Opini

Mudik ke Ibu Pertiwi

NU Online  ·  Rabu, 29 Mei 2019 | 08:00 WIB

Oleh: Murdianto An Nawie

Pada 5 atau 6 Juni 2019 mendatang, Bulan Syawal 1440 Hijriyah telah tiba. Umat Islam di seluruh penjuru dunia akan merayakan Idul Fitri. Di Indonesia, Perayaan Idul Fitri sebagai hari raya keagamaan bisa jadi menjadi yang paling masif. Pasalnya ada ritual tahunan penting jelang Idul Fitri ini yakni Mudik.

Mudik berarti pulang ke kampung halaman setelah seseorang  pergi ke rantau. Bagi sang pemudik, bertemu sanak famili di rumah di saat Idul Fitri tentu sebuah momentum yang amat langka. Sehingga tidak mengherankan jika Idul Fitri juga sekaligus disebut sebagai momentun reuni sosial yang bersifat masif.

Di beberapa belahan di dunia lainnya, tradisi mudik ke kampung halaman juga menandai hampir seluruh perayaan besar keagamaan dan tradisi besar tertentu. Misalnya bagi etnis Tionghoa baik di China daratan atau di tempat lain, Imlek menjadi waktu yang tepat bagi seseorang untuk kembali ke kampung halaman. Juga di Turki, Idul Adha adalah waktu di mana orang berduyun-duyun kembali mengingat dan kembali ke kampung halaman. Kampung halaman berarti “Ibu Pertiwi” tempat terlahir dan dibesarkan seorang manusia.

Kampung halaman atau sering disimbolkan sebagai Ibu Pertiwi bagi seorang manusia tentu memiliki arti mendalam. Seorang muslim yang baik tentu menjadikan ibu seakan menjadi satu-satunya manusia yang harus dihormati dan tak boleh disakiti. “Surga di bawah telapak kaki ibu” begitu bunyi sebuah hadist masyhur. Ibu dan kampung halaman adalah kenangan pertama saat manusia lahir dan dibesarkan dengan kasih-sayang, pelajaran, dan teguran.

Mudik, sesungguhnya tidak lain adalah kerinduan pada ibu, baik ibu dalam artian orang yang melahirkan kita maupun ibu pertiwi. Kampung halamanlah yang menempa kita menjadi manusia dewasa. Kerinduan adalah cinta yang tertunda di mana orang telah siap memberikan apapun yang dipunyai untuk yang dicintainya yakni Ibu Pertiwi.

Mudik adalah keriduan yang mendalam, ditandai kecintaan kepada sesama manusia terutama bagi orang tua, saudara, sahabat yang kita layani penuh cinta di kampung halaman. Oleh karena itu, salah satu bagian penting dari perayaan Idul Fitri adalah orang saling memberi dan menerima maaf atas segala tindakan yang salah dan merugikan orang lain. Dalam konteks mudik tentu adalah orang tua, sanak saudara, dan sahabat-sahabat lama. Lebih dari itu, perayaan ini untuk menghubungkan dan menyegarkan kembali hubungan silaturahmi antar individu, walau tidak didasari selalu pada motif “pengakuan salah”.

Para antropolog atau pakar kebudayaan menyebut momentum mudik  menjadi semacam jembatan antara lahir dan batin, di mana rasa adalah suatu istilah yang sangat kompleks didalam unsur keagamaan seorang muslim di Jawa. Dalam momentum ini manusia Jawa memiliki semacam kemampuan untuk merasa, atau dalam pengertian non fisik, yakni ungkapan-ungkapan halus yang bersifat batiniyah. Fenomena ini muncul karena berhubungan erat dengan tradisi sufi dan mistik Jawa yang telah berkembang sebelum Islam masuk.

Jembatan lahir batin antara masa kini, masa lalu dan masa depan ini salah satunya adalah menggunakan kesempatan mudik untuk memperkuat tradisi berziarah, ke makam para leluhur, para guru dan ulama di kampung halaman. Dalam tradisi ini kita dapat bertawassul, mendoakan mereka yang telah meninggal, sekaligus menggali inspirasi dari perjuangan yang telah mereka torehkan dalam mendidik dan membesarkan generasi masa depan.

Dimensi ini sesungguhnya adalah implementasi dari qaidah al muhafadhatu ala al-qadimis shalih, dimana spirit perubahan haruslah bersumbu pada aktivitas mengingat dan belajar dari masa lalu yang baik, sekaligus melakukan kreativitas yang lebih bermanfaat.

Mudik, adalah kembali pada ibu pertiwi. Tempat kita di lahirkan. Petandanya bisa jadi adalah dengan aktivitas tabur bunga dan membacakan doa di pusara makam para leluhur, orang tua dan guru kita. Dan tentu ini merupakan tindakan mulia,

Disebutkan dalam kitab Ianat at-Thalibin juz II halaman 142, sebuah hadist riwayat Hakim dari Abu Hurairah yang artinya: “Siapa ziarah ke makam orang tuanya setiap hari jumat, Allah pasti mengampuni dosa-dosanya dan mencatatnya sebagai bakti dia kepada orang tuanya”.

Meskipun kita tak bisa mengunjungi pusara makamnya setiap Jumat. Setidaknya kita telah melakukannya secara rutin saat menjelang lebaran. Selamat mudik, selamat kembali berkunjung ke Ibu Pertiwi. Semoga disegarkan kembali iman kita, disegarkan kembali kecintaan kita kepada negeri ini.

Penulis adalah Dosen Program Pascasarjana INSURI Ponorogo, Aktif di Jaringan Gusdurian