Oleh: Mohammad Ichwan
Di tulisan pertama, penulis telah mengemukakan masalah ketidaknyamanan ziarah di makam KH Sholeh Darat. Makam ulama besar abad 19 yang diyakini sebagai waliyullah ini diliputi persoalan tiadanya akses masuk yang layak, tiadanya fasilitas yang memadai, dan kesemrawutan lokasi makam.
Problem berikutnya di kompleks makam KH Sholeh Darat adalah parkir kendaraan. Selama ini penjagaan kendaraan dilakukan oleh para pemuda atau warga sekitar. Karena tidak dinaungi lembaga resmi dan tanpa dibekali karcis parkir resmi, maka masyarakat melihatnya sebagai parkir liar.
Banyak cerita tentang peziarah yang dipalak oleh tukang parkir liar ini. Cuitan di media sosial maupun keluhan lisan sudah sering disampaikan para peziarah yang merasa diperas ketika berziarah. Berita mengenai aksi juru parkir liar ini sudah banyak dimuat di media massa.
Menurut pengakuan para peziarah, mereka ditarik uang Rp2 ribu sampai Rp5 ribu bila memakai sepeda motor. Dan ditarik Rp5 ribu hingga Rp10 ribu bila membawa mobil standar. Permintaan yang Rp20 ribu hingga Rp30 ribu terjadi bila pengunjung membawa mobil agak besar atau membawa minibus semisal jenis Elf.
“Sedangkan bila rombongan mengendarai bus, dimintai paling sedikit Rp50 ribu. Pernah saya membawa rombongan 7 bus, diperas Rp350 ribu. Sungguh gila pungli di Bergota,” tutur Atok dari Malang, Jawa Timur. Pernyataan yang sama dari Hisyam dari Jepara dan Mustafid dari Yogya yang pernah membawa rombongan naik bus.
Sesungguhnya, lokasi parkir itu hanyalah badan jalan di Jalan Kiai Saleh, maupun badan jalan di tengah kompleks Bergota. Jelas memakan hak pengguna jalan lain dan menggangu lalu lintas. Sehingga sering menimbulkan kemacetan dan kesemrawutan. Ditambah lagi, kurang ada penerangan, sehingga para pengunjung dilanda resah akan keamanan kendaraannya. Terutama di malam hari, pengunjung dilanda kekhawatiran atas kendaraannya. Para juru parkir tidak resmi pastilah tidak bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan kendaraan.
“Saya terus terang takut bila malam hari berziarah. Meskipun ada juru parkir dan saya membayarnya, tetapi saya tetap khawatir. Sebab tidak ada jaminan atas kemanan kendaraan saya,” ucap Samidi, warga Ngaliyan Semarang.
Selain juru parkir liar, ada pula penjaga parkir yang memakai seragam. Umumnya berseragaam hijau muda polos Linmas (dulu bernama Hansip). Para anggota Linmas ini tidak pernah meminta uang ke pengunjung. Mereka hanya membantu menjaga ketertiban tempat parkir dan menjaga ketertiban lalu lintas peziarah di jalan masuk makam Bergota, umumnya telah berusia lanjut. Di tempat para Linmas berjaga, tersedia kotak amal resmi bertuliskan 'Kas Linmas' atau 'Kas Karang Taruna'. Namun mereka jarang muncul selain di bulan Syawal. Seolah hanya muncul ketika even haul KH Sholeh Darat. Padahal di even Haul, bantuan mereka tidak terlalu diperlukan. Sebab sudah banyak petugas resmi dari Dinas Perhubungan dan Kepolisian. Sedangkan panitia haul sendiri telah dibantu anggota Banser Kota Semarang.
Akibatnya, bantuan Linmas tidak dirasakan oleh peziarah di hari-hari biasa. Yang dominan 'berkuasa' di Bergota tetaplah para pemuda yang dianggap masyarakat sebagai preman. Pernah pula dipergoki, oknum pemuda memakai kaos organisasi kepemudaan ikut dalam aksi pemalakan parkir.
Problem lainnya adalah banyaknya pengemis dan soal pengelolaan Kotak Amal. Pengunjung makam sering merasa mendapat 'tekanan' ketika berziarah di makam KH Sholeh Darat. Para pengemis berjajar mencegat peziarah untuk meminta sedekah. Sebagian di antaranya terkadang kurang sopan. Yaitu memepetkan diri dan menyodorkan kaleng amal sampai menempel tubuh pengunjung. Kadang membuntuti peziarah hingga ke tempat parkir kendaraan.
