Opini REFLEKSI SUMPAH PEMUDA

Menggagas Kongres Pemuda Ketiga

NU Online  ·  Senin, 29 Oktober 2018 | 00:30 WIB

Oleh: Candra Malik
Sembilan puluh tahun silam, tepatnya 28 Oktober 1928, pemuda-pemudi Indonesia hadir dari seantero bumi Nusantara dan berkumpul di Batavia untuk menggelar Kongres Pemuda Kedua. Putra-putri Indonesia ini mengikrarkan Sumpah Pemuda, yaitu mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia; dan berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia; serta menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Hari-hari ini, di tengah gerakan pemecahan persatuan dan kesatuan bangsa, akankah kita hanya memeringati Hari Sumpah Pemuda dengan seremoni belaka tanpa perenungan dan tindak lanjut?

Hingga hari ini, dan niscaya hingga masa-masa yang akan datang, pemuda-pemudi Indonesia memang masih bergabung dan bergerak dalam perkumpulan-perkumpulan, baik itu partai politik, organisasi masyarakat, kelompok bisnis, perhimpunan pelajar, maupun klub hobi dan selera. Namun, diakui atau tidak, tidak banyak yang menetapkan tema besar kebangsaan dan kenegaraan sebagai fokus orientasi. Terasa benar betapa mudahnya politik kekuasaan telah meretakkan, bahkan memecah, persatuan dan kesatuan. Kini kasat mata kita bisa saling melihat siapa pro siapa dan siapa kontra siapa. Bukan lagi sebatas sebagai pilihan politik, tapi bahkan sudah pilihan hidup. 

Hari-hari ini, selayaknya kita merindukan lagi spirit kebangsaan Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Persatuan Para Pelajar Indonesia, Pemuda Kaum Betawi, dan pemuda-pemudi Indonesia dari berbagai latar belakang Nusantara yang kaya raya itu terlahir kembali dalam wujudnya yang baru dan milenia. Lalu, berkumpul dan bermusyawarah tentang hendak dibawa ke mana masa depan bangsa Indonesia. Akankah kita biarkan Indonesia terbukti bubar pada 2030 sebagaimana yang pernah disinyalir sebagian kalangan?

Upaya-upaya menuju pembubaran Indonesia semakin tampak nyata. Hari-hari ini, bendera hitam bertuliskan Kalimat Thoyyibah, atau sebagian orang kini menyebutnya kalimat tauhid, yaitu Laa ilaaha illa 'l-Laah Muhammadu 'r-Rasuulu 'l-Laah, telah dikibarkan di mana-mana. Bahkan, ada yang pengibarannya melebihi tiang bendera kebangsaan merah putih. Meski Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyangkal bendera itu sebagai bendera HTI karena lebih memilih menyebutnya bendera tauhid, bendera ini telah dijadikan alat politik. Bisakah ini dibaca sebagai upaya makar untuk mengubah Indonesia menjadi negara agama? 

Simpatisan gerakan khilafah mengarak "bendera tauhid" di jalan-jalan strategis, di antaranya di Solo dan Jakarta, dan keduanya mengarah ke kantor Nahdlatul Ulama (NU). Di Malang, aksi "bela tauhid" bahkan digelar tepat pada peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018. Di Magelang, beberapa hari sebelumnya, kaca kantor NU dipecah oleh provokator. Provokasi yang lebih berani terjadi di Poso, Sulawesi, yaitu pengibaran "bendera tauhid" di tiang utama di kota itu dan berkibar paling tinggi, lebih tinggi dari sang saka merah putih. Yang menarik, mereka menuntut siapa pun menghormati bendera tauhid sambil mereka sendiri menaruh bendera tauhid sembarangan, bahkan di tanah, lebih rendah dari mereka, dan diduduki. 

Hari-hari ini, kita selayaknya meneruskan pergerakan dan perjuangan Indonesia. Setelah pemuda-pemudi Indonesia pada 28 Oktober 1928 berikrar dalam Sumpah Pemuda, dilanjutkan para bapak bangsa yang memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, menyepakati konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, ideologi bangsa dan dasar negara Pancasila, lambang negara Garuda Pancasila, bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, kini giliran kitalah memberi sumbangsih pada bangsa dan negara.

Apa yang akan kita berikan pada negeri ini dan generasi mendatang? Perpecahan? Kehancuran? Tentu saja tidak! Sepatutnya kita tidak membiarkan siapa pun, baik itu sendiri atau berkelompok, merongrong kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Kita bergerak menuju 100 tahun pertama Bangsa Indonesia; baik itu dihitung dari Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 maupun Hari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945. Tepat pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018, berbeda kondisinya dengan aksi di Malang, ratusan ribu Muslim berkumpul di Stadion Gelora Delta Sidoarjo untuk hadir dalam Istighostah Kubro memeringati Hari Santri Nasional IV, untuk mendoakan Indonesia!

Peringatan Hari Lahir TNI 5 Oktober, Hari Santri Nasional 22 Oktober—yang telah ditetapkan sebagai hari nasional untuk memeringati Resolusi Jihad oleh Rais Akbar NU Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari—dan Hari Pahlawan 10 November yang terangkai menunjukkan betapa tentara, santri dan kiai, serta rakyat Indonesia tidak akan pernah dapat diceraiberaikan. Meski ujaran kebencian dan permusuhan, penyebaran hoaks dan propaganda, olok-olok dan fitnah; adu domba dan pecah belah, pembenturan agama dan budaya, terus dilakukan, siapa pun tak akan rela akal sehat dan budi pekerti dikalahkan oleh ikhtiar-ikhtiar jahat itu.

Pada 28 Oktober 2018, memeringati proses dan hasil dari Kongres Pemuda Kedua, yang juga momentum 90 tahun Sumpah Pemuda, mari renungkan: apa yang telah kita lakukan untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia? Karena memang kongres yang telah melahirkan Sumpah Pemuda tidak disebut sebagai kongres terakhir, mari kita selenggarakan Kongres Pemuda Ketiga yang digelar oleh pemuda-pemudi Indonesia yang berpihak pada bangsa dan negara, bukan pada politik praktis dan kekuasaan belaka. Wahai putra-putri Indonesia, ayo bangkit! Letakkan dulu ego politik kekuasaan, mari kita gagas Kongres Pemuda Ketiga untuk masa depan bangsa dan bersumpah untuk Indonesia.

Jika bangsa-bangsa besar memiliki aksara pemersatu; lihat saja Arab, Mesir, Cina, India, dan Jepang, lalu mengapa Indonesia tidak? Bukankah Indonesia bangsa besar? Bukankah hari-hari ini sebagian dari kita mempertengkarkan dan memerkarakan pembakaran bendera yang bertuliskan aksara-aksara yang diyakini berasal dari ayat-ayat suci? Masih banyak hal lain lagi yang perlu kita bicarakan dengan tenang dan dengan wawasan yang jauh ke depan, melintasi zaman, melampaui pikiran-pikiran pendek yang hanya lima tahunan. Kongres Pemuda Ketiga menunggu Anda. Menunggu kita matangkan dan laksanakan di atas kepentingan pribadi dan golongan. 

Penulis adalah Wakil Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) pada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).