Geosospolek bangsa Indonesia. Dari sudut ini bisa dilihat dari peran NU dalam merumuskan pandangan kenegaraan sebelum Republik Indonesia berdiri, pada masa pendirian bangsa zaman BPUPKI-PPKI, setelah itu dalam perdebatan tahun 1955 di sidang Konstituante, penerimaan Pancasila dan UUD 1945 di dalam Dekrit Presiden Soekarno, dan kemudian sampai pada perumusan dalam soal Pancasila dan asas Pancasila di Munas Alim Ulama tahun 1983 dan Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo.

Dari sejumlah peristiwa sejarah itulah, kemudian para kyai NU memberikan argumentasi dan formulasi argumentatifnya, agar bisa dimengerti generasi-generasi baru, seperti yang dilakukan KH Achmad Siddiq, KH Muchit Muzadi, KH Abdurrahman Wahid, KH Masdar Farid Mas`udi, dan banyak tokoh lain. Wallahu a’lam.

Penulis adalah anggota PP RMINU dan alumnus Pondok Pesantren Darunnajah Banyuwangi