Opini FAISOL RAMDHONI*

Menakar Internalisasi Fikrah Nahdliyah di Madura

NU Online  ·  Senin, 16 Desember 2013 | 02:35 WIB

 

Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu untuk mempertegas ke-identitasan-nya maka diputuskanlah sebuang kerangka berpikir bagi kalangan Nahdliyin yang kemudian dikenal dengan sebutan “Fikrah Nahdliyah”.<>

Sesuai keputusan Musyawarah Nasional Alim-Ulama No. 02 (MUNAS/VII/2006 tanggal 30 Juli 2006 di Surabaya mendefinisikan ‘Fikrah Nahdliyah” sebagai: Kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran ahlussunnah wal-jama’ah yang dijadikan landasan berpikir Nahdlatul-Ulama (Khittah Nahdliyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlah al-ummah (perbaikan umat).

Definisi tersebut bila dijabarkan secara luas memberikan penjelasan bahwa dasar-dasar faham keagamaan NU bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan menggunakan jalan pendekatan bermadzhab yang dipelopori ole salah satu dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali di bidang fiqih dan NU mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama fitri, bersifat menyempurnakan dan tidak menghapus nilai luhur yang sudah ada. Konskuensi logis dari penggunaan dasar faham keagamaan ini kemudian menuntut pola pikir yang khas bagi NU dalam merespon setiap persoalan, baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan.

Dalam definisi fikrah Nahdliyah terdapat 5 (lima) pola pikir yang harus diterapkan NU dalam menyelesaikan persoalan,antara lain: Pertama, Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan Itidal(moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath, Kedua,Fikrah Tasamuhiyyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda, Ketiga, Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah  yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al­ ashlah), Keempat, Fikrah Tathowwuriyyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan serta yang terkahir,Kelima,Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.

Salah satu bentuk implementatif dari kontekstualisasi diberlakukannya Fikrah Nahdliyah ini terwujud dalam ketegasan NU yang menolak upaya pendirian negara Islam dan pemberlakuan formalisasi syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal ini nampak hasil Majelis Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo pada November 2007. Salah satu point penting adalah pembahasan tentang “Khilafah dan Formalisasi Syari’ah”. Forum tersebut memberikan argumentasi bahwa tidak ada dalil/nash al-Qu’ran atau al-Hadist yang mengharuskan pembakuan bentuk khilafah dalam sistem ketatanegaraan Islam, karena keberadaan khilafah adalah bentuk ijtihadiyyah atau interpretasi belaka. Sedangkan upaya penerapan syariat Islam harus dijalankan secara substantif bukan di formalisasikan dalam bentuk peraturan-peraturan formal.

Namun seiring dengan perjalanan waktu membawa Nahdlatul Ulama berinteraksi dengan organisasi­-organisasi lain yang memiliki karakter dan cars berpikir berbeda. Akibatnya, warga NU sendiri banyak yang kehilangan identitas ke-NU-annya. Banyak orang yang secara for­mal mengatasnamakan warga nahdliyin, tetapi cara berpikirnya tidak lagi mencerminkan karakteristik Nadlatul Ulama.

Di sini mulai muncul paradoks; di satu sisi NU (setidaknya) di tingkat pusat selalu menjaga untuk tetap berada dalam pijakan fikrah Nahdliyah namun di sisi lain NU terutama di derah-daerah malah seringkali berada di luar lintasan fikrah tersebut. Beragam aktivitas,keputusan dan pemikiran yang dimunculkan oleh nahdliyin di daerah-daerah cenderung lebih berpihak pada semangat untuk mengusung tema formalisasi syariat Islam. Mereka nampaknya lebih menyukai bahkan lebih merasa nyaman untuk bersetubuh dengan wacana-wacana yang banyak diusung oleh kempok-kelompok islam ektrimis palagi kalo sudah masuk dalam zona demi amar ma’ruf nahi munkar.

Kenyataan ini sebagaimana pernah diungkap oleh K.H Hasyim Muzadi (NU Online, 09/04/2007). Beliau menyatakan bahwa mengembangkan Fikrah Nahdliyah atau pokok-pokok pemikiran ke-NU-an mengalami banyak kendala. Sat ini fikrah nahdliyah sedang berada dalam “kepungan” berbagai macam ideologi dan pemikiran lain.Hal ini disebabkan karena fikrah Nahdliyah yang menjadi ciri khas pemikiran NU kurang disosialisasikan secara massif baik secara tertulis maupun lisan kepada masyarakat nahdliyin akibatnya banyak yang tidak peduli dan tidak tahu tentang NU walaupun mereka lahir dan besar di lingkungan NU.

