Opini

Mewarisi Watak Kalah Perang

NU Online  ·  Selasa, 21 April 2009 | 11:28 WIB

Oleh Arief Musthofifin

Sriwijawa dan Majapahit, dua kerajaan besar ini merupakan proto type peradaban tertinggi di Nusantara. Kiblat bagi kerajaan dan negara-negara lain di dunia belahan utara yang secara potensi adalah miskin. Miskin sumber daya bumi (ekonomi), pengetahuan, teknologi, dan persenjataan.

Ketika senjata paling modern Portugis (Eropa) adalah Cetbang, kerajaan besar Nusantara ini sudah lebih dulu menggunakan Meriam besar jarak jauh. Maka, dalam archipelago sejarah dunia parmodern, masa-masa itu selayaknya bisa dikatakan hanya ada dua imperium besar di dunia yang sangat diperhitungkan; Nusantara sebagai kesatuan kerajaan utuh dan Tiongkok (China).<>

Kajayaan Sriwijaya dan Majapahit tak lepas dari kesadaran diri yang utuh terhadap dirinya. Tentang kenyataan bahwa Nusantara merupakan wilayah yang terdiri dari belasan ribu pulau. Lem perekatnya adalah benda cair yang disebut lautan. Maritim menjadi pilihan sangat tepat yang digunakan Sriwijaya dan Majahapit sebagai cara pandang pemerintahan.

Sedangkan kekalahan koalisi angkatan perang kerajaan-kerajaan Nusantara yang dikomando Kerajaan Islam Demak oleh Portugis di Selat Malaka (Sumatera) menjadi titik awal kehancuran Nusantara. Rapuh. Karena wawasan Nusantaranya tidak berwatak maritim yang kokoh, namun mencintai pedalaman yang murni agraris dan tukang klenik.

Demikian itu cara pandang Trenggono, sang ambisius, yang mengkhianati bala tentara Demak yang berperang di Malaka. Trenggono dan pasukannya bukannya membantu di lautan, malah melebarkan sayapnya ke daratan-daratan Jawa menyerang saudara sendiri untuk marak menjadi Raja Demak, alias Raja Jawa.

Tertutup

Itu telah menjadikan manusia-manusia kalah perang ini menutup diri dari dunia luar, lautan lepas. Lebih enjoy menikmati areal pedalaman. Cara berpikirnya pun tertutup karena yang digeluti hanya dunia-dunia pedalaman dan tidak membuka diri dengan informasi atau pengetahuan dari luar.

Buktinya, pasca-Sriwijaya dan Majapahit yang maritim, tidak pernah ada lagi imperium besar atau kedigdayaan Nusantara yang diakui dunia. Mataram, Orde Lama, Orde Baru, “Orde Refromasi”, dan sampai sekarang pun tidak pernah terbukti kebangkitan itu. Masing-masing periodesasi hanya terfokus menjadi negara agraris dengan prestasi tertinggi ‘swasembada beras’.

Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid, pernah menuju ke arah negara maritim di era kekuasaannya. Namun, akibat kerapuhan manajemen kekuasaannya, gagasan briliannya belum sempat terealiasasi dia sudah dilengserkan.

Komunitas besar yang menutup diri ini telah membentuk watak manusia yang rendah diri (inlander) pula. Ibarat katak di dalam tempurung. Seperti menjadi penguasa dalam lingkup besar tempurung dirinya, padahal dalam kenyataan global, besar kekuatan itu tak lebih dari tempurung kelapa.

Kehilangan nalar kompetisi dengan manusia dari bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan sekadar bertemu dengan orang bule, misalnya, mind set bawah sadar otak kita langsung member impuls bahwa kita rendahan. Menjadi sumbordinasi dari orang-orang asing. Yakni, ras lebih rendah, bodoh, dan tak berperadaban.

Tanpa diimbangi nalar rasional bahwa rendah, pintar, dan sebagainya merupakan konstruksi fakta yang sifatnya relatif. Bukan mitos yang dijadikan kebenaran dalam otok bawah sadar. Perlu uji coba lapangan bahwa mana manusia-manusia dari bangsa-bangsa di dunia ini yang lebih unggulan dibanding lainnya?

Marsose dan Bandar

Watak yang menjadi dasar gerak (bawah sadar) tadi telah menciptakan kepribadian yang rapuh. Lebih senang menjadi penyalur, calo, atau pialang (marsose) dibandingkan raja di rumah sendiri. Tak lain, kekalahan perang di Malaka oleh Portugis juga akibat watak-watak marsose. Manusia yang dalam gerak lakunya dibimbing oleh uang.

Maka, prajurit yang membentengi Selat Malaka lebih memilih mengabdi kepada Portugis karena bayarannya lebih mahal. Dibanding berjuang mempertahankan benteng-benteng di kepulauan Sumatera yang menjadi kunci segala arus pelayaran dunia.

Sampai sekarang, psikologi manusia sejarah kita masih bersifat seperti itu. Maka, dalam serangkaian Pemilihan Umum (Pemilu), misalnya, para politisi yang berniat berjuang memperbaiki bangsa bisa dihitung jari. Tak lain hanyalah para marsose yang disuplai dana dari bandar-bandar besar untuk menjadi pejabat legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Yang bertugas melancarkan peraturan dan proyek-proyek pesanan para bandar. Itu merupakan kompensasi politik yang harus diterima karena dalam usahanya menjadi pejabat negara sudah menggadaikan diri dulu kepada para bandar.

Tak ubahnya, Pemilu di Indonesia merupakan legalitas politik untuk menjadi legalitas hukum, dalam melancarkan proyek-proyek ekploitasi terhadap segala sumber daya. Terutama yang menguasai hajat hidup orang banyak; minyak, batu bara, emas, nikel, dan sebagainya. Kecil-kecilannya seperti proyek pembangunan.

Seperti itulah model pemerintahan yang telah diwariskan bangsa-bangsa Eropa; Portugis dan terutama Belanda di Indonesia. Menghilangkan peran negara sebagai pengatur kebutuhan hidup rakyat banyak. Diganti dengan peran pengusaha, bandar, dan pemodal yang dibantu marsose dari negeri sendiri.

Ciri khasnya, dalam laporan formal “negara” dimunculkan segala aspek keberhasilan pemerintahan. Terutama stabilitas masyarakat dan peningkatan pertumbuhan ekonomi (bukan peningkatan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi).

Tak lain, seperti itu sekadar kebutuhan laporan pertanggungjawaban kepada para bandar untuk mendapatkan proyek selanjutnya. Toh, kenyataan lapangan membuktikan, derita rakyat bukannya semakin reda malah bertambah


Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang dan Alumni Sekolah Kader Nasional (SKN) PB PMII, Cibubur 2009