Opini

Membangun Epistemologi Islam Nusantara

NU Online  ·  Rabu, 29 Juli 2015 | 03:30 WIB

Oleh Ali Romdhoni*
Keunikan kondisi umat Islam di Indonesia salah satunya ditandai dengan keberadaan organisasi kemasyarakatan (ormas) Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Keempat ormas ini memiliki ribuan dan bahkan hingga jutaan pengikut (jama’ah).
<>
Selain memiliki jama’ah, ormas-ormas ini juga memiliki variasi model kajian keislaman yang terus dikembangkan dan dipraktikkan oleh anggota komunitasnya.

Selanjutnya, tradisi studi keislaman yang dikembangkan keempat ormas di atas bisa diklaim sebagai representasi dari tradisi studi keislaman khas Indonesia. Membangun kesimpulan seperti di atas sangat penting, terutama untuk meneguhkan dan mewujudkan mimpi umat Islam Indonesia, bahwa ke depan Islam di Nusantara berpotensi besar menjadi model dan rujukan masyarakat dunia.

Untuk mewujudkan mimpi di atas, perlu penelusuran epistemologi pemikiran keislaman (teologi, fikih, tasawuf, model dakwah) serta karakteristik ormas-ormas di Indonesia, kemudian direkonstruksi dengan tetap melihat akar kultural yang melatarbelakangi kelahiran ormas.

Dalam kajian filsafat ilmu, epistemologi membahas sumber, struktur, metode dan validitas satu pengetahuan. Epistemologi juga dipahami sebagai ilmu yang mengkaji keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Dalam konteks Islam Nusantara, kita perlu mengkaji historisitas pemikiran keislaman yang dikembangkan satu ormas, serta dinamikanya dari waktu ke waktu.

Kajian historis atas pemikiran keislaman satu ormas sangat penting, karena ormas yang mampu bertahan (survive) sampai hari ini memiliki pengalaman sejarah yang berbeda, dan masing-masing unik.

Selain itu, tipologi pemikiran keislaman yang dikembangkan satu ormas merupakan hasil dialektika antara ajaran Islam yang dikaji oleh komunitas, realitas sejarah di sekitar dan mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan oleh anggota ormas. Dari sini kemudian lahir interpretasi versi masing-masing ormas. Dalam pandangan penulis, lembaran panjang sejarah Islam di mana pun merupakan pergumulan masyarakat Islam untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang mereka kaji dalam ruang dan waktu tertentu.

Karena itu, kalau pun setiap ormas di negeri ini memiliki kesimpulan yang unik dalam melihat realitas sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama, hal itu lebih disebabkan kecenderungan corak pemikiran (‘ideologi’) yang sudah terbangun sejak lama, dan melatarbelakangi berdirinya satu ormas. Iya, sikap ormas adalah hasil ijtihad yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu.

Maka wajar ketika suatu ormas di Indonesia kelak mengalami pergeseran paradigma, seiring dengan laju perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ormas yang sangat ekstrim dan fundamental dalam menafsir teks-teks agama, suatu saat bisa menampakkan wajah yang toleran dan ramah dalam bersikap. Hal ini bergantung pada pergulatan pemikiran para anak mudanya, serta sikap dari figur petinggi ormas itu.

NU dan Islam Nusantara
Islam Nusantara sebagai sebuah brand (merek, nama) lahir dari kegigihan, kerja keras dan proses panjang yang dilewati warga nahdliyyin di Indonesia dalam memperlihatkan dan menawarkan wajah Islam yang ramah dan peka terhadap persoalan kemanusiaan. Sebagai merek, Islam Nusantara sudah didengar oleh para calon pengguna (user). Bahkan sebagian dari mereka sudah mulai hunting di pasaran.

Islam dan masyarakat Indonesia yang memeluknya dinilai oleh warga dunia sebagai hal yang unik, yang berbeda dari umat Islam di beberapa negara yang memiliki jumlah muslim mayoritas. Di sini kemudian orang-orang mulai melacak proses masuknya Islam di Nusantara, mulai dari metode penyampaian nilai-nilai Islam serta respon masyarakat lokal dalam menerima ajaran agama Islam.

Dalam kondisi yang demikian, para pengusung Islam Nusantara harus menyiapkan diri dan semakin memantapkan langkah dalam menerima pertanyaan, kritikan dan juga tanggapan sinis dari masyarakat. Semua itu ada manfaatnya, terutama untuk mengukuhkan bangunan epistemology dari Islam Nusantara sebagai brand baru, yang kemunculannya sudah dinanti pengguna.

Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan para pengusung Islam Nusantara. Pertama, merumuskan bangunan pengetahuan Islam Nusantara. Ke depan, Islam Nusantara tidak terbatas menjadi topik pembicaraan di forum-forum informal dan bahan komentar di jejaring media sosial. Tetapi sangat mungkin menjadi bahan diskusi serius bagi para ilmuwan dunia. Karena itu, bangunan epistemology Islam Nusantara harus segera digali dan dirumuskan.

Kedua, melakukan sosialisasi yang terorganisir kepada publik. Hal ini supaya nama ‘Islam Nusantara’ tidak diplintir kesana dan kemari. Mengingat dewasa ini masih saja ada pihak-pihak yang secara sengaja menyebarkan informasi yang memancing emosi pembaca.

Ketiga, mengajak beberapa elemen di Indonesia yang memiliki kesamaan visi dalam menampilkan wajah Islam yang ramah. Sehebat apa pun gagasan dan konten Islam Nusantara tidak bisa hanya diusung oleh sebagian kecil pihak. Apabila orang-orang yang tidak bertanggung jawab jumlahnya lebih besar, maka pesan Islam Nusantara akan dipahami oleh masyarakat secara keliru. Karena itu, seluruh elemen yang dimiliki bangsa ini harus diajak dan libatkan dalam menawarkan wajah Islam Nusantara yang ramah dan menjawab problem dunia modern.

Penulis prihatin dengan beberapa pihak yang kurang bijak dalam menawarkan dan menerima nilai-nilai atau pemikiran keislaman dewasa ini. Fanatisme yang berlebihan dari penganut organisasi keislaman terkadang justru melahirkan sikap ekstrim, permusuhan, dan kebencian dalam memandang kelompok lainnya. Tulisan ini penulis maksudkan sebagai ajakan untuk berfikir besar, menjadi muslim yang berkontribusi bagi kelangsungan umat manusia dunia. Dari Islam Nusantara untuk kelangsungan dunia. Wallahu a’lam.


*Ali Romdhoni, dosen filsafat dan kajian Qur’an Universitas Wahid Hasyim Semarang