Opini

Menyongsong Ramadhan: Menanam Ibadah, Menebar Hikmah

NU Online  ·  Selasa, 11 September 2007 | 07:40 WIB

Oleh : Wasid Mansyur *

Marhaban ya Ramadhan,
Bulan suci Ramadhan 1427 H hampir hadir ditengah-tengah kita, hanya dengan hitungan jari, setelah melalui proses selama setahun. Hal ini nampak dari adanya kesiapan diberbagai kalangan masyarakat, misalnya renovasi masjid hingga musholla (langgar, Jawa). Dan adanya seruan penyambutannya diberbagai jalan protokol, dengan hadirnya spanduk-spanduk sebagai ajakan untuk berpuasa.

<>

Ramadhan, bulan penuh hikmah. Apa yang dilakukan oleh banyak kalangan dalam menyongsong bulan Ramadhan, dengan ragam kegiatan, merupakan bentuk rasa senang atas kehadirannya serta meneladani pesan yang dihimbau nabi Muhammad SAW dalam sebuah Haditsnya: “Man fariha biduhûli ramadhâna harrama Allahu jasadahu ‘alanniron”. Barang siapa yang bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya atas api neraka.

Kita tidak dapat membayangkan hikmah yang dimilikinya, selain kewajiban puasa. Sebut saja, Rasa senang atas kehadirannya saja telah menjadi perhatian serius nabi atas keutamaannya, apa lagi yang lainnya, meskipun pada hakekatnya rasa senang tidak akan berarti apa-apa, jika tidak ada proses kelanjutan bagi peningkatan ibadah, yang berujung terciptanya peningkatan ketaqwaan.

Bulan Ramadhan, bulan Allah (syahr Allah). Penyebutan ini sesuai dengan ragamnya ibadah dan hikmahnya, dengan Allah sebagai penentu bagi lipatan hikmahnya (ganjaran). Yang hal ini tidak ditemukan pada bulan-bulan lainnya, sehingga sebagai bulan Allah, maka peneguhan diri menyambutnya menjadi keharusan bagi setiap individu, yaitu merespon anjuran-anjuran yang diajarkan agama baik dari al Qur’an, hadits maupun perilaku orang-orang shalih terdahulu (salaf al shalihîn).

Menanam Ibadah

Kewajiban puasa, bagi yang beriman, merupakan pokok dari rentetan ibadah ada dalam bulan Ramadhan, sebagaimana disinggung dalam al Qur’an, surat al Baqarah:183, yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu puasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang sebelum kamu, agar maku menjadi orang yang bertaqwa”.

Adalah predikat sebagai insan yang bertaqwa (al Muttaqin), sebagai puncak pelaksanaan nilai puasa Ramadhan. Namun, untuk mencapai ketaqwaan itu tidak semudah membalikkan tangan, sehingga pada kesempatan yang berbeda nabi Muhammad SAW memperingatkan dalam sebuah hadithnya “kam mi shâimin laysa lahu min siyâmihi illa al ju’a wa al athsa”, banyak orang berpuasa, tidak ada yang didapatnya, kecuali rasa lapar dan haus.

Itu artinya, pencapaian ketaqwaan harus  diupayakan dengan keras oleh pelaku puasa dengan meningkatkan ibadahnya, baik siang maupun malam hari, lebih-lebih di akhir-akhir bulan Ramadhan. Di samping pada siang bolong ia harus menjaga keabsahan puasa itu, dengan tidak mengerjakan sesuatu yang membatalkan secara syar’i, misalnya minum, makan, berhubungan intim dan lan-lain.

Peningkatan ibadah itu dapat dilakukan dengan mengerjakan amalan-amalan yang menjadi anjuran agama, bukan kewajiban, misalnya shalat tarawih, tadarrus al Qur’an, shalat malam, i’tikaf dan beberapa amalan lainnya. Artinya, pada intinya pelaku puasa seyogyanya mengisi hari-harinya dengan kegiatan apapun yang dapat menghadir dirinya  untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.

