Opini

Masa Depan Kita Bersama: Membangun Koalisi dan Meraih Kesepakatan

NU Online  ·  Selasa, 26 Mei 2009 | 13:43 WIB

Oleh David Miliband

Semua orang berbicara mengenai reformasi dalam politik Inggris. Hal tersebut benar adanya. Integritas institusi demokrasi kita telah dirusak secara hebat. Kebutuhan untuk pembaharuan sangat mendesak. Karena alasan-alasan tersebutlah, lebih ironis lagi bahwa kasus saya hari ini adalah mengenai pentingnya politik. Saya ingin berargumentasi bahwa pertanyaan mengenai kebijakan luar negeri yang mempersatukan ngara ini dan negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim menghadirkan ide mengenai saling menghormati yang dilaksanakan melalui politik.

Banyak kaum terpelajar berdiri di ruangan ini dan berbicara mengenai nilai-nilai yang dibagi diantara agama-agama Abraham. Hal tersebut bukanlah tujuan saya hari ini. Saya adalah seorang politisi, bukan pengkhotbah atau cendikiawan religius. Saya ingin berbicara, saya harap dalam semangat kerendahan hati dan penghormatan, dari sudut pandanga saya sebagai Menteri Luar Negeri, mengenai proses politik dalam membangun koalisi dan mendapatkan persetujuan di luar negeri untuk tujuan politik luar negeri. Pertanyaan ini tidak hanya timbul dalam hubungan kita dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi hari ini saya ingin menggali bagaimana kami pemerintah Inggris, bekerja dengan mereka, negara-negara Muslim, pemerintah dan masyarakatnya, yang nilai-nilainya mungkin tidak kita bagi seluruhnya. Pidato ini tidak berbicara mengenai bagaimana kita menghadapi isu ini di dalam negeri.<>

Presiden Obama menjelaskan bahwa ada sebuah masalah. Beliau berkata beberapa minggu yang lalu: "Amerika bukan dan tidak akan pernah berperang melawan Islam”. Bulan depan beliau akan berbicara mengenai masalah ini dalam pidato penting di Cairo. Fakta bahwa beliau merasa perlu untuk berbicara dan melakukan hal ini, dan penerimaan positif yang beliau dapatkan diseluruh dunia atas determinasi dan keberanian beliau, menyingkap dalamnya perbedaan dan ketidakpercayaan terhadap dunia barat yang timbul pada periode pasca 9/11. Koalisi kami terlalu sempit dan persetujuan jauh dari disepakati.

Untuk memperluas koalisi dan memenangkan persetujuan, kita perlu memahami dunia Islam dengan lebih baik, atau kita akan menghadapi resiko memperlemah argumen kita sendiri, seperti yang sering saya lakukan ketika menggunakan label ‘moderat’ dan ‘ekstrimis’; kita perlu berpegang teguh pada nilai-nilai kita dan mendukung mereka yang ingin mengaplikasikannya, atau kita akan bersalah atas kemunafikan; dan kita perlu membagi upaya untuk mengatasi kedukaan, sosial-ekonomi dan politik, yang dimaksudkan untuk merendahkan kaum Muslim, dan begitulah faktanya.

Argumen saya berawal dari pengakuan terhadap perbedaan. Hal tersebut berdasar pada keyakinan bahwa tidak akan pernah ada jawaban atas pertanyaan bagaimana kita harus hidup. Saya percaya ada nilai-nilai universal yang dapat dilacak melalui kebudayaan dan keyakinan yang beragam. Saya percaya ada hak asasi manusia dasar yang harus diawasi oleh setiap pemerintahan dan setiap individu. Tetapi seperti argumentasi yang telah dikemukakan oleh Perdana Menteri dengan kuat, bahwa ada komunitas global dimana nilai-nilai dan hak-hak universal masih menyediakan tempat untuk cara hidup yang sangat beragam dan berbeda.

Tantangan kita adalah untuk memahami bahwa ketika tidak ada pola tunggal untuk kehidupan yang baik, pasti ada pola – dan pola yang lebih baik dari yang kita miliki saat ini – untuk orang-orang dengan pandangan yang berbeda, yang berasal dari sistem kepercayan yang beragam, untuk bekerja bersama-sama.

