Bukan kematian benar menusuk kalbu. Keridlaanmu menerima segala tiba. Tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta. (Chairil Anwar)
Itulah sepenggal sajak Chairil Anwar bertajuk ‘Nisan’ yang patut disematkan kepada almarhum KH Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan guru bangsa yang telah meletakkan pijakan demokrasi, humanisme, dan spirit toleransi sebagai kerangka kehidupan berkeadaban. Sejak kepergiannya pada 30 Desember jam 18.45 lalu, seluruh publik berbela sungkawa. Berbela sungkawa karena pada saat yang sama, bangsa Indonesia telah kehilangan tokoh terkemuka dan pejuang perdamaian yang sulit ditemukan di abad ini.<>
Setidaknya, guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini telah menorehkan catatan penting dalam transformasi kehidupan bernegara dan berbangsa. Sebagai seorang pemuka agama sekaligus mantan presiden ke-4 RI, ia telah melibatkan diri secara aktif dalam membangun sebuah tatanan kehidupan yang plural. Sehingga dari latar perjuangan yang amat besar itu, kemudian diaspora kepemimpinan Gus Dur baik dalam PKB, NU, maupun Kiai dalam pecaturan keilmuan Nusantara menjadi bangunan yang tidak bisa dirobohkan. Semua pemikir yang memiliki label keislaman baik ‘kiri’ maupun ‘kanan’ semua tunduk di bawah diaspora kharismatisasi Gus Dur. Artinya, bila terjadi gap dan kemelut pertentangan sebuah pemikiran keagamaan dan kebangsaan Gus Dur-lah yang menjadi angin penyejuk dari semua itu.
Diaspora semacam inilah yang pada titik klimaksnya telah menjadikan Gus Dur sebagai bagian integral dari proses pengembangan wawasan keilmuan yang mencoba memadukan dua arus pemikiran antara klasik dan modern. Konsep almuhafadoh alal qodimis shalih wal akhdu bil jadidil aslah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik) merupakan representasi dari keilmuan Gus Dur yang hingga kini menjadi referensi banyak kalangan.
Di sinilah pentingnya membuka kembali lipatan perjuangan Gus dur untuk dijadikan sebagai kerangka acuan dalam membumikan spiritnya meski ia telah tiada. Sejarah Pengembaraan; dari NU ke negara Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif 1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam termasuk NU. NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Hingga Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.
Beranjak pada juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini. Gus Dur menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya.
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaannya terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah. Pada 1987, dia mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekuler. Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie.
Namun, pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Di awal 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66. Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU begitu tiba di Jakarta. Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.
Tetapi tidak dapat disangkal, tahun 1997 krisis moneter menjadi awal dari rapuhnya kekuasaan Soeharto. Dan baru pada Juni 1998, komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru.
Alhasil, Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah PKB. Puncaknya, Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden. Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara.Membumikan Dari pergulatan sejarah itu, tampak jelas bahwa perjuangan dalam membangun solidaritas dalam bernegara, berbangsa, dan beragama telah menjadi ruh. Lima kerangka pancasila menjadi pusat perjuangan Gus Dur kala itu.
Sehingga dalam hal ini, bangsa Indonesia harus menangis, menangis bukan hanya karena kehilangan sosok semacam Gus Dur, tetapi lebih dari pada itu menangis karena pada saat yang sama, bangsa Indonesia harus juga meratapi hilangnya spirit pengembaraan Gus Dur dalam membela masyarakat akar rumput. Dengan kata lain, mengingat Gus Dur merupakan pejuang yang gigih, hilangnya Gus Dur adalah potret dari hilangnya pujangga intelektualis, humanis dan demokratis.
Pada titik ini, kita sampai pada sebuah kesadaran besar bahwa, sosok seperti Gus Dur meski telah tiada, tetapi keringat perjuangannya tetap harus muncul pada generasi sesudahnya. Karena keberhasilan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari perjuangan ketokohan yang selesai, tetapi harus ada generasi baru yang sama -bahkan lebih- dalam melakukan pembelaan terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan.
* Penulis adalah kronikus Gus Dur, dan Peneliti pada The Indonesian View Yogyakarta
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua