Opini CATATAN PERINGATAN ISRA' MI'RAJ

Menghidupkan Spirit Transformasi Islam

NU Online  ·  Senin, 28 Juli 2008 | 15:10 WIB

Oleh Muhammad Muhibbuddin*

Di antara komitmen profetis Nabi Muhammad SAW ada dalam peristiwa Isra' Mi'raj yang jatuh pada malam 27 Rajab. Komitmen itu sangat jelas ketika Nabi bersedia kembali merealitas, meruang dan mewaktu pasca mengarungi pengalaman transendennya. Nabi diberi kesempatan oleh Allah untuk menjelajah dunia malakut yang tak semua orang bisa menjangkaunya. Kalau Nabi menuruti ambisi pribadi, maka beliau cukup bertahan di sana dan meninggalkan gemuruhnya dunia material.

Tapi tidak bagi Muhammad SAW. Nabi agung itu justru turun gunung dengan membawa misi transformasi sosial. Setelah menghadap Tuhannya, ia segera kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk melakukan perbaikan masyarakat Arab yang ketika itu tengah mengalami pembusukan.<>

Dengan Islam, Muhammad mampu menggulirkan transformasi sosial yang dahsyat hingga berhasil menancapkan akar peradaban besar di dunia. Atas jasanya yang besar itu, kalau boleh meminjam bahasanya Gramsci, Muhammad adalah seorang intelektual organik. Sosok intelektual yang tidak cukup puas berteriak : "revolusi!" Tapi setelah itu langsung duduk di atas kursi empuk sambil menyeruput kopi. Namun dalam hal ini ia benar-benar terjun langsung menjadi eksekutor lapangan, bekerja keras mengorganiser kekuatan untuk melawan ketidakadilan.

Dekadensi umat Islam

Namun, seiring perjalanan sejarah, misi transformasi Islam itu kini mengalami penurunan, kalau tidak boleh dikatakan mati. Hal ini nampak pada kondisi umat Islam yang sekarang tengah tidur panjang. Dalam kondisi dunia yang dikuasai modal sekarang ini, di mana negara sudah tidak mampu lagi melindungi rakyatnya dari dominasi dan hegemoni neoliberal, umat Islam justru terkesan tenag-tenang bahkan asyik menikmati ketertindasannya.

Hal ini tercermin dalam sikap umat Islam sendiri dalam menghadapi fenomena globalisasi. Seperti  pernyataan sebagian tokoh Islam sendiri yang menganggap bahwa globalisasi adalah sunnatullah. Kita tahu globalisasi, dalam konbteks sosial, ekonomi dan politik, adalah strategi neoliberal untuk melanggengkan kuku kolonialismenya di negara-negara berkembang, termasuk negara-negara Islam. Namun anehnya fenomena semacam ini bukan dianggap sebagai tantangan atau ancaman, tetapi justru dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang wajar.

Selain dari itu, banyak sekali institusi-institusi Islam yang pola kerjanya sudah menyimpang jauh dari semangat Islam. Banyak sebenarnya problematika sosial yang diharus digarap oleh lembaga-lembaga Islam semacam MUI, NU, Muhammadiyyah, ICMI, OKI dan sebagainya. Masalah-masalah sosial seperti kemiskinan struktural, kebodohan, keterbelakangan, dehumanisasi, ketidakadilan hukum, diskriminasi, tirani mayoritas dan sejenisnya adalah masalah-masalah umat yang sekarang mencuat di mata lembaga-lembaga agama di atas. Namun dalam praktiknya belum ada satu lembaga keagamaan yang belum mempunyai ghirah secara konkrit untuk menjawab problematika sosial tersebut.

Dalam konteks Indonesia, kita patut bertanya apa tawaran solusi konkrit lembaga-lembaga keagamaan Islam semacam MUI, NU, Muhammadiyyah dan ICMI terhadap masalah masalah yang menimpa bangsa dan masyarakat seperti kemiskinan struktural, korupsi, penggusuran, pengangguran, kerusakan lingkungan, mahalnya biaya pendidikan dan sebagainya. Lembaga-lembaga keagmaan tersebut justru sibuk dengan dunia sendiri yang jauh dari hiruk pikuk masyarakat. Bahkan tak jarang ikut terseret mendukung program atau proyek besar neoliberal yang cenderung menindas.

