Oleh Syarif Yahya-
--16 Januari 2015 lalu, di hadapan puluhan para intelektual dan aktivis gerakan Islam Bandung, AE Priyono, seorang peneliti, direktur eksekutif LP3ES Jakarta menyampaikan pandangan yang cukup menarik terkait masalah politik Islam Indonesia dengan demokrasi politik Nasional.<>
Pada diskusi bertema “Civic-Islam: Sebuah Keharusan” di Kantor Penerbit Nuansa Cendekia Bandung, AE Priyono menyampaikan bahwa Islam-Politik di Indonesia dianggap gagal. Sementara Islam non-politik (Islam-informal) juga mengalami kemerosotan peranan.
Islam-politik dalam kategori ilmu sosial yang dimaksud di atas adalah kelompok Islam yang memainkan partai Islam sebagai kendaraan untuk mengurus negara, mengurus rakyat, dan mengawal kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam konteks demokrasi, keselamatan bangsa dan perbaikan hidup rakyat (umat), partai-partai politik Islam tidak berhasil memberi nilai lebih. Bahkan dalam penelitian AE Priyono di lembaganya, Civic-Virtue-Indonesia, Islam-politik tidak bisa lagi dijadikan alternatif mengatasi problematika politik parlementer karena faktanya tidak mampu menghambat penyakit politik berbahaya, yakni plutokrasi (kekuasaan yang dikendalikan oleh orang-orang kaya), dan plutonomi (pertumbuhan ekonomi yang dikendalikan oleh orang-orang kaya dan berputar pada golongan orang kaya). Sebagai contoh, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia – seperti halnya AKP di Turki – justru menjadi bagian dari masalah bangsa, menjadi masalah bagi umat Islam sendiri. Demikian dengan partai-partai Islam dan juga politisi-politisi berhaluan Islam di partai sekular lainnya.
Lebih jauh lagi, AE Priyono melihat, Islam-politik di Indonesia sudah kehilangan elan vitalnya sebagai kekuatan transformatif. Islam-politik justru merupakan kombinasi dari konservatisme politik dan konservatisme agama. Pada kenyataannya, cita-cita Islam untuk emansipasi sosial tidak mendapat tempat di Indonesia.
Jauh di masa lalu, Olivier Roy (1982) pernah juga punya kesimpulan tersebut dengan mengatakan Islam-politik bisa mengalami kegagalan karena masyarakat Islam tidak punya pandangan ideal tentang masyarakat-sipil.
Sekarang, melalui argumentasi yang cukup memadai (melalui hasil riset) paling tidak hal tersebut memiliki alasan. Sebab masyarakat muslim kebanyakan hanya bisa berpikir tentang Islam ideal sebagai kesalehan individual, kesalehan keluarga (tidak punya imajinasi kesalehan bermasyarakat) dan mereka sebagian yang memahami politik langsung melompat kepada imajinasi negara Islam, khilafah atau daulah islamiah yang terang hanya utopianisme untuk saat ini.
Ke Arah Civic-Islam
Pada diskusi tersebut juga dimunculkan gagasan tentang pentingnya generasi muslim Indonesia memiliki kesadaran hidup bermasyarakat, berwarganegara dalam konteks modern di bawah republikanisme dengan mindset civic-Islam. Ini gagasan yang sungguh menarik karena beberapa alasan.
Pertama, selama kurun waktu 10 tahun terakhir nampak banyak kemacetan dalam bidang pemikiran keislaman yang progresif, inklusif dan konkret untuk sebuah kontribusi kebangsaan nasional. Wacana Islam yang muncul kebanyakan bermusuhan antara kubu literal vs kubu liberal dengan semangat yang tak produktif; saling menyerang, saling mencaci, membunuh karakter dan tanpa menyertakan argumentasi yang baik.
Kedua, banyak gagasan-gagasan pemikiran baru di luar negeri yang berbasis kajian ilmiah keislaman tidak berkembang di Indonesia kecuali terbatas pada kelompok pemikir Islam yang serius, dan itu sayangnya mereka tidak memiliki basis pergerakan di tingkat kampus-kampus sehingga generasi kampus juga tidak memiliki akses berpikir produktif atas pemikiran-pemikiran baru yang menyegarkan itu.