Bila menghadapi situasi macam itu, peziarah umumnya tak bisa mengelak. Mereka terpaksa merogoh kantong atau membuka dompet dan memberikan uang ke pengemis agar tidak lagi diganggu. Kadang memberi sambil menggerutu karena jengkel.
“Saya dan kawan-kawan kuliah saya senang ziarah di makam Mbah Sholeh Darat. Namun kami sering jengkel dengan ulah para pengemis. Mereka mencegat setiap usai ziarah, bahkan memepet dan membuntuti hingga saya duduk di atas jok sepeda motor. Saya, terpaksa memberi uang karena risih diganggu terus,” keluh Aziz, mahasiswa UIN Walisongo Semarang, Jumat (14/6/2019).
Para pengemis masih 'terbatas terornya' karena hanya berdiri di jalan masuk makam KH Sholeh Darat dan mencegat pengunjung yang hendak pulang. Sebab ada 'teror lanjutan' di komplek makam. Sejak melangkah masuk meniti undak setapak menuju makam KH Sholeh Darat, peziarah 'dicegat' jejeran kotak amal. Memang bersifat sukarela dan ada imbauan tertulis untuk berinfak. Para penjaga kotak amal yang merupakan warga sekitar Bergota umumnya bersikap sopan, mereka ramah menyapa pengunjung.
Namun ada sebagian oknum yang diduga kurang simpatik, yakni 'meneror' peziarah. Ulahnya, membujuk pengunjuk agar mengisi kotak amal dengan suara keras. Atau memposisikan diri 'menghalangi' peziarah. Ia baru bergeser memberi jalan setelah peziarah mengisi kotak amal.
Yang lebih vulgar, ada yang menyodorkan kotak amal di hadapan peziarah yang sedang khusyuk berdoa di depan pusara. Ia tidak akan beranjak pergi sebelum kotak itu diisi. Ada kesan, seolah setiap ziarah di makam KH Sholeh Darat, pengunjung harus “membayar”.
Penulis sering melihat sendiri aksi 'teror' kurang terpuji itu. Sudah pasti membuat peziarah merasa terganggu. Dan ini yang penting, tak ada serupiahpun uang di kotak amal itu masuk ke kas Pemerintah atau ke Takmir Masjid Kiai Sholeh Darat. Apalagi kepada dzurriyah. Seratus persen hanya yang menjaga kotak itu yang mengetahui penggunaannya. Pihak dzuriyah KH Sholeh Darat sebenarnya mengapresiasi para penjaga makam yang menunggui kotak amal. Ahli waris Mbah Sholeh tidak pernah meminta atau menerima sepeserpun dari uang di kotak amal tersebut.
“Saya dan seluruh keluarga dzurriyah Mbah Sholeh sangat menghargai dan berterima kasih atas kepedulian warga Bergota menjaga dan merawat makam kakek buyut kami. Kami tidak pernah meminta atau menerima uang dari kotak amal di makam itu,” tutur Agus Taufiq bin Zahroh binti Kholil bin Sholeh Darat.
Namun ketidakjelasan penggunaan uang dan tiadanya pertanggungjawaban infaq peziarah itu, membuat masyarakat berkomentar negatif. Diduga hanya dijadikan lahan mencari uang untuk kepentingan pribadi. Mereka dianggap sama dengan pengemis. Bedanya, pengemis menengadahkan tangan atau memakai kaleng rombeng, sedangkan mereka memakai kotak kayu yang dicat kinclong dan digembok.
Masih persoalan uang peziarah di kompleks makam KH Sholeh Darat, penulis pernah memperhatikan keberadaan kotak amal di maqbaroh sang waliyullah ini. Sedikitnya ada enam kotak besar; dua di jalan masuk, dua di teras, dan dua kotak di pintu masuk makam makam KH Sholeh Darat. Ditambah beberapa kotak kecil yang biasa dikelilingkan ke para peziarah yang berdoa di luar pagar maqbaroh KH Sholeh Darat.
Dalam sehari semalam, di hari biasa, makam Mbah Sholeh dikunjungi sekitar 40-70 orang. Di malam Jumat, bisa mencapai 100 orang atau lebih. Di bulan puasa, pengunjung meningkat pesat. Umumnya peziarah mengisi kotak amal dengan uang Rp5 ribu atau Rp10 ribu. Sebagian mengisi Rp2 ribu atau tidak berinfak. Namun tak jarang yang memasukan lembaran Rp20 ribu atau Rp50 ribu. Terkadang ada yang berinfaq Rp100 ribu atau lebih. Bisa diperkirakan dalam sehari ada puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah masuk di kotak amal. Dan meningkat banyak di malam Jumat dan di bulan Ramadhan, mungkin bisa mencapai jutaan rupiah.