Sebagai Menteri Luar Negeri Inggris, merupakan sebuah kehormatan bagi saya untuk mewakili negara dengan keragaman yang luar biasa dan sejarah yang mengagumkan. Tetapi hal tersebut juga untuk meluruskan prasangka yang ditimbulkan oleh sejarah Inggris, tidak hanya di negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi dimana saja. Keputusan yang diambil bertahun-tahun yang lalu di King Charles Street masih dapat dirasakan di bentang darat Timur Tengah dan Asia Selatan. Kastil bekas perang salib yang rusak masih berdiri sebagai peringatan yang tegas mengenai kekerasan religius pada abad pertengahan. Garis yang digambar di peta oleh kekuatan Kolonial diikuti oleh, beserta hal lainnya, kegagalan – yang harus dikatakan tidak hanya kesalahan kami – untuk membentuk dua negara di Palestina. Baru-baru ini, invasi Irak, dan peristiwa sesudahnya, membangkitkan kepahitan, ketidakpercayaan, dan kekecewaan. Ketika orang mendengar mengenai Inggris, seringkali mereka memikirkan hal-hal tersebut.

Peristiwa-peristiwa ini diasosiasikan dengan sejarah hubungan antara Eropa dan dunia Islam yang telah ditandai oleh penjajahan, konflik, dan kolonialisme. Tetapi ada cerita lain yang dapat diceritakan. Cerita tersebut tidak menghapus konflik, tetapi membentuk naratif yang berbeda.

Sejarah tersebut bukan mengenai konflik atau konfrontasi, bahkan tidak mengenai koeksistensi atau toleransi, tetapi mengenai kontribusi pertukaran dan mutal. Sejarah abad ke-17 di Iran – seperti yang secara impresif dituturkan dalam pameran Museum Inggris baru-baru ini. Pada abad ke-13 di Andalusia, Norman Sicily atau pencerahan Eropa, mengenai St John dari Damaskus, penasihat Kristen bagi pemimpin Umayyad, mengenai dialog antara Kaisar Byzantine dan Kalifah Arab dan ditemukannya pemikiran Yunani oleh cendikiawan Muslim awal. Sejarah ini bercerita mengenai keterbukaan, keberagaman dan pencapaian. Mengenai berbagai kebudayaan yang bersatu dan belajar satu sama lain.

Pendahulu saya Castlereagh pernah berkata, anda tidak dapat mengajarkan moralitas dengan sebilah pedang. Hal tersebut mungkin lebih tepat saat ini daripada dahulu. Apa yang ingin saya argumentasikan saat ini adalah bahwa tugas utama untuk kebijakan luar negeri adalah untuk menciptakan arena politik, nasional dan internasional, dimana nilai-nilai yang berbeda dapat diargumentasikan, dan dalam proses perubahan terhadap marjinalisasi kekerasan; dan bahaya utama adalah kegagalan untuk menciptakan arena tersebut, dengan konsekuensi memperkuat mereka yang melakukan kekerasan.

Dasar dari argumen saya adalah bahwa keamanan di dunia saat ini tidak dapat dijamin oleh negara adikuasa semata, atau bahkan sejumlah negara yang kuat. Ancaman perubahan iklim, terorisme, pandemik, dan krisis ekonomi terlalu besar dan beragam. Maka dari itu keamanan tergantung pada dua hal yang tidak terlepaskan satu sama lain. Pertama, kita memerlukan koalisi negara dan gerakan politik yang seluas mungkin. Hal tersebut berarti siap untuk mendukung rekonsiliasi dengan organisasi yang nilai-nilainya tidak sama dengan kita tetapi siap untuk mencapai kepentingan yang sama.

Kedua, kita perlu persetujuan dari rakyat. Pada abad yang lalu, persekutuan dibentuk oleh monarki, perjanjian ditandatangani oleh raja dan bangsawan – atau tidak – oleh elit penguasa. Tetapi kekuasaan pada abad modern telah keluar dari genggaman erat tersebut.

Dalam menyusun kedua tujuan tersebut – membangun koalisi dan memenangkan konsensus – ketegangan antara keduanya sangat nyata. Koalisi paling luas adalah, mungkin, termasuk kelompok yang tujuannya tidak sama dengan kita, nilai-nilainya kita anggap tercela, metodenya kita ragukan. Tetapi tidak mungkin untuk memenangkan kesepakatan masyarakat jika kita tidak menunjukkan konsistensi dan keyakinan dalam penerapan nilai-nilai kita. Penerapan nilai-nilai yang terus-menerus secara kaku tentunya akan mengucilkan organisasi-organisasi yang tanpa mereka kemajuan tidak mungkin terjadi. Namun jika kita terlibat dengan semua pihak yang terkait, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kita atau mereka, kita terbuka terhadap biaya dari realisme yang paling murni.