Namun, dari sekian amalan-amalan itu, peringatan nabi tentang “banyaknya pelaku puasa yang hanya dapat haus dan lapar” merupakan cambuk bagi pelaku puasa agar berhati-hati dalam mengerjakan puasanya, sekalipun secara syar’i puasa yang dilakukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban.

Sebagai kelanjutannya, maka bagi pelaku puasa diharapkan juga berpuasa secara batin, disamping puasa dhahir. Artinya ia harus menjaga beberapa perbuatan dan sikap yang “merusak” nilai-nilai puasa, yaitu hikmah yang dikandungnya.

Terkait dengan hal ini, Imam al Ghazali menyebutkan, diantara perbuatan yang harus dihindarkan adalah mengerjakan dosa-dosa yang dilarang agama dari seluruh anggota tubuh, misalnya telinga, mata, mulut, tangan, kaki dan anggota lainnya. Dan pelaku puasa model inilah, sebagaimana ditegaskan al Ghazali adalah puasa bagi orang yang khusus (shaum al Khusus), bukan puasanya kebanyakan orang (al umum),  yang hanya cukup puasa dengan rasa lapar dan haus. Lihat Ihya’ Ulumuddin, juz I, hal 296.

Terkait dengan hal ini juga, ditemukan dalam hadits lain: “man lam yada’ qawla al zûri wal ‘amal bihi wal jahla fa laysa lillahi hâjatun fi ayyada’a tha’âmanu wa syarâbahu”, artinya: Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan bohong serta merasa bodoh, maka Allah tidak ada hajat (membalas) pada orang yang meninggalkan makan dan minum (HR. Bukhori).

Oleh karenanya, menanam ibadah dengan ragamnya amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan Ramadhan menjadi point tersendiri, selain kewajiban puasa, agar dapat merasakan kemanfaatannya yang hakiki. Di samping itu harus komitmen untuk tidak mengerjakan perbuatan yang membatalkannya baik secara dhahir, misalnya minum dan lain-lain, atau secara batin, misalnya perbuatan bohong, adu domba dan sejenisnya.

Menebar Hikmah Ramadhan

Puncak dari hikmah Ramadhan sebagaimana dijanjikan adalah terciptanya peningkatan ketaqwaan yang membentuk perilaku pelaku puasa, yaitu Sebuah nilai yang diidam-idamkan khalayak umat, tanpa mengenal jenis kelamin, jabatan dan suku apapun. Inna akramakum ‘inda Allah atqâkum, (sesungguhnya paling utama diantara kamu adalah orang yang paling bertaqwa).

Secara sosial, hikmah Ramadhan akan dirasakan semua orang, jika pelaku puasa mampu merawatnya dengan baik dan menghayatinya. Karena, puasa mendidik seseorang untuk sabar, belajar dan menghindari tindakan-tindakan yang merugikan orang lain.

Hikmah inilah yang paling penting pada saat ini, di samping secara vertikal harapan ganjaran langsung dari Allah tidak dilupakan sebagai sebuah keyakinan beragama, yaitu harapan mendapat rahmat-Nya, pengampunan-Nya hingga bebas dari api neraka.

Keterpurukan moral sudah menjadi pandangan keseharian kita, sehingga hampir pasti, dalam setiap harinya, kita  disuguhkan melihatnya berbagai tayangan media massa baik cetak maupun eletronik. Kekerasan, tindakan saling menikam antar individu maupun kelompok serta prilaku amoral lainnya sudah sering ditemukan, sehingga pada saatnya sulit membedakan kebenaran dan kebatilan. Yang terjadi keuntungan individu maupun kelompok menjadi tujuan terpenting dari tindakan-tindakan ini.

Pada akhirnya, puasa kali ini diharapkan mampu menjadi awal perubahan dan pencapaian hakekat hikmahnya, bukan sekedar cukup merasa puas dengan lapar dan haus, sehingga pasca Ramadhan cita-cita sebagai insan yang bertaqwa tetap mewarnai kehidupan pelaku puasa, baik individu maupun kelompok. Dan semua kembali pada kesiapan kita dalam memaknai dan menghayati bulan Ramadhan. Selamat Berpuasa.[]

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

* Pengurus Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Pusat kajian Agama dan Budaya (PusKAB) Surabaya