Oleh Al-Zastrouw Ngatawi
Beberapa hari yang lalu jelang masuk bulan suci Ramadhan 1439 H, tragedi yang memakan korban jiwa kembali dilakukan oleh orang-orang biadab di Surabaya. Minggu sebelumnya lima nyawa bayangkara negara sirna penuh luka di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Dianiaya secara keji dan biadab oleh mesin pembunuh berbentuk manusia.
Ya, wujud mereka itu memang manusia, tapi hakikatnya mereka adalah mesin pembunuh yang tak punya rasa sehingga kebiadabannya melebihi hewan buas yang pernah ada. Racun dogma telah merusak pikiran mereka, membunuh rasa kemanusiaan dan menghancurkan seluruh akal budi, sehingga mereka tega melakukan pembunuhan keji pada sesama tanpa merasa berdosa.
Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa pembantaian para kiai dan aparatur negara tahun 1948 yang dilakukan oleh PKI. Sejarawan Agus Sunyoto (1990) menyebutkan beberapa kiai pengasuh pondok pesantren, mursyid thariqah, para pejabat dan aparat negara; Bupati Magetan, polisi, patih, wedono, Kepala Pengadilan dibantai dan disiksa secara biadab oleh PKI kemudian mayatnya dimasukkan dalam sumur. Bahkan ada di antaranya yang dikubur dalam sumur hidup-hidup setelah disiksa, sebagaimana yang dialami oleh KH Moh. Sofwan.
Meski dengan baju ideologi yang berbeda, namun keduanya memiliki kesamaan yaitu membunuh sesama manusia dengan cara keji dan biadab. Pada kasus pembantaian 1948 racun ideologi komunis telah menggerakkan orang PKI menjadi mesin pembunuh sedangkan pada pada kasus kerusuhan di Mako Brimob mesin pembunuh itu tercipta oleh virus radikal fundamentalis agama.
Membandingkan kedua kasus ini bisa dikatakan bahwa ideologi intoleran, merasa diri paling benar, baik yang bersumber dari pemahaman agama maupun yang anti agama sama-sama membahayakan kemanusiaan karena sama-sama bisa menciptakan manusia-manusia biadab yang menjadi mesin pembubuh secara keji.
Meski kaum agamawan menyangkal bahwa tindakan tersebut tidak ada kaitannya dengan agama tertentu (Islam), namun sangkalan ini sulit diterima karena saat membunuh mereka menggunakan simbol agama, dilakukan atas nama agama dan diyakini untuk kepentingan agama oleh para pelakunya.
Bahkan saat melaksanakan pembunuhan dan melakukan kerusuhan mereka meneriakkan takbir dan mengutip ayat suci. Ini sama sulitnya dengan upaya untuk tidak mengkaitkan pembantaian 1948 dengan ideologi komunis. Ini terjadi karena para pelaku pembantaian menggunakan simbol komunis, atas nama kebenaran ideologi komunis dan untuk kepentingan komunis.
Pemisahan tidakan biadab para teroris dengan Islam menjadi semakin sulit ketika masih ada rasa simpati dan pembelaan pada mereka atas nama agama. Misalnya dengan membuat asumsi dan justifikasi yang membenarkan tindakan mereka, baik secara samar-samar, terselubung maupun terang-terangan. Sikap seperti ini akan semakin mengokohkan pandangan ideologi para teroris. Mereka akan tetap merasa bahwa pandangan keagamaan yang dianutnya benar. Buktinya mereka masih mendapat simpati dan bahkan dianggap sebagai pahlawan, mujahid atau syahid ketika mereka gugur.
Pandangan seperti ini tidak saja akan menumbuhkan dan memperkuat ideologi intoleran yang menyebabkan seseorang menjadi mesin pembunuh sadis. Lebih dari itu hal ini juga akan semakin memperkuat asumsi Islam sebagai agama kekerasan. Meski seribu kali bicara Islam tidak terkait dengan teroris, tetapi selagi para pelaku teror masih meneriakkan Allahu Akbar saat membantai, mengatasnamakan Islam saat menyiksa dan masih ada yang menyebut mereka sebagai pahlawan dan pejuang Islam, maka akan sulit menyangkal Islam sebagai agama kekerasan.
Sebagaimana orang PKI yang mengelak dengan segala cara bahwa ideologi komunis adalah anti kekerasan, humanis, dan sejenisnya. Tapi ketika pengikutnya melakukan pembantaian sadis pada sesama manusia atas nama ideologi komunis, maka tetap saja diasumsikan bahwa komunis adalah pembunuh dan pemberontak.
Jika Islam tidak ingin dikaitkan dengan tindakan teror dan pencipta mesin pembunuh, maka umat Islam harus berani membuang simpati pada kaum intoleran yang tega melakukan pembantaian sadis terhadap sesama manusia dengan meneriakkan takbir dan mengutip ayat. Umat Islam harus berani menyatakan bahwa mereka yang menyerang aparat negara dan pemerintah yang sah, mengancam kedaulatan negara adalah bughat yang layak diperangi, sekali pun mereka mengatasnamakan Islam. Seperti yang dilakukan terhadap PKI dan pemberontak lainnya.
Tanpa ketegasan, radikalisme akan sulit diberantas. Dan mesin-mesin pembunuh sadis yang mengatasnamakan Tuhan dan kebenaran agama akan terus bermunculam karena selalu saja ada yang simpati dan menganggapnya sebagai pejuang, mujahid dan syahid. Saatnya bertindak tegas dan membuang rasa simpati pada mesin pembunuh sadis yang melakukan tindakan biadab dengan membajak agama.
Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta