Opini

Memperingati 73 Tahun Fatwa Jihad KHM Hasyim Asy'ari

NU Online  ·  Senin, 17 September 2018 | 06:45 WIB

Oleh Rijal Mumazziq Z

Hari ini, 73 tahun silam, KH M Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad. Terdiri atas tiga poin. Fatwa hadratus syekh ini dikeluarkan pada 17 September 1945. Dengan berbagai pertimbangan untuk kemaslahatan, serta sebagai jawaban atas pertanyaan Sukarno–sebagai pemimpin Indonesia–fatwa ini kemudian juga diikuti dan disebarkan kepada para para ulama di Jawa dan Madura.


Fatwa Jihad ini antara lain berbunyi:


  1. Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam meskipun bagi orang fakir;
  2. hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid;
  3. hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.

Berpijak pada fatwa ini, kemudian para ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan Resolusi Jihad dalam rapat yang digelar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar NU di Bubutan, Surabaya. Undangan rapat pengukuhan fatwa jihad ini juga dikemukakan oleh KH Saifuddin Zuhri.


Dalam Berangkat dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri menulis:


"Aku baru saja tiba dari Ungaran Semarang ketika mendapatkan panggilan dari Ketua Besar NU agar datang ke Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1945 untuk menghadiri rapat PBNU yang diperlengkapi dengan konsul-konsul seluruh Jawa dan Madura. Selama zaman Jepang, hubungan dengan luar Jawa terutama Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil kecuali Bali terputus. Jawa dan Sumatera dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang sisanya oleh Angkatan Laut. Setelah Jepang menyerah, Jawa, Sumatera, dan Bali diduduki oleh Inggris dan kepulauan lain oleh Australia. Keduanya atas nama Sekutu. Sebab itu, maka rapat PBNU yang dilengkapi dengan konsul-konsul hanya terbatas pada Jawa dan Madura."


Dalam konteks peperangan, apa yang difatwakan oleh Kiai Hasyim merupakan bagian dari al-wala' wal bara' (loyalitas dan pengingkaran). Kiai Hasyim membangun solidaritas dan monoloyalitas terhadap persatuan dan kesatuan umat Islam yang telah merdeka serta meneguhkan penolakan terhadap penjajahan, serta menghukumi mereka yang gugur sebagai syuhada. Tak hanya itu, demi menjaga soliditas, Kiai Hasyim memfatwakan hukum bunuh bagi para pengkhianat.


Apa yang difatwakan oleh Kiai Hasyim di atas sangat relevan saat itu, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, sebagai negara yang baru berusia 1 bulan namun tidak memiliki pasukan reguler yang terlatih dan berhierarki lengkap, dibutuhkan sebuah manifesto yang bisa mempersatukan rakyat agar mempertahankan kemerdekaan secara kompak. Fatwa jihad tersebut menjadi ledakan motivasional bagi kaum Muslimin untuk berjihad fi Sabilillah.


Kedua. Dalam kondisi yang genting dan tidak menentu, dibutuhkan seruan moral untuk "menghimpun diri" dalam satu barisan. Dengan mempertimbangkan kedudukan dan kharisma Kiai Hasyim, maka fatwa ini menjadi prioritas utama selain proklamasi kemerdekaan, dalam menjaga muruah keislaman dan kebangsaan sebagai sebuah "bangsa yang merdeka".


Ketiga. Fatwa jihad ini menjadi legitimasi para ulama untuk merancang sebuah Resolusi Jihad yang ditandatangani oleh para ulama se-Jawa dan Madura yang diwujudkan pada tanggal 22 Oktober 1945. Sebuah keputusan yang menjadi sumbu peledak aksi pertempuran akbar yang dimulai pada 10 November 1945 hingga tiga pekan setelahnya.


Keempat. Adanya fatwa jihad ini membuktikan apabila keislaman dan kebangsaan tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling menopang dan membutuhkan. Dengan fatwa jihad ini, Kiai Hasyim juga telah memberi contoh agar menjadi umat Islam yang baik sekaligus menjadi warga negara Indonesia yang saleh. Wallahu a'lam bis shawab.



*) Penulis produktif, tinggal di Jember.