Opini

Menaja Kembali Pergerakan Kajian Islam 2 (habis)

NU Online  ·  Senin, 8 November 2010 | 01:21 WIB

Menaja Kembali Pergerakan Kajian Islam 2 (habis)
Oleh: Muhammad Al-Fayyadl


Kajian Islam: Antara “Popularisasi” dan “Politisasi” Islam

Di sisi lain, kajian Islam mengalami suatu problem yang serius dengan peta publik dan audiensnya. Di zaman ketika Islam kian terinkorporasi dengan kepentingan-kepentingan ekonomi yang ada, dan ketika agama semakin distruktur oleh ekonomi, publik yang diharapkan dapat mencerna dan menstimulasi kajian-kajian keislaman ikut mengalami perubahan yang sangat berarti. Publik yang dihadapi oleh kajian Islam hari ini adalah publik yang telah terkondisikan untuk hidup di era masyarakat kapitalisme-liberal, yang berpikir menurut hukum “produksi-dan-konsumsi”, dan berselera menaati hukum “penikmatan” (enjoyment) yang difasilitasi oleh pasar. Ini berbeda dengan kondisi sepuluh atau dua puluh tahun silam, ketika ideologi dan politik membentuk sebagian besar wacana yang dibangun.

Dalam hal i<>ni, terdapat satu fenomena yang menarik ditandai dari kecenderungan publik kajian Islam di negeri ini, yakni bahwa kajian Islam berada dalam himpitan keras antara dua tarikan yang berbeda: kecenderungan “popularisasi Islam”, di satu pihak, dan “politisasi Islam”, di pihak lain. “Popularisasi Islam”—demikian kita dapat menyebutnya, secara ekonomis dan hipotetik—dapat dipahami sebagai kecenderungan ketika Islam tidak lagi dihayati sebagai sumber pemikiran yang idealistis, melainkan sebagai praktik, sebagai gaya hidup, atau sebagai citra dari imaji kemapanan dan kenyamanan. Idealisme keislaman telah berpindah dari pikiran ke tubuh: keislaman bukan lagi pertanyaan bagi pikiran terdalamku, melainkan kesejahteraan bagi kondisi hidupku (well-being)—yang dimaknai dalam hal ini sebagai kemapanan dan kenyamanan fisik, mental, dan ekonomis. Karena berhubungan dengan praktik dan gaya hidup, salah satu ciri dari “popularisasi Islam” ini adalah sindrom “psikologisasi Islam”: menjadikan Islam sebagai terapi psikologis bagi segala jenis problem kejiwaan dan mental masyarakat kontemporer, yang bertujuan menampilkan Islam yang “ramah”, tapi juga “rileks”, Islam yang “damai”, “sejuk”, “tanpa masalah”, dan “harmonis lahir-batin”.

Popularisasi semacam ini tidak hanya terlihat dari kemenangan telak psikologi dalam membentuk pola-pola keberagamaan kita, atau dari kebutuhan tinggi masyarakat kontemporer pada tuntunan-tuntunan psikoterapis bagi kehidupan religius sehari-hari (“Bagaimana Shalat Tahajud Membantu Anda Lebih Sehat?”, “Rahasia Kaya ala Nabi”, “Hidup tanpa Stres dengan Tawakal”, dst.), tapi juga pada makin kuatnya kecenderungan keberislaman untuk surut ke dalam ruang-ruang privat yang steril dari yang-sosial (the social). Arus popularisasi ini, yang begitu dominan dalam masa-masa terakhir, dapat dikatakan lebih jauh, turut bertanggung jawab bagi merosotnya perhatian umat Islam sendiri pada problem sosial mereka, pada relasi antara agama dan realitas sosial mereka, dan, di level wacana, pada meredupnya wacana-wacana sosial-keislaman secara umum.

Apa yang hilang dari iklim ini adalah resistansi publik Islam dengan kajian-kajian Islam yang kini dianggap sebagai wacana-wacana “keras” (hard discourses), karena tuntutan untuk menampilkan Islam secara “lunak” (soft) dan “halus” (smooth). Wacana diskursif yang dibawa oleh kajian Islam dianggap terlalu menjemukan dan monoton, terlalu kaku untuk likuiditas masyarakat kontemporer, dan terlalu tak praktis untuk dikunyah dan dikonsumsi oleh mereka, yang terlalu sibuk dan telah terbebani oleh roda rutinitas kehidupan sehari-hari. Ini ikut menjelaskan, mengapa wacana-wacana ini kemudian surut ke dalam ruang-ruang universitas dan tembok-tembok akademik, karena wacana-wacana yang disodorkan oleh kajian Islam tidak mendapat sambutan sehangat yang diharapkan dari publik yang semula mengapresiasinya.

Namun, fenomena “relaksasi Islam” itu mengundang wajah paradoksnya di sisi lain, dengan kecenderungan publik Islam dewasa ini untuk bernostalgia kembali dengan doktrin-doktrin Islam yang “keras”, yang telah hilang; dan kembali menjadikan Islam sebagai sumber ideologisasi—dalam pengertiannya yang dogmatis. Kecenderungan ini, yang dapat kita sebut sebagai “politisasi Islam”, sebaliknya berpretensi menampilkan Islam sebagai jargon-jargon besar, namun dengan tekanan yang lebih politis daripada sosial.

