Oleh Syaiful Arif
--Telah lima tahun sejak 30 Desember 2009, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita. Selama itu pula jasa dan kebesarannya tak pernah mati. Hanya saja, kebesaran itu masih misteri. Terutama karena upaya perawatan pemikiran dan perjuangannya tak menyentuh substansi.<>
Substansi itu merujuk pada keutuhan pemikiran yang membangun sistem nilai tersendiri, yang dibentuk dan membentuk konteks kesejarahan, tempat Gus Dur berkarya dan bergerak. Kita mulai dengan konteks kesejarahan.
Pertama, Gus Dur adalah anak kandung tradisionalisme Islam yang mendialogkan diri dengan modernitas. Keputusan melepaskan beasiswa S2 di McGill University untuk kembali ke tanah air setelah lawatan intelektual di Eropa pada awal 1970, dilandasi oleh kekhawatiran: tergerusnya tradisi Islam di pesantren oleh pembangunan.
Maka, ia pun menulis artikel panjang, Pesantren sebagai Subkultur( 1974) Sebuah eksplanasi antropologis atas sistem nilai pesantren yang meliputi asketisisme (zuhud), kecintaan ilmu agama dan kepemimpinan kiai. Dengan ketiga nilai ini pesantren menjelma subkultur: sub dari kultur umum yang unik, berbeda, mandiri tetapi bisa memengaruhi kultur umum tersebut. Eksplanasi ini Gus Dur tempatkan sebagai koreksi atas pendekatan evolusionis yang melihat pesantren sebagai hambatan modernisasi serta instrumentalis yang menempatkan pesantren sebagai media sosialisasi pembangunan. Karena artikel ini, Gus Dur diajak oleh Dawam Rahardjo ke LP3ES dan memperkuat kajian ilmu-ilmu sosial berbasis ilmu keagamaan di Jurnal Prisma.
Kedua, pengembangan masyarakat melalui pesantren. Ini dilakukan dalam rangka pembangunan dari bawah (bottom up development) sebagai penyeimbang pembangunan dari atas (top down development). Gerakan ini dilakukan melalui Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan merupakan praksis dari elaborasi teoritis atas model pembangunan alternatif yang ia rumuskan kala menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Wawasan (1979) bersama Adi Sasono.
Ketiga, penyeimbangan ideologi. Hingga dekade 1980, konsen intelektual Gus Dur ialah hubungan antara agama, ideologi dan pembangunan. Tema ini menjadi judul tulisan beberapa kali seperti Religion, Ideology and Development (1979) dan Islam, the State and Development (1980). Sepertinya, Gus Dur terinspirasi oleh buku Hasan Hanafi yang berjudul sama, yang terjemahannya (1991) ia pengantari.
Inti hubungan tersebut merujuk pada upaya Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk mendialogkan Islam dengan Pancasila dan pembangunan. Hasilnya dua hal. Pertama, Islam dan Pancasila memiliki hubungan mutualis, karena agama ini memiliki lima sila (ushul al-khamsah) perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karenanya, kemampuan Pancasila mewujudkan nilai-nilai Islam ini akan menempatkannya tidak hanya sebagai ideologi negara tetapi juga pandangan hidup bangsa. Kedua, Islam memiliki sifat komplementer atas pembangunan. Dalam sifat ini, ia bersifat menyempurnakan tujuan pembangunan, bukan sekadar melengkapi (suplemen) apalagi mengganti (alternatif).
Konteks keempat kesejarahan Gus Dur adalah demokrasi. Ini digerakkan pada awal 1990, sebagai kritik atas tatanan politik Orde Baru. Dalam konteks ini, Gus Dur mengritik demokrasi Orde Baru yang terhenti pada kelembagaan negara, meniadakan proses demokratis di kehidupan masyarakat. Ini yang membuatnya mengagas Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengadilan banding konstitusi. Melalui MK, masyarakat bisa meminta perlindungan dari kesewenangan konstitusional negara.
Etika Sosial
Konteks kesejarahan di atas dilandasi dan melandasi kesatuan pemikiran yang memusat pada etika sosial Islam. Yakni substansi ajaran Islam yang lahir dari dimensi sosial Rukun Islam dan menjadi tujuan utama syariat (maqashid al-syari'ah). Gus Dur menyebutnya "rukun sosial" di mana segenap ibadah terutama sholat, puasa, zakat dan haji merupakan ibadah sosial berdampak kemasyarakatan. Hal ini diperkuat oleh perintah al-Baqarah:177 untuk menyediakan perlindungan sosial bagi fakir miskin, sebagai penyempurnaan iman.
Demi tegarnya etika sosial Islam yang mewujud pada struktur masyarakat berkeadilan ini, Gus Dur mencanangkan pribumisasi Islam. Sebuah pendasaran antropologis agar Islam tidak bersitegang dengan budaya. Hal ini urgen, sebab tanpa pembumian nilai Islam ke dalam bentuk kultur lokal, Islam akan berjibaku dengan pertarungan simbolik antara agama dan budaya sehingga mengalpakan perjuangan substantif yang merujuk pada pembentukan masyarakat berkeadilan. Ini dilakukan oleh kaum puritan yangmemerjuangkan Arabisasi, padahal kemiskinan struktural mewabah di seantero negeri.
Dengan landasan pribumisasi Islam demi struktur masyarakat berkeadilan, Gus Dur menggagas "negara kesejahteraan" Islam. Yakni ideal negara kesejahteraan berdasar nilai-nilai Islam. Kesejahteraan yang dimaksud merujuk pada tiga kondisi demokratis berbasis keadilan ('adalah), persamaan (musawah) dan demokrasi (syura) itu sendiri. Ini yang diperjuangkan Gus Dur pada ranah historis berupa; kritikpembangunan (keadilan sosial) pada 1970-1980, demokratisasi politik Orde Baru (1990-an), hingga perlindungan minoritas agama dalam rangka kebangsaan pluralistik (1980-2000-an).
Kritik Melankoli
Berkaca pada konteks kesejarahan serta keluasan pemikiran dan perjuangan ini, beberapa hal perlu dikritisi. Pertama, Gus Dur memang pejuang pluralisme, tetapi domain pergerakannya tidak hanya di lintas agama. Dengan demikian yang dibela beliau bukan hanya minoritas agama, tetapi korban peminggiran struktural, di mana mayoritas rakyat termiskinkan menjadi objek perjuangannya. Ketika menempatkan Gus Dur hanya dalam isu pluralisme agama, kita melupakan perjuangannya di ranah ekonomi dan demokrasi politik.
Kedua, perawatan warisan pemikiran dan perjuangan tidak bias melalui perayaan melankolis dalam gerakan massa yang hampa konsepsi. Komunitas Gusdurian yang dibentuk demi perawatan ini, akan terjebak dalam gerakan massa sebab tidak menggali sumsum pemikiran Gus Dur, dan menempatkan gerakannya di "keluasan struktural" perjuangan Gus Dur. Memang sebagai perawatan memori, Gusdurian efektif dalam mewariskan ketauladanan. Namun sebagai gerakan yang "menghidupkan Gus Dur", ia menghadirkan Gus Dur tanpa konteks kesejarahan yang memuat selaksa (perlawanan) ketidakadilan di negeri ini.
Syaiful Arif, penulis buku Humanisme Gus Dur, Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (2013), alumni Pesantren Ciganjur.
Â
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
6
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
Terkini
Lihat Semua