Opini

Memaknai Hari Santri

NU Online  ·  Rabu, 24 Oktober 2018 | 13:45 WIB

Oleh Moh Salapudin

Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional dapat dimaknai setidaknya dengan dua hal. Pertama sebagai bentuk rekognisi pemerintah terhadap peran dan kiprah kaum sarungan dalam memperjuangkan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua sebagai pengingat pada para santri, bahwa kiprah mereka untuk turut andil dalam menyelesaikan problem-problem kemasyarakatan sangat dibutuhkan.

Resolusi Jihad

Berkaitan dengan pemaknaan pertama, memang tidak bisa dimungkiri bahwa peran kaum santri, baik dalam memperjuangkan maupun menjaga keutuhan NKRI sangatlah besar. Di masa penjajahan, para kiai dan guru tarekat adalah kelompok yang tak henti-hentinya melakukan perlawanan. Bahkan menurut uraian Agus Sunyoto (2013), dalam kurun waktu satu abad, tahun 1800-1900, terjadi 112 pemberontakan yang dipimpin oleh para guru tarekat dan kiai pesantren.

Para kiai turun secara langsung memimpin pertempuran-pertempuran melawan penjajah sehingga tak sedikit dari mereka yang gugur di medan perang. Pangeran Diponegoro yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa dari tahun 1825 sampai 1830 adalah salah satunya. Ia adalah seorang santri yang memiliki nama Abdul Hamid dan berguru di Pondok Pesantren Tegalsari, Jetis, Ponorogo di bawah asuhan Kiai Hasan Besari (Chalwani Nawawi, 2018). Di luar Pangeran Diponegoro, kita tentu tak asing dengan nama-nama seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ahmad Dahlan, dan Kiai Abdul Wahab Chasbullah.   

Pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri sendiri merujuk pada peristiwa bersejarah di mana para kiai dari Jawa Timur dan Madura berkumpul untuk bermusyawarah yang dipimpin oleh Rais Akbar Kiai Hasyim Asy’ari. Dalam perkumpulan itu Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa monumental yang kemudian dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad.

Ada dua poin utama dalam Resolusi Jihad. Pertama, memohon kepada pemerintah Indonesia agar menentukan sikap dan tindakan nyata, serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya. Kedua, supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan yang bersifat 'sabilillah' untuk tegaknya negara Indonesia merdeka dan agama Islam.

Digambarkan oleh Agus Sunyoto (2013) bahwa Resolusi Jihad yang disebarkan dari masjid ke masjid itu dalam tempo singkat membakar semangat juang arek-arek Surabaya. Apalagi ditambah dengan kredo yang sangat patriotik dari Kiai Hasyim, 'Hubbul wathan mina al-iman' (mencintai Tanah Air adalah sebagian dari iman).

Peran Kiai Hasyim yang tak lain berasal dari kaum santri di sini sangat vital. Tak ayal, Sayyid Muhammad Asad Shihab, seorang jurnalis dari Timur Tengah menyebut Kiai Hasyim sebagai 'Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia' (Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Wadhiu Libinati Istiqlali Indonesia).

Membendung Radikalisme

Bila musuh para santri dahulu adalah para penjajah, maka tantangan santri generasi sekarang adalah paham dan penganut radikalisme. Terlebih baru-baru ini kita dikejutkan dengan hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang menyebutkan bahwa 63,07 persen guru di Indonesia cenderung intoleran (Media Indonesia/17/10).

Sikap intoleran, seperti menurut hasil penelitian Setara Institute (Tribun Jateng/20/5/2018), adalah awal mula seseorang berubah menjadi pelaku tindak pidana terorisme. Sikap itu berangkat dari perasaan merasa benar sendiri, sementara yang lain salah. Sikap intoleran juga menjadi salah satu indikasi bahwa seseorang telah terpapar paham radikalisme.

Penganut paham radikalisme, yang puncaknya menjadi pelaku terorisme yang tega membunuh sesama manusia dengan sangat keji, ironisnya berangkat dari kesalahpahaman dalam memahami ajaran agama seperti jihad. Mereka memaknai konsep jihad dengan sangat sempit, yakni berperang secara fisik an sich.

Padahal, jika merujuk pada teks-teks klasik seperti Fathul Muin karya Zainuddin Al-Malybari yang diajarkan di pesantren-pesantren, jihad sesungguhnya adalah kewajiban fakultatif yang bukan saja memiliki arti sebatas mengangkat senjata, melainkan lebih dari itu juga menyasar aspek pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam berbangsa dan bernegara.

Merujuk pada konsep jihad Zainuddin Al-Malybari, maka seorang ayah yang mencari nafkah untuk keluarganya sesungguhnya sedang berjihad. Demikian pula dengan seorang nelayan, pedagang, petani, pelajar, dan aneka profesi lainnya yang diniati untuk menggapai rida Tuhan adalah jihad. Di sinilah ajaran pesantren yang sarat makna dan peran kaum santri menemukan titik relevansinya.

Menyebarkan Islam Moderat

Maka tidak bisa tidak lulusan-lulusan pesantren harus lebih masif menyuarakan ajaran-ajaran Islam moderat di tengah khalayak umum. Buah pemikiran para kiai yang penuh keteduhan seperti konsep ukhuwah (persaudaraan) yang digagas oleh Kiai Ahmad Shidiq (1926-1991) juga perlu disebarluaskan.

Dalam pandangan Kiai Ahmad Shiddiq ukhuwah itu ada tiga, yaitu ukhuwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa), dan ukhuwah basyariyyah (persaudaraan sesama umat manusia). Tiga konsep ukhuwah tersebut antara satu dan yang lain harus berkait kelindan dan berjalan seayun seiringan. Ukhuwah basyariyyah menyasar konteks hubungan antarsesama manusia; ukhuwah wathaniyyah membidik persaudaraan atas dasar rasa kebangsaan; sementara ukhuwah islamiyyah dimaksudkan untuk mempererat persaudaraan berbasis keislaman (Helmi, 2018: 16).

Dengan mengamalkan tiga model ukhuwah tersebut, seseorang tidak punya peluang dan alasan untuk menyakiti orang lain. Sesama orang Islam tidak menyakiti satu sama lain karena terikat ukhuwah islamiyyah, sesama warga negara tidak menyakiti satu sama lain karena terikat ukhuwah wathaniyyah, dan sesama manusia tidak menyakiti satu sama lain karena terikat ukhuwah basyariyyah.

Para santri juga perlu lebih aktif mengisi masjid. Pasalnya, survei yang dilakukan Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menunjukkan sedikitnya 41 masjid terindikasi radikal (Tempo/8/7). Ironisnya, masjid dimaksud adalah masjid yang berada di kantor pemerintahan di Jakarta.

Memang banyak faktor penyebab terjerembabnya sejumlah masjid dalam kubang radikalisme, namun satu faktor yang mendasar dan signifikan adalah abainya kaum santri terhadap masjid. Banyak santri yang menjadikan masjid sebatas sebagai tempat berzikir, bukan juga berpikir. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh para pengusung paham radikal yang bermodalkan niat meski sebenarnya minim kompetensi.

Walhasil, peringatan Hari Santri yang ke-3 sejak ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2015 lalu semoga tidak dimaknai secara seremonial belaka, tetapi benar-benar menjadi pengingat bagi kaum sarungan, bahwa kiprah dan peran mereka dalam menyelesaikan problem-problem kemasyarakatan akan selalu ditunggu. Wallahu a’lam bis shawab.
  
Penulis adalah santri Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak.