Sebelumnya karena suasana masih lebaran saya ingin menyampaikan mohon maaf lahir batin, Ied Mubarak.
Setelah mengamati bursa calon ketua umum PBNU untuk muktamar di Makassar mendatang, tampaknya mulai diperoleh gambaran sedikit lebih jelas, tentunya dengan berbagai asumsi, intuisi, wawancara dan pengalaman.<>
Beberapa nama calon pernah saya lempar dalam tulisan atau wawancara sebelumnya di NU Online. Namun muncul nama-nama baru yang berkembang misalnya Slamet Effendi Jusuf, Ulil Absor Abdallah dsb. Di lain pihak Pak Hasyim Muzadi melempar rambu-rambu jangan ada Abu Hasan-Abu Hasan dalam muktamar nanti. Apa yang dimaksud masih samar. Apakah orang pemerintah yang akan menyetir NU agar selalu mendukung kebijaksanaan pemerintah atau merubah politik siasah dari kiprah NU, perlu klarifikasi. Yang penting organisasi NU harus tetap tawassuth, tasamuh, tawazun dan amar ma'ruf nahi munkar.
Lalu siapa calon ketua umum di papan atas saat ini? Mari kita analisis secara sederhana saja. Rupanya Gus Mus tak bergeming untuk menyatakan mau menjadi ketua umum. Saya tanya kiri kanan, orang-orang dekatnya, jawabannya yang pernah disampaikan tak berubah.
Bagaimana dengan Gus Sholah (Salahudin Wahid). Kalau tidak salah Gus Sholah pernah bilang tak akan mau dengan cara money politik bahkan kampanye. Artinya, mau mencalonkan dengan cara apa adanya dalam diri Gus ini. Soal "money politik" perlu didudukkan yang proposional. Hal ini tentunya tidak sama dengan money politik yang ditetapkan oleh KPU atau Bawaslu.
Di kalangan kiai NU umumnya ada adat salam tempel, ada yang bilang bisyaroh (kabar gembira, ya salam tempel itu, kalau anak muda bilang, "jelas nggak angkanya!?"). Pernah ada joke pada waktu Pak Harto, banyak kiai daerah disowankan ke Cendana. Ada beberapa pangdam yang memfasilitasinya untuk menunjukkan bahwa kiai-kiai setia pada Pak Harto, ujung-ujungnya waktu pulang dapat "bisyaroh" alias amplop.
Pada waktu Pak Habibie, karena beberapa kiai enggan, yang dikirim kiai mudanya bahkan santri senior didandani layaknya kiai, pulangnya diberi kabar gembira salam tempel. Namun lain jaman Gus Dur seluruh kiai bahkan kiai langit datang ke istana. Tak perlu diantar pangdam atau pejabat, namun pulangnya tak ada yang diberi bisyaroh, lalu kiai-kiai meminta agar koordinatornya tanya Gus Dur. Jawabnya kalem, kok sesama kiai minta amplop, kalau bisa datang ke sini tentunya bisa pulang sendiri-sendiri ke daerahnya.
Gus Sholah kalau tidak kampanye ya salah besar, karena yang punya suara adalah pengurus wilayah dan pengurus cabang seluruh Indonesia. Memang Gus Sholah mempunyai darah biru di NU dan pemangku pondok pesantren Tebuireng, tetapi tidak banyak berpengaruh. Bagaimana dengan Slamet Effendi Jusuf dan Ulil Absor. Saya kira tak bisa, ujug-ujug (tiba-tiba), paling tidak ikut dulu duduk dalam pengurus harian PBNU. Begitulah sejarah tradisi NU selama ini. Meskipun misalnya back-up dari tokoh ini kuat tetapi NU adalah NU, budaya kohesivitas tinggi perlu ada waktu untuk tempat menguji.
Bagaimana pula dengan Pak Bagja, yang terlama dalam jajaran periode PBNU. Memang jaringannya luas, pengalaman banyak, bekas ketua umum dan ketua alumni PMII lagi, namun kekaleman, greget kurang, penampilan di media jarang jadi tak cukup gairahnya untuk menjadi ketua umum. Lalu siapa?
Bagaimana pula dengan DR KH Ali Machsan dari Jawa Timur? Proses pergantian atau pengunduran sang ketua wilayah Jatim ini pun yang kemudian diganti oleh KH. Mutawakkil sudah menunjukkan sebenarnya KH Ali Machsan lebih memilih ranah politik dari pada memimpin organisasi NU yang memperjuangkan kembali khittahnya. Bahkan kontoversi sempat terjadi di Jawa Timur sendiri.
Memang ada 3 potensi dari pengurus wilayah yang sering dibicarakan oleh ketua umum Hasyim Muzadi yang cocok untuk ketua umum PBNU yaitu dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogya. Yang dari Yogya wafat lebih dulu, dari Jawa Tengah jauh-jauh hari menyatakan ketidak sediaannya. Bagaimana pula denga DR Moh Nuh yang menjabat menteri Kominfo pada periode 2005 – 2009 ini? Pak Nuh sendiri menyatakan keberatan (kebesaran baju) untuk ikut mencalonkan ketua umum.
Jadi siapa lagi calon-calonnya. Menurut penulis tinggal dua orang yang memang siap maju dan tegas keinginannya menduduki jabatan ketua umum PBNU. Bahkan sudah keliling ke daerah-daerah dan beberaopa kali melakukan koordinasi dengan tokoh-tokoh NU baik cabang maupun kiai-kiai yaitu DR KH Said Aqil Siraj dan KH Masdar Farid Mas'udi yang kebetulan dua-duanya sebagai ketua tanfidziyah PBNU periode ini dan pernah menjadi pengurus syuriah PBNU juga pada periode sebelumnya.
Dukungan kiai dan kaum muda ada pada calon ini. Pengalaman mencalonkan sebagai ketua umum pernah dilakukan pula. Mereka berdua memiliki kemampuan intelektualitas tinggi. Pendekatan-pendekatan selain kepada para kiai, DR Said Aqil melakukan perangkulan ke tokoh-tokoh dari kelompok Islam yang lain termasuk tokoh non Islam, untuk mendapatkan pandangan-pandangan masukan pemikiran. Penguasaan agamanya sangat baik, masih muda, energik, terlibat baik kegiatan-kegiatan NU pada level nasional maupun internasional.
Demikian juga KH Masdar, bergerak lewat masjid-masjid, yang selalu mengingatkan selain kegiatan agama juga kegiatan sosial kemasyarakatan harus dibangun melalui masjid-masjid. Masjid-masjid yang didirikan oleh orang-orang NU kemudian banyak diambil oleh kelompok lain harus dapat diambil kembali dan dijadikan pusat pemikiran dan pengembangan NU untuk membenahi baik menyangkut masalah religiusitas maupun sosial ekonomi kemasyarakatan.
Ya tinggal dua calon inilah yang menurut penulis saat ini ada di papan paling atas. Tinggal sisa waktu muktamar yang akan dimanfaatkan oleh mereka ini, tinggal bunyi tata tertib termasuk tata cara pemilihan ketua umum yang disosialisasikan dan disetujui muktamirin di muktamar nanti. Tinggal kiat mengolah kampanye keduanya, serta bagaimana opini yang akan dibentuk dan team suksesnya yang handal. Kalah menang biasa dalam pemilihan pada muktamar NU dan yang penting tetap menjaga ukhuwah nahdliyah.
* Ketua PBNU, Dubes di Doha-Qatar.
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua