Oleh Ainol Yaqin
Pada cendekiawan kontemporer berupaya merevitalisasi dan mereformulasi maqâshidus syarîah agar bisa relevan dan responsif dalam memecahkan problema umat yang semakin kompleks. Mereka secara langsung menelaah, mengkaji dan melacak nash-nash syara’ guna menyusun kerangka maqâṣidus syarîah sehingga bisa meng-cover kemaṣlaḥatan yang mengisi ruang zaman.
Perubahan ini sangat penting, karena perubahan zaman merupakan sebuah keniscayaan, sedangkan nash-nash sebagai acuan istinbâth hukum jumlahnya terbatas. Di antara mereka yang berijtihad dalam merefomulasi dan merekontruksi maqâṣidus syarîah sebagai berikut:
Rasyîd Ridhâ (w. 1354 H/1935 M) mengkaji Al-Qur’an untuk menyelami maqâṣidus syarîah sehingga ia menyimpulkan bahwa maqâshid mencakup; perbaikan sendi-sendi agama (اصلاح اْركان الدين), penyebaran perkara-perkara kenabian, Islam agama fithrah (الاسلام دين الفطرة), akal logika (العقل), ilmu pengetahuan (العلم), kebijaksanaan (الحكمة), berpikir logis (البرهان), kebebasan (الحرية), kemerdekaan (الاستقلال), reformasi sosial, ekonomi, politik (الاصلاح الاجتماعي الاقتصادي السياسي) dan hak-hak wanita (حقوق النساء). (Jasser Auda, Maqâshid al-Syarî’ah kafalsafah littasyrî’ al-islâmî ru`yah manzhûmiyah, diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh ‘Abdullathîf al-Khayyath, 2012: 36).
Begitu pula, Ibnu ‘Âsyûr (w. 1325 H/1907 M) berlandaskan kajiannya atas Al-Qur’an ia merumuskan maqâshid umum hukum islam adalah memelihara keteraturan umat (حفظ نظام الاْمة), kesetaraan (المساواة), kebebasan (الحرية), toleransi (السماحة), global (العالمية) dan fithrah (الفطرة). Ibnu ‘Âsyûr menandaskan mutiara hikmah toleransi dalam syari’at islam adalah dijadikannya syari’at islam seirama dengan fithrah yang terhunjam dalam jiwa manusia sehingga dengan mudah bisa diterima. Fithrah manusia menjauhkan diri dari tindakan ektrimis, kekerasan dan pelampauan batas, sebab itulah yang selaras dengan prinsip syari’at islam yang berdimensi universal dan eternal. Karenanya, islam mengedepankan kemudahan dalam mengamalkan syari’atnya serta menafikan perkara yang menyulitkan dan menyusahkan. al-Musâwah (egaliter), dalam arti setiap umat islam berposisi sederajat/sama di hadapan hukum islam. Tiada perbedaan secuilpun di muka hukum islam antara orang yang kuat, lemah, mulia, hina dan sebagainya. Hal ini bertumpu pada asas yang mendasar, yaitu islam sebagai agama fithrah. Prinsip al-musâwah dalam syari’ah islam bertitik pangkal pada persamaan umat manusia dalam hal penciptaan. Dari sisi bashariyah-nya manusia adalah sama, kesemuanya berasal dari Nabi Âdam as. Mereka sama-sama memiliki hak hidup di muka bumi selaras dengan fithrah-nya, tidak ada perbedaan lantaran berlainan warna kulit, bentuk rupa atau tempat tinggal. Karena itulah, prinsip persamaan ini meniscayakan pemberlakuan sama dalam dasar-dasar syara’. Sementara kebebasan tercermin dalam ajaran al-qur’an yang menekankan tiada paksaan dalam penganutan agama. (Muḥammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, 2001: 252-330).
Muḥammad al-Ghazâlî (w. 1416 H/1996 M) memasukkan keadilan (العدالة) dan kebebasan (الحرية) pada tingkatan dharûriyyât (Jamâluddîn ‘Athiyyah, Nahwa Taf’îl Maqâshid al-Syarî’ah, 2001: 98). Demikian halnya, Yûsuf al-Qardhâwî (l. 1345 H/1926 M) setelah menelaah al-qur’an sehingga merumuskan maqâshid umum berikut ini: merawat akidah-akidah yang benar (تصحيح العقائد), memelihara harkat dan hak-hak asasi manusia (تقرير كرامة الانسان و حقوقه), menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah Swt. (الدعوة الى عبادة الله), menyucikan jiwa (تزكية النفس البشرية), memperbaiki moral (تقويم الاْخلاق), membangun keluarga yang baik (تكوين الاسرة الصالحة), memperlakukan wanita dengan adil (انصاف المراْة), membangun umat yang berkualitas (بناء الاْمة الشهيدة على البشرية) dan menyeru pada dunia yang humanis dan kooperatif (الدعوة الى عالم انساني متعاون). (Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa Nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999: 73-123)
Sementara itu, Thaha Jâbir al-‘Alwanî (l. 1354 H/1935 M) sesudah mengkaji al-qur’an sehingga ia menemukan maqâshid al-syarî’ah tertinggi adalah tawhîd/mengesakan Allah swt. (التوحيد), membersihkan jiwa (التزكية) dan mengembangkan peradaban di bumi (العمران /اقامة الحضارة في الاْرض). (Thaha Jâbir al-‘Alwanî, Maqâshid al-Syarî’ah, 2001: 25)
Jasser Auda menilai sangat penting memasukkan pengembangan atau pembangunan Sumber Daya Manusia (التنمية البشرية) dalam mashlaḥah umum yang menjadi salah satu maqâshidus syarî’ah yang direalisasikan dalam hukum islam. Hal ini sangat mungkin direalisasikan dan bisa diukur dengan mengacu pada target-target pengembangan SDM menurut PBB (الامم المتحدة) dan dikaitkan dengan maqâshid yang lainnya. Karena, fakta dan data menginformasikan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim tingkat Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) lebih rendah ketimbang negara maju. Bagi Jasser Auda, dinilai penting melihat laporan pembangunan SDM versi PBB karena berlandaskan dari 200 indikator, diantaranya mengukur partisipasi politik, kemampuan baca-tulis, tingkat pengembangan pendidikan, harapan hidup, terpenuhinya air bersih, tingkat pengangguran, standar hidup layak, standar keadilan sosial dan sebagainya. (Jasser Auda, Maqâṣid al-Sharî’ah, 2012: 36).