Rupanya,pernyataan ini ternyata bukan hanya isapan jempol belaka. Di Madura, misalnya, daerah yang dikenal sebagai salah satu basis NU karena mayoritas masyarakatnya merupakan nahdliyin. Bahkan di Madura,NU telah dijadikan sebagai “agama” oleh sebagian besar masyarakat kalangan bawah yang terkenal sangat fanatik. Fenomena menguatnya semangat untuk lebih menyukai wacana-wacana formalisasi syariat Islam begitu mudah didapatkan bahkan cenderung merata hampir di sebagian nahdliyin yang tersebar di empat kabupaten di pulau Madura.

Fenomena penerapan Perda Syariat Islam di Pamekasan menjadi salah satu fakta adanya kesenjangan pemahaman fikrah nahdliyah ini antara NU pusat dengan NU di daerah. Perda yang lahir atas desakan Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam (LP2SI) yang dibentuk atas dukungan dari sejumlah Organisasi msyarakat (ormas) Islam telah menempatkan NU pamekasan sebagai pendukung utama. Bahkan menjadi garda terdepan yang paling getol dengan membuat pernyataan bersama untuk turut berperan aktif dlam mensosialisasikan program-program LP2SI yang terangkum dalam motto Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami (Gerbang Salam).

Kesenjangan dalam memposisikan fikrah Nahdliyah ini juga terjadi di Kabupaten Sampang tatkala meletusnya konflik Sunni-Syiah yang sampai saat ini tak kunjung menemukan penyelesain. Pemaknaan adanya Fikrah Tasamuhiyyah (pola pikir toleran) dalam Fikrah Nahdliyah yang coba dipaparkan oleh PBNU malah kurang memunculkan respon positif dari kiai-kiai NU Sampang baik yang berada di struktural maupun non struktural.

Fenomena yang serupa juga ditemukan di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep. Walaupun skalanya tidak se ekstrim seperti yang tejadi di Pamekasan dan Sampang namun gelagat untuk mengarah pada dukungn penerapan Islam formalistik sangat jelas untuk dibaca. Di Bangkalan,PCNU setempat mengusulkan siterbitkannya Perda  agar seluruh peserta didik dan pegawai kantoran, wajib menggunakan busana muslim atau berjilbab. Hal tersebut dinilai sangat penting, guna menjaga norma agama dan sekaligus menegaskan identitas kota santri.Usulan tersebut, dituangkan secara langsung oleh jajaran PCNU, dalam hearing dengan DPRD setempat dan organisasi lain, yang membahas masalah rancangan peraturan daerah (raperda) tentang penyelenggaraan pendidikan, di ruang DPRD Bangkalan(Detik,29 Juli 2009).

Lain lagi dengan gejala yang muncul di Sumenep, Meskipun menuai pro kontra, keinginan DPRD Sumenep untuk menjadikan Sumenep sebagai kawasan bebas buta huruf Al-quran dengan adanya Perda khusus nampak sangat mendapatkan dukungan dari sejumlah aktivis NU. Terbukti Raperda Wajib Baca Tulis Al-Quran saat itu begitu mudah masuk dalam program legislasi daerah. Ditengarai penetapan perda ini akan dilanjutkan dengan penerapan perda syariat Islam di Sumenep.

Membaca semua ini maka patut kiranyalah dilakukan kembali kajian-kajian yang lebih mendalam dan evaluasi yang menyeluruh terhadap proses internalisasi dan implementasi fikrah nahdliyah di tubuh NU terutama di daerah-daerah. Pengutan internl inilah yang juga menjadi tantangan NU masa kini di samping ancaman idiologi transnasional yang mulai tumbuh subur di kantong-kantong NU. sa Penulis yakin apa yang terjadi di Madura juga ditemukan  di daerah-daerah yang lain. Dengan demikian, secara sepihak dan spontan tidak bisa  menyalahkan nahdliyin di daerah akibat ketidakmengertiannya. Karena bisa jadi selama ini PBNU dan elit-elit NU lainnya masih cenderung elitis dalam memaknai dan menerapkan fikrah Nahdliyah.Wallahu alam bis showab.

 

*Ketua PC Lakpesdam NU Sampang