Dari realitas itu kita tahu bahwa Islam tiba-tiba, dalam pernyataan Mansour Fakih (2002), kehilangan citra diri sebagai pewaris gerakan pembebasan dan penegak keadilan apalagi gerakan alternarif terhadap sistem dan ideologi dehumanisasi masalalu. Hilangnya citra trnasformatif dan liberatif Islam tersebut seolah meneguhkan statemen Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Islam oleh lembaga-lembaga formalnya hanya difungsikan untuk memberi mimpi-mimpi indah berupa surga, bidadari dan pahala dalam bentuk ritualisme absurd dan tidak memberi tawaran nyata untuk mengatasi problemtika sosial yang menghimpit masyarakat.

Selain dari itu, dan ini yang paling naif, Islam justru banyak dipolitisir dan dikomersialisasikan oleh para pemeluknya sendiri. Parpol Islam banyak bermunculan, perda-perda syari'at diciptakan dan bank-bank syari'ah didirikan, tapi semua itu hanya sebatas strategi untuk menarik massa.

Praktik dan sistem norma yang diimplementasikan justru jauh dari spirit Islam. Di sisi lain, Islam digunakan menjadi ekspresi kebudayaan yang dangkal.  Film-film, sinetorn-sinetron dan novel-novel islami banyak beredar, tetapi hanya memenuhi tuntutan pasar. Sehingga kualitas seni Islam nampak sangat klise dan berselera rendah.

Spirit seni Islam seharusnya terilhami dari realitas kehidupan yang timpang seperti kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan sehingga mampu menjadi kritik sosial yang efektif. Namun untuk sekarang ini, seni Islam hanya ditampilkan secara simbolik-formalis seperti jilbab, dalil-dalil Al-Qur'an, tasbih dan bentuk formalitas lainnya. Pola ekspresi kebudayaan yang market oriented tersebut, dalam faktanya, justru cenderung memperkuat budaya borjuasi, konglomerasi dan konsumerisasi yang semua ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Saatnya Dibangkitkan Kembali

Momentum Isra' Mi'raj ini harus dijadikan umat Islam sebagai media perenungan dan refleksi yang dalam atas pola keagamaan yang selama ini dipraktikkan. Melihat realitas sosial sekarang yang pengap, timpang dan menindas, Islam harus ditampilkan sebagai agama yang penuh gairah transformasi. Problematika sosial yang tengah menghimpit sekarang ini harus menjadi agenda utama seluruh institusi agama Islam.

Islam, dalam semangat transformasinya, harus bisa menjadi martil atas kuatnya sistem dan idiologi pembangunan modern. Idiologi pembangunan modern terbukti telah gagal menciptakan keadilan dan kemakmuran. Janji-janji kesejahteraan yang ditawarkannya hanya omong kosong. Yang terjadi justru eksploistasi dan dominasi oleh kelompok pemodal terhadap kelompok lemah. Dengan demikian orang-orang yang jauh dari lingkaran kapital, hidupnya semakin termarginalkan.

Maka agenda Islam yang mendesak adalah melakukan perlawanan terhadap sistem ketidakadilan tersebut. Dalam hal ini Islam, secara substansial, harus berani menawarkan pola pembangunan yang holistik. Pola pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada kebebasan individual secara binal tetapi juga penuh dengan kepedulian sosial tinggi.

Begitu pula bukan pembangunan yang hanya lebih mengutamakan kesalehan ritual dan idiologi formal, tetapi yang terpenting adalah aktif dalam proses pembinaan dan advokasi masyarakat. Standar keimanan dan kekafiran tidak semata-mata diukur dari intensifitas dan massifitas praktik ritualitas keagamaan, juga bukan dari persoalan idiologis Islam versus sekuler, tetapi justru dari aspek kualitas kehidupan sosial yang berkeadilan. Oleh karena itu, seperti kata pemikir revolusioner Islam Asghar Ali Enginer bahwa seorang muslim rajin melakukan ritual, tetapi menutup mata terhadap problematika sosial yang ada disekitarnya seperti maraknya kemiskinan dan penindasan, maka sejatinya orang itu adalah kafir.

Dengan demikian, ketika negara kita sekarang dilanda korupsi, penyalahgunaan wewenang, kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan sementara kita hanya cuek saja, pantaskah diri kita menyatakan Islam?


*Koordinator komunitas studi filsafat "Sophos ’Alaikum" Fak.Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta