Opini

NU dan Tantangan Kesehatan Umat

Senin, 10 Februari 2025 | 17:11 WIB

NU dan Tantangan Kesehatan Umat

Logo Nahdlatul Ulama (Foto: NU Online)

Nahdlatul Ulama (NU) lahir dari kegelisahan, tentang bagaimana menjaga umat, mendidik masyarakat, dan memperjuangkan kesejahteraan bangsa. Sejak didirikan pada 16 Rajab 1344 H, NU tak hanya menjadi mercusuar ilmu, tetapi juga garda terdepan dalam membela hak-hak sosial, kesehatan, dan kemaslahatan umat. Namun, di tengah perayaan menuju khidmat NU memasuki abad ke-2, ada tantangan besar yang harus dihadapi generasi muda NU hari ini, yaitu epidemi merokok di kalangan remaja. 


Industri rokok selama bertahun-tahun telah menyusup ke setiap lini kehidupan masyarakat, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya adalah anak-anak dan remaja berusia 10-18 tahun. Lebih rinci, kelompok usia 15-19 tahun merupakan perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%).


Angka-angka ini mencerminkan betapa seriusnya masalah ini. Industri rokok secara agresif menargetkan generasi muda, memanfaatkan celah regulasi dan kurangnya pengawasan untuk mempromosikan produk mereka.  Iklan terselubung melalui media digital, promosi lewat influencer, serta sponsor acara musik dan olahraga masih menjadi strategi utama industri dalam menjaring konsumen baru. Ironisnya, pelajar dan anak muda di kalangan NU yang turut menjadi sasaran eksploitasi ini.


Sebagai bagian dari Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), saya melihat sendiri bagaimana rokok menjadi bagian dari lingkungan sosial yang sulit dihindari. Rokok dijual bebas di warung dekat sekolah, iklan terselubung merajalela di media digital, dan anak-anak muda dibuat percaya bahwa merokok adalah bagian dari gaya hidup keren. 


Padahal, ini bukan sekadar kebiasaan, ini adalah jebakan yang dirancang agar kita menjadi konsumen setia industri rokok seumur hidup. Seperti hal nya di lingkungan belajar pelajar NU, rokok masih sering dianggap sebagai hal biasa, bahkan sebagai “teman” dalam diskusi keagamaan atau kegiatan sosial. 


Seringkali hal ini menjadi wajar untuk sebagian orang, tetapi menyakiti pula sebagian orang karena tidak mendapat ruang bebas asap rokok. Namun, kita harus mulai mempertanyakan: apakah warisan ini layak dipertahankan ketika kita tahu dampaknya begitu merusak?


Tahun lalu, Pemerintah telah mengambil langkah progresif dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang mengatur pengamanan zat adiktif pada Pasal 429 hingga 463. Beberapa poin penting dalam regulasi ini meliputi menaikkan usia minimum pembelian rokok dari 18 menjadi 21 tahun, melarang penjualan rokok secara eceran dan penjualan kepada anak-anak di bawah usia 21 tahun serta perempuan hamil, melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dan melarang iklan rokok dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, hingga melarang iklan, promosi, dan sponsorship rokok di media berbasis digital.. 


Melihat hal ini, PP ini seharusnya bisa menjadi tameng utama perlindungan generasi muda dari agresivitas industri rokok.. Namun, seberapa efektif implementasinya? Hingga kini, kita masih melihat influencer yang diam-diam mempromosikan rokok elektronik, brand rokok menyelinap dalam acara musik, konten yang menyamarkan iklan rokok sebagai bagian dari budaya anak muda. Tanpa pengawasan ketat, industri rokok akan terus mencari celah.


Di sinilah NU memiliki peran strategis. Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU harus menjadi garda terdepan dalam memastikan kebijakan ini tidak sekadar aturan di atas kertas, tetapi benar-benar diterapkan secara efektif. Kekuatan jaringan pesantren dan komunitasnya yang dimiliki NU dapat menjadi benteng edukasi dalam membangun kesadaran tentang bahaya rokok dan sisi lain industri rokok. 


Lebih dari itu, Pimpinan NU di setiap wilayah bisa mengoptimalkan perannya untuk memperkuat regulasi kawasan tanpa rokok di sekolah, pondok pesantren, dan lingkungan sosial lainnya agar terwujud ruang belajar yang sehat untuk semua golongan.


Penguatan ekonomi umat melalui inisiatif yang lebih sehat dan berkelanjutan seharusnya menjadi agenda utama. Namun, cukai rokok sering dianggap sebagai 'pahlawan' pendapatan negara, padahal kita tidak boleh mengabaikan dampak negatifnya terhadap kesehatan dan ekonomi jangka panjang akibat tingginya konsumsi produk tembakau. 


Sayangnya, kenaikan cukai rokok yang direncanakan pada tahun 2025 dibatalkan, meskipun cukai ini seharusnya berfungsi untuk pengendalian konsumsi. Sebagai gantinya, yang mengalami kenaikan justru Harga Jual Eceran (HJE), yang justru memberi keuntungan lebih besar bagi industri rokok.

 

Alih-alih bergantung pada industri yang merugikan kesehatan, NU dapat mendorong wacana ekonomi alternatif yang lebih berfokus pada kesejahteraan bersama, seperti pemberdayaan usaha mikro berbasis kesehatan dan inovasi produk halal yang lebih aman bagi masyarakat.


NU bukan sekadar organisasi keagamaan, tetapi juga kekuatan sosial yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah kebijakan publik. Semangat daya juang para Alim Ulama NU yang diwariskan patut dijadikan pondasi agar menjadi motor penggerak dalam memastikan implementasi PP No. 28 tahun 2024 berjalan optimal. Sebab, kesehatan adalah hak setiap individu dan bagian dari pilar kemaslahatan umat, karena itu perlindungan atas hak ini adalah tanggung jawab kita bersama.


Sebagai generasi muda NU, kita tidak boleh diam. Kita bisa menjadi pengawas sosial dengan melaporkan pelanggaran iklan dan promosi rokok di media digital kepada otoritas terkait. Kita juga dapat mendorong edukasi berbasis agama, mengangkat perspektif fiqih bahwa merokok bukan sekadar pilihan pribadi, tetapi juga memiliki dampak sosial dan kesehatan yang besar bagi umat.

 

Media sosial harus dimanfaatkan sebagai alat perlawanan untuk melawan normalisasi rokok dengan edukasi dan kampanye digital. Lebih jauh, kita bisa turut serta dalam mengadvokasi kebijakan pengendalian rokok dengan bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya untuk memastikan aturan ditegakkan dengan tegas. 


Komitmen NU dalam mendukung kebijakan yang melindungi kesehatan publik bukanlah hal baru. Sejak lama, NU telah menunjukkan sikap tegas dalam isu-isu yang berkaitan dengan kemaslahatan umat, termasuk dalam persoalan kesehatan. Maka, pada momentum Hari Lahir NU ini, saatnya kembali menegaskan posisi, mendukung kebijakan yang berpihak pada kesehatan rakyat dan menolak segala bentuk intervensi industri yang bertentangan dengan prinsip perlindungan masyarakat.


Selamat Hari Lahir NU ke-102. Mari kita jadikan momentum ini sebagai titik tolak untuk aksi nyata dalam melindungi generasi penerus bangsa dari bahaya zat adiktif selayaknya khidmat NU yang bekerja bersama umat untuk Indonesia Maslahat.


Rosaliya, pengurus Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)