Puncaknya ketika masuk bulan Syawal. Ratusan orang datang setiap hari hingga menjelang haul. Puncaknya adalah tanggal 10 Syawal yang merupakan Haul Kiai Sholeh Darat. Ribuan orang datang sejak malam menjelang haul hingga malam setelah haul. Uang yang masuk di masa Haul bisa mencapai belasan juta atau puluhan juta rupiah. Banyaknya uang di kotak amal itu telah lama menjadi sumber konflik antar penjaga makam. Dari pengakuan masing-masing pihak, konfliknya terjadi sejak orang tua mereka, alias sudah berlangsung dua generasi.
Beberapa kali terjadi perebutan dan pertengkaran di lokasi makam KH Sholeh Darat. Dzuriyah KH Sholeh Darat, Agus Taufiq mengaku berkali-kali diminta menjadi penengah untuk mendamaikan antar kelompok penjaga kotak amal. Cicit KH Sholeh Darat ini sering berziarah sehingga ia mengetahui kondisi makam, termasuk segala permasalahannya.
“Konfliknya sudah lama dan keras. Pernah terjadi adu fisik dan sampai menjadi urusan polisi. Saya beberapa kali diminta mendamaikan. Para pelaku sampai kini neng-nengen (saling mendiamkan). Namun saya berharap tidak lagi ada pertengkaran,” ujarnya kepada penulis dalam beberapa kali pertemuan.
Agus Tiyanto, keluarga dzuriyah KH Sholeh Darat yang lain mengatakan, ia telah lama mendengar keluhan para peziarah tentang perbuatan para penjaga kotak amal maupun konflik mereka. Dikatakan, sering terjadi peziarah diganggu ketenangannya oleh pertengkaran para penjaga kotak amal. Yaitu tukar padu (adu mulut) yang keras rebutan uang atau pembagian uang amal.
“Saya sering mendengar keluhan peziarah merasa terganggu oleh suara keras pertengkaran atau perebutan uang kotak amal. Saya sendiri pernah melihat situasi pertengkaran itu,” tuturnya dengan nada sedih. Sebenarnya (sebagian) uang kotak amal telah digunakan untuk merawat
dan menata makam KH Sholeh Darat. Di antaranya yang bisa dilihat nyata adalah plesteran jalan setapak, pembangunan toilet dan sarana wudhu, walau sangat sederhana. Serta pembayaran setrum listrik, pengecatan ulang, penggantian genteng pecah, dan hal-hal material lainnya. Mengenai permadani/karpet, menurut penuturan para penjaga makam dan dzuriyah, karpet di makam mbah Sholeh adalah sumbangan syukuran dari peziarah yang mengaku qobul hajatnya setelah berdoa di situ.
Adapun lampu-lampu, bisa dibeli dari uang kotak amal atau dari infak khusus. Penulis pernah melihat sendiri, ada peziarah yang memberi sejumlah uang ke penjaga makam dengan kalimat 'ini titip uang untuk mengganti lampu atau merawat makam'. Jadi ada uang tersendiri dari peziarah dermawan.
Pemerintah Kota Semarang mengupayakan mencari solusi atas berbagai persoalan di makam KH Sholeh Darat. Ide solusi yang pernah diperbincangkan Pemkot bersama stakeholder yakni pertama, membuat taman parkir dekat Bergota. Diikuti pengelolaan parkir resmi. Lengkap dengan fasilitas toilet dan mushola yang nyaman. Kedua, membuat jembatan layang untuk pejalan kaki di makam ke makam Kiai Sholeh Darat, agar tidak ada peziarah melangkahi, menginjak atau menabrak kuburan.
Kemudian yang ketiga, membuat akses jalan ke makam Kiai Sholeh Darat dengan memindahkan beberapa kuburan di sekitar makam KH Sholeh Darat. dan yang keempat, memindahkan makam KH Sholeh Darat ke lokasi yang representatif. Ini pilihan terakhir bila ide nomor 1, 2, 3 tidak bisa diwujudkan. Lokasi yang diusulkan sebagai tempat baru adalah halaman belakang
Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), di Gayamsari, Semarang. Di MAJT semua fasilitas yang diperlukan telah tersedia dan nyaman. Apabila terjadi bisa dipindah di MAJT, maka akan menggabungkan dua wisata religi, yaitu ziarah wali dan kunjungan ke masjid agung milik rakyat Jawa Tengah tersebut.
Penulis adalah Sekretaris Komunitas Pecinta Kiai Sholeh Darat (KOPISODA) Semarang.