Kontruksi maqâshid al-syarî’ah yang dicanangkan Jasser Auda tidak menata ulang dari awal, melainkan menata kembali, membangun dan mengembangkan maqâshid yang sudah dirumuskan ulama` terdahulu. Misalnya, teori maqâshid al-syarî’ah yang digagas oleh ‘Abd Mâlik al-Juwainî (w. 478H/1085 M), Abû Hâmid al-Ghazâlî (w. 505H/1111M), Fakhruddîn al-Râzî (w. 606H/1209M), Sayfuddîn al-Âmidî (w. 631H/1234 M), ‘Izzuddîn bin ‘Abd al-Salâm (w. 660 H/1209 M), Syihâbuddîn al-Qarâfî (w. 684 H/1285 M), Najmuddîn al-Thûfî (w. 716 H/1316 M), Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 748 H/1347 M), Tâjuddîn al-Subkî (w. 771 H/1329 M), Abû Ishâq al-Syâtibî (w. 790 H/1388 M) dan seterusnya. Teori maqâshid al-syarî’ah dari periode ke periode berikutnya tidaklah sama persis, tetapi mengalami perubahan, perkembangan dan tambahan-tambahan. Hal ini menunjukkan bahwa maqâshid al-syarî’ah tidak paten, permanen, melainkan bisa dikembangkan seiring dengan tuntutan dan kebutuhan zaman.
Letak perubahan dan perkembangan teori maqâshidus syarî’ah klasik ke maqâshidus syarî’ah kontemporer terdapat pada titik tekan keduanya. Maqâṣidus syarîah klasik lebih ditekankan pada protection (الحفظ/perlindungan) dan preservation (العصمة/penjagaan), sedang maqâshid al-syarî’ah kontemporer lebih ditekankan pada development (التنمية/pengembangan) dan right (الحقوق/hak-hak). Dengan demikian, hifdz al-dîn (proteksi agama) diperluas pemaknaannya pada menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan beragama dan kepercayaan; hifdz al-aql (proteksi akal) dikembangkan pemaknaannya pada optimalisasi pengembangan pola pikir, riset ilmiah, perjalanan menuntut ilmu, melepas mentalitas belenggu taqlid dan menghargai upaya-upaya dan penemuan-penemuan ilmiah; hifdz al-‘irdhi (proteksi kehormatan) dikembangkan pemaknaannya pada perlindungan harkat dan martabat manusia, dan menjaga, melindungi hak-hak asasi manusia; hifdz al-mâl (proteksi harta) ditingkatkan pemaknaannya pada mengutamakan kepedulian dan kepekaan sosial, pengembangan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan manusia, mempersempit jurang pemisah antara kaya dan miskin dan mengurangi bahkan menglihangkan perbedaan antar-kelas sosial-ekonomi. (Jasser Auda, Maqâshid al-Syarî’ah, 2012: 58-62).
Selain pengembangan maqâṣidus syarîah di atas, Jasser Auda mengajukan urgensi konsep pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai mashlahah ‘âm (mashlahah umum) dalam bagian maqâṣidus syarîah untuk direalisasikan melalui hukum islam kontemporer. Setiap hukum Islam yang berdampak positif pada pengembangan Sumber Daya Manusia semestinya dipelihara dan ditingkatkan, sebaliknya setiap hukum yang melemahkan SDM seharusnya disingkirkan dan ditolak.
Realisasi maqâshid semacam ini dapat diketahui, dikontrol aspek perkembangan dan kemajuannya dari waktu ke waktu melalui data yang dirilis human delelopment index (Indeks Pembangunan Manusia) dan human development targets (Target Pembangunan Manusia) yang ditetapkan oleh PBB atau lembaga kredibel lainnya. Pada gilirannya, perkembangan, kemajuan dan kesejahteraan umat islam dapat diperjuangkan, diupayakan dan terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Penulis adalah Dosen IAIN Madura, Alumni Ma’had Aly Sukorejo Situbondo