Bila yang pertama menampilkan Islam yang “lunak”, bahkan terlalu “lunak” untuk merangsang dinamika intelektual dan pemikiran yang serius, yang kedua, sebaliknya, menampilkan Islam yang benar-benar “keras”, bahkan terlalu “keras”, sehingga menekan dan mengintimidasi perkembangan pemikiran yang bebas dan sehat. Representasi Islam yang pertama adalah Islam yang “rileks”, dan kelewat rileks, sehingga gagal memunculkan desakan (forcing) yang kuat bagi pemikiran keislaman yang bermutu, yang benar-benar berangkat dari “berpikir” dalam pengertiannya yang harfiah. Representasi Islam yang kedua adalah Islam yang “tegang”, bahkan kelewat tegang, sehingga terlalu dihantui oleh ketakutan-ketakutan dan paraoianya sendiri, yang mengakibatkan pemikiran keislaman tidak berkembang secara leluasa.

Kajian Islam hari ini berada dalam himpitan dua kekuatan ini: jika yang pertama menggoda kajian Islam untuk lebur dengan tuntutan pasar dan kapitalisme wacana yang terus mendesak dan merasuki kita, sehingga membuat kajian Islam kehilangan watak kritisnya terhadap Islam itu sendiri; maka yang kedua merupakan lahan untuk mengubah Islam menjadi gerakan tanpa dasar pemikiran—gerakan yang murni ideologis, bertujuan semata-mata politis, dan dangkal dari refleksi dan kritik. Dengan kata lain, jika yang pertama adalah kemenangan ekonomi dan psikologi atas kajian Islam; maka yang kedua adalah kemenangan politik atas kajian Islam.

Kajian Islam dan Ranah Sosial

Memberi nyawa kembali kepada kajian Islam yang sedang limbung saat ini, mau tak mau, kita harus mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kajian Islam sendiri. Kekosongan itu terletak pada hilangnya apa yang disinggung di atas sebagai “yang sosial” (the social), ranah di mana kajian Islam seharusnya kembali menjangkarkan diri.

Apa yang terjadi sekarang adalah pudarnya ranah sosial itu dari kajian Islam. Seperti digarisbawahi di atas, produksi kajian Islam telah bergeser dari ruang-ruang sosial yang lebih sengit dan terbuka—komunitas—ke ruang-ruang yang secara struktural cenderung lebih tertutup: kampus, perguruan tinggi, universitas. Konsekuensinya, kajian Islam menjadi keahlian akademik tingkat tinggi yang terlalu berorientasi ke dalam, menjadi kesibukan birokratik yang rutin, dan lupa pada peran sentralnya di luar, pada publik yang lebih luas, sebagai katalisator pemikiran keislaman. “Gerak ke dalam” ini pada saat yang sama digenapi oleh arah keberagamaan masyarakat kontemporer yang kian menjadikan Islam sebagai solusi bagi segala jenis persoalan pribadi—Islam sebagai domain penghayatan privat.

Untuk meletakkan “yang sosial” dalam konteks kajian Islam, dua hal perlu digarisbawahi. Pertama, “yang sosial” merupakan orientasi dari kajian Islam—arah yang perlu ditaja, jika kajian Islam ingin tetap bertaut dengan problem masyarakat kontemporer. Di sini, “yang sosial” direafirmasi sebagai khittah bagi kajian Islam, yang menentukan pertanyaan, kegelisahan, dan ultimate concern dari kajian Islam. Meski nantinya sebuah kajian akan menggabungkan beberapa disiplin (interdisipliner) atau pendekatan yang berbeda (multiapproach), kegelisahannya tetap diarahkan pada dimensi sosial dari wacana yang akan dibangun, dan apakah wacana yang dihasilkan akan memiliki dampak transformatif bagi realitas. Pada sisi ini, “yang sosial” berfungsi mempertegas peran kritis kajian Islam.

Kedua, “yang sosial” merupakan lokus dari praktik kajian Islam—ruang di mana kajian keislaman dilangsungkan dan dikontestasikan. Kajian Islam perlu keluar dari ruang akademik yang cenderung menjaga jarak dari “yang sosial”, juga ruang-ruang privat yang memperlakukan Islam secara fetis sebagai properti bagi kenyamanan personal. Di sini, kajian Islam kembali muncul sebagai diskursus yang terbuka dalam ranah sosial—dalam komunitas (dalam pengertian yang “langsung”, bukan imajiner; longgar, bukan eksklusif), pertemuan umum, atau dalam ruang-ruang otodidak kolektif. Pada sisi ini, “yang sosial” berfungsi menstimulasi kajian Islam menjadi gerakan pemikiran Islam yang hidup.

Memunculkan kegairahan dan kesegaran kajian Islam seperti yang pernah terlihat di dekade-dekade sebelumnya, memang merupakan kerja besar yang tak akan selesai dilakukan secara instan. Kita masih perlu bersabar membangunnya secara perlahan—kesabaran yang dibangun dari kesadaran kolektif, bahwa nasib kajian Islam adalah juga nasib kita sebagai umat Islam.


* Tulisan ini telah disajikan di Diskusi Kamisan NU Online bertajuk "Nasib Studi Islam", Kamis 14 Oktober 2010.

** Muhammad Al-Fayyadl adalah alumnus PP Annuqayah, Sumenep, Madura dan alumnus Filsafat UIN Suka, Jogjakarta. Kini tinggal di PP Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur