Opini Suhadi Cholil*

Menimbang Badan Halal NU

Ahad, 3 Maret 2013 | 01:12 WIB

Belum lama ini PBNU meluncurkan Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU). Menurut penulis, lembaga ini menjadi tonggak penting sertifikasi produk halal di Indonesia. 
<>
Mengapa? Sebab BHNU menandai berakhirnya dominasi tunggal sertifikasi halal untuk berbagai produk di Indonesia. Sebelumnya, lebih dari dua puluh tahun Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi satu-satunya lembaga penerbit sertifikasi halal. 

Laporan Tahunan Kehidupan Beragama tahun 2009 yang diterbitkan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM menyinggung pentingnya pemberagaman lembaga sertifikasi halal. 

Pemberagaman diharapkan menjadi jalan keluar dari tarik-menarik siapa yang memiliki otoritas menerbitkan sertifikat halal yang menjadi sumber ketegangan dalam pembicaraan mengenai RUU Jaminan Produk Halal sekitar tahun 2009 lalu. Pada waktu itu terjadi ketegangan antara  pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, dan MUI. Urusan halal-haram sebuah produk sepatutnya memang menjadi domain masyarakat sipil, bukan negara.

Keragaman lembaga sertifikasi halal juga memberi peluang masyarakat untuk memilih lembaga sertifikasi mana yang mereka percaya. Kemudian lembaga sertifikasi diharapkan berlomba membangun kepercayaan masyarakat dengan bekerja secara profesional. Jika semakin banyak lembaga sertifikasi berdiri, lembaga sertifikasi yang tidak profesional akan ditinggalkan oleh masyarakat. 

Di sisi lain, pemberagaman juga menolong MUI untuk tidak menjadi pemegang otoritas tunggal bagi masyarakat Muslim yang sangat luas. Sebagai bandingan dengan jumlah umat Muslim yang jauh lebih sedikit, Australia dan Selandia Baru masing-masing memiliki tiga belas dan enam lembaga sertifikasi halal. 

Sampai di sini pemerintah seharusnya memang memosisikan diri sebagai pihak yang menyusun rambu-rambu dan memastikan rambu-rambu tersebut ditaati oleh siapapun. Termasuk di dalamnya memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang terbukti melanggar aturan, misalnya suatu lembaga memberikan sertifikat halal tidak sesuai dengan kriteria tertentu. 

Jika langkah PBNU mendirikan badan serifikasi halal diikuti oleh ormas Islam atau lembaga lainnya, rambu-rambu tersebut semakin urgen kita butuhkan. Sebab jika tidak ada rambu-rambu yang menjadi panduan bersama mungkin saja terjadi potensi persaingan yang tidak sehat antar badan sertifikasi halal. Pada gilirannya konsumen yang akan dirugikan.

Posisi pendirian BHNU yang mulus menjadi awal yang penting bagi proses diversifikasi sertifikasi halal. Lembaga ini diharapkan menjadi alternatif, bukan sebagai saingan MUI, sebagaimana juga telah ditegaskan oleh para pemimpin NU. Hal tersebut tidak terlepas secara politik dengan keberadaan figur KH Sahal Mahfudz, Rais ‘Aam PBNU yang pada saat bersamaan juga Ketua Umum MUI.


Awal yang baik ini ke depan tinggal menyisakan tantangan mengenai profesionalitas. Tentu bukan berlaku hanya untuk BHNU, sifat profesionalitas perlu ditunjukkan juga oleh MUI dan semua lembaga serifikasi lain yang kemungkinan akan bermunculan di masa depan.

Fiqih
Salah satu sisi dari profesionalitas tersebut, di luar permasalahan uji produk, adalah mengenai perspektif hukum Islam yang dipakai. Para ulama NU kita kenal menguasai dengan sangat mendalam tradisi hukum Islam atau ushul fiqih dan fiqih. Hal ini menjadi kekuatan penting BHNU. 

Dari perspektif hukum Islam, kehalalan sebuah produk merupakan wilayah fiqih. Konsekuensinya, sebagaimana wilayah fiqih yang lain, apakah produk makanan, obat-obatan, dan kosmetik halal atau tidak dikonsumsi sangat mungkin berbeda bagi satu badan sertifikasi dengan badan sertifikasi yang lain.

Pada titik ini lagi-lagi kita melihat pentingnya rambu-rambu dan peran pemerintah sebagai “wasit” yang adil bagi masyarakat sipil. Aturan dan peran pemerintah diperlukan bukan untuk memberangus potensi perbedaan wilayah fiqih, tapi sebaliknya untuk menjamin, mengapresiasi, dan melindunginya. 

Kalau ini terjadi, konsumen diharapkan juga semakin dewasa menghadapi kemungkinan perbedaan yang muncul di masa depan. Kita masih ingat di masa lalu pernyataan bahwa suatu produk itu halal atau tidak merupakan area yang sangat sensitif di masyarakat. Isu di area ini tidak jarang merugikan baik produsen maupun konsumen. 

Dari sisi pengujian produk, tidak berlebihan jika BHNU membikin perencanaan jangka panjang. Kekuatan NU dalam mengembangkan ilmu-ilmu tradisi keagamaan (baca: turats) penting diapresiasi, namun pengembangan ilmu pengetahuan (baca: science) penting untuk menjadi agenda bagi lembaga-lembaga pendidikan NU. Memang untuk jangka pendek upaya menggandeng lembaga profesional di luar NU untuk urusan uji produk tidak ada salahnya.

Namun untuk tujuan jangka panjang NU penting untuk melakukan perencanaan strategis pengembangan ilmu pengetahuan dalam lembaga-lembaga pendidikannya mengikuti peran kehidupan sosialnya yang semakin luas dari waktu ke waktu. Di luar masalah profesionalitas baik dari sisi hukum agama dan uji produk fisik, masalah sosialisasi dan networking akan sangat menentukan.   

Terlepas dari itu, pendirian BHNU patut kita apresiasi. Pemberagaman sertifikasi halal ini kita harapkan akan berkembang menjadi sesuatu yang positif bagi perlindungan konsumen. Kalau suatu saat ide tentang RUU Jaminan Produk Halal diangkat kembali, kita dapat memastikan akan ada atmosphere yang berbeda, karena keberadaan BHNU.

*Suhadi Cholil adalah dosen di Prodi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM dan di STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.