Ketiga, khazanah intelektual Indonesia era 1970, 1980, 1990an --yang memiliki visi bermutu untuk pembangunan sumberdaya manusia muslim dengan semangat kebangsaan, toleransi, keadilan dan kemanusiaan nyaris terputus dengan generasi-generasi muslim di kampus saat ini.
Gagasan civic-Islam tidak perlu diperdebatkan dalam konteks yang dangkal, seperti mengajukan pertanyaan; apakah itu sesuatu yang baru atau lama, karena dalam urusan terobosan bukan semata ‘yang baru’ dan ‘yang lama’, melainkan lebih baik fokus dilihat pada isi dan arahnya.
Belakangan ini banyak kabar beredar, Civic-Virtue untuk negara-negara sekular telah mampu menunjukkan semangat kebangsaan dan kemanusiaan yang lebih baik, dan karena itulah kemudian banyak sekali kajian ilmu politik dan sosial yang menaruh perhatian hal tersebut. Karena itu, dalam konteks keagamaan (Islam), nilai-nilai keadaban Islam dari Al-Quran dan praktik kenabian punya alasan yang kuat untuk menjadikan umat Islam memiliki pijakan adab berbasis civic.
Umat Islam selama ini miskin imajinasi untuk urusan sosial kemasyarakatan. Wajar jika banyak dari kehidupan di Indonesia sering memperlihatkan keanehan. Misalnya, kesalehan ada di masjid, tetapi di luar masjid sudah hilang. Saat berjalan di sekitar rumah kita bisa santun menyapa tetangga, begitu menghambur ke ruang publik dengan kendaraan kelakuan seperti preman.
Kita bisa menunjukkan sebagai muslim yang tak lagi miskin, tetapi kita lupa tetangga kita yang hidup serba kekurangan. Muslimah-muslimah bisa berjilbab mendapat kebebasan mengekspresikan gairah keagamaannya dengan busana mewahnya, tetapi tak pernah berpikir mendatangi yatim-piatu dan fakir miskin untuk berderma. Para politisi bisa bicara baik dengan agenda Islam yang baik, tetapi dalam praktiknya perebutan kekuasaan dilakukan dengan cara yang jauh dari prinsip Islam. Demikian seterusnya.
Realitas kehidupan globalisasi, nasionalisme, kemasyarakatan dan dimensi kultural kebangsaan kita selama ini sangat sulit maju. Mungkin karena memang peran keagamaan (dalam hal ini Islam) kurang sungguh-sungguh diamalkan, dan salahsatu sebabnya karena umat Islam tidak punya rumusan brilian berkaitan dengan pola hidup bijaksana, berbudi luhur, ber-civic, ber-civilization, ber-netizenship dan seterusnya sehingga banyak umat Islam terperosok dalam kebuntuan untuk meraih keadaban ideal. Tak ada salahnya ijtihad sosial di jalan civic-Islam ini dijadikan kajian keilmuan dan disebarluaskan kepada generasi muda Islam Indonesia.
Syarif Yahya, pengurus Aswaja Center Nahdlatul Ulama Cabang Temanggung, pengajar di Pesantren Ridlo Allah Temanggung Jawa Tengah
Terpopuler
1
Koordinator Aksi Demo ODOL Diringkus ke Polda Metro Jaya
2
Khutbah Jumat: Meraih Keutamaan Bulan Muharram
3
5 Fadilah Puasa Sunnah Muharram, Khusus Asyura Jadi Pelebur Dosa
4
Khutbah Jumat: Memaknai Muharram dan Fluktuasi Kehidupan
5
Khutbah Jumat: Meraih Ampunan Melalui Amal Kebaikan di Bulan Muharram
6
5 Doa Pilihan untuk Hari Asyura 10 Muharram, Lengkap dengan Latin dan Terjemahnya
Terkini
Lihat Semua