Jalan melewati ketegangan berada dalam komitmen kita terhadap politik dan penolakan akan kekerasan. Adalah selalu terjadi ketika kebisuan menyetujui kekerasan ditarik – demi politik – tindakan diplomasi memiliki kesempatan untuk diaplikasikan. Bahkan di negara yang tidak demokratis, aksi pemerintah selalu dibatasi oleh tuntutan dari rakyat. Keyakinan mengenai politik ini, merupakan hal yang mendasar. Kehormatan politik dimuati oleh negosiasi konflik melalui pembicaraan, penggantian perseteruan oleh kompromi dan kekuatan oleh persuasi.

Hal ini bukan merupakan dorongan rohani. Politik dimulai dari rakyat, dimana kita berbagi dunia, ketidaksetujuan, kadangkala dalam masalah yang mendasar. Diantara sekular liberal dan orang-orang yang imannya tidak dapat dipisahkan dari politik mereka, tidak ada asimilasi yang mudah. Tidak ada juga jalan untuk menghakimi siapa yang “benar”. Hanya ada dialog dan pencarian fondasi yang sama.

Koalisi dapat dan harus luas tetapi koalisi hanya dapat dibentuk diatas dasar komitmen terhadap politik dan penolakan kekerasan.

Pembentukan Koalisi

Beberapa abad terakhir, fokus akan hubungan antara Barat dan dunia Islam semakin menyempit. Terorisme telah mengalihkan pandangan kita satu sama lain dan merusak hubungan kita dengan sesama. Organisasi dengan tujuan, nilai dan taktik yang berbeda dikumpulkan bersama. Pembedaan yang kecil atau bahkan tidak ada digambarkan diantara mereka yang terlibat dalam perjuangan teritori nasional dan mereka yang mengejar tujuan global atau pan-Islam; diantara mereka yang dapat digambarkan dalam proses politik domestik dan mereka yang secara esensial anti-politik dan kekerasan.

Hasilnya adalah dunia Barat akan dilihat sebagai, seperti yang kita inginkan, anti-teror, bukan anti Islam. Tanpa memperdulikan arus utama, politikus di Inggris dan AS dan di negara Muslim berulangkali menolak benturan peradaban. Sepeti itulah hal tersebut akan dilihat.

Jika kita ingin membangun kembali hubungan – membentuk koalisi yang lebih luas – kita perlu menunjukkan penghormatan yang lebih besar. Hal ini berarti menolak pelabelan dan bergerak keluar dari pembagian antara moderat dan ekstrimis yang kaku. Kita tidak boleh hanya melihat Muslim sebagai Muslim, tetapi sebagai orang-orang dengan berbagai macam posisi dalam kehidupan mereka – di rumah, di pekerjaan, dalam semua aspek kehidupan individual mereka. Selalu ada yang lebih baik daripada terkurung dalam pelabelan tunggal.

Hal ini khususnya benara ketika anda berfikir bahwa dunia Muslim tidak kebal dari perubahan yang mempengaruhi bagian dunia lain. Meningkatnya individualisme dan teknologi modern telah mengedepankan debat dimana orang-orang dari berbagai keyakinan mencoba untuk mengakomodasi gaya hidup modern untuk tuntutan identitas keagamaan mereka.

Pandangan yang lebih bulat dan terhormat adalah fokus terhadap sukses, tidak hanya pada konflik atau kemiskinan yang ditemukan di dunia Islam. Turki, negara demokratis sekular dengan populasi mayoritas Muslim, merupakan kekuatan modernisasi dan inspirasi bagi kawasan tersebut. Indonesia merupakan contoh hidup bahwa pluralisme dan toleransi adalah jawaban terbaik bagi keberagaman. Negara-negara teluk seperti Uni Emirat Arab telah, dalam dua generasi saja, menciptakan beberapa kota yang paling maju dan canggih di dunia dengan tradisi arsitektur urban baik dari Timur dan dari Barat.

Rasa hormat saja tidak pernah cukup. Hal tersebut hanya merupakan kondisi awal. Perubahan nada harus juga diikuti oleh perubahan substansi. Mempeluas koalisi akan membutuhkan upaya yang lebih aktif untuk menjangkau, upaya yang lebih besar untuk rekonsiliasi dengan mereka yang memiliki nilai yang tidak sama dengan kita atau tidak sesuai dengan cara pandang dunia kita, tetapi memiliki kesamaan yang lebih banyak dengan kita dari pada mereka yang berkata bahwa kita adalah musuh.

Karena itulah Inggris, dengan kedutaan-kedutaan di 38 negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara yang memiliki perbedaan pendapat besar dalam masalah hak asasi manusia, pengayaan nuklir atau konflik, seperti Sudan atau Uzbekistan. Dalam kasus manapun, kita berusaha untuk mempengaruhi melalui hubungan dan dialog, dan untuk melakukan hal tersebut dengan serangkaian tantangan yang kita hadapi bersama: perubahan iklim; Tujuan Pembangunan Milenium dan krisis ekonomi sebagai contoh.

Karena itulah Inggris sangat mendukung reformasi sistem internasional yang menginstitusionalisasi hubungan politik yang erat antara negara barat dan negara bermayoritas Muslim. Uni Eropa memiliki peran yang penting, berikut ini adalah dua di antaranya. Perdebatan mengenai akses Turki merupakan cobaan vital bagi komitmen kami untuk berbagi politik. Uni Mediterania menyediakan forum untuk negara-negara dari Afrika Utara, Levant, Turki, dan Eropa, untuk bekerjasama. Idenya sederhana: arena politik memberikan ruang untuk berbagi upaya. Berdasarkan saling menghargai.

Walaupun sulit untuk menentukan batas dan memutuskan siapa yang bisa dan harus diajak bekerjasama, dalam hubungan dengan gerakan-gerakan politik inilah yang tidak ada dalam pemerintahan. Dan situasi konflik merupakan yang tersulit. Setiap kasus berbeda. Dalam beberapa kasus, pasukan kita berada dalam resiko dan kita tidak akan membahayakan keamanan mereka. Dan komitmen terhadap politik dan kekerasan telah berubah dan kabur. Tidak ada kasus yang mudah.

Saya percaya bahwa koalisi di Irak benar untuk mencoba bekerjasama dengan “anak-anak Irak”. Walaupun masa lalu mereka, keputusan mereka untuk menolak Al-Qaeda dan memulai transisi untuk hidup dengan konstitusi telah membantu memperbaiki hidup rakyat Irak di Bahgdad dan propinsi Al Anbar, dan memberikan harapan pada mereka untuk memperbaiki masa depan.

Di Somalia, kita harus mengakui bahwa walaupun Presiden Sharif pernah menjadi bagian dari Union of Islamic Courts, beliau kini memimpin pemerintahan persatuan transisional. Beliau berusaha untuk mengimplementasikan Perjanjian Damai Djibouti. Beliau berusaha untuk mencegah eksploitasi kaum muda dan penyalahgunaan Islam.

Di Afganistan, pernyataan Perdana Menteri kepada Parlemen memberikan pendekatan yang komprehensif. Kita harus mengerti dua hal. Pertama, mayoritas dari yang kita sebut Taliban - sebuah istilah yang meliputi berbagai macam orang - tidak memiliki afiliasi ideologi dengan Al Qaeda. Dalam kata-kata Fareed Zakaria, mereka menginginkan “peraturan Islam secara lokal, bukan jihad keras secara global.” Dan kedua, bahwa Taliban itu sendiri merupakan lanturan keras dari tradisi asli nasionalisme agama suku konservatif. Pashtun dan suku-suku lain tidak lebih dari korban kekerasan Taliban seperti yang lainnya diAfganistan. Banyak di Afganistan Selatan dan Timur yang mengerti hal ini. Kita dapat berharap akan stabilnya Afganistan pada menjauhnya Pashtun dan suku-suku lain dari kekerasan dan makin mendekat ke arena politik.

Beberapa wakil dari nilai-nilai suku konservatif tidak diikutkan dari Konferensi Bonn - hanya pemenang - di tahun 2001. Perdamaian dan keamanan di Afganistan tidak hanya bergantung pada para pria berseragam; ini berdasarkan pasca perjanjian politik yang lebih luas dan lebih inklusif. Karena itulah kita harus mendukung upaya pemerintahan Afganistan untuk bergabung kembali dengan Taliban yang bersiap untuk meninggalkan kekerasan, terlibat dalam proses politik demokratis, dan menjauhkan diri dari Al-Qaeda.

Bagi beberapa pihak tidak ada rekonsiliasi. Di Pakistan, harus diingat bahwa ada sebuah konteks yang berbeda. Beberapa bagian dari pemberontak militan mencoba mengambil alih pemerintahan sipil di sebuah negara dimana politik berada pada posisi terbaik dan aturan militer terlalu sering menjadi norma. Aturan konstitusional harus diterapkan di seluruh negara.

Tidak ada satupun dalam kasus ini kita bisa menyatakan nilai identitas antara sosial demokrat Inggris dan pemimpin lokal. Namun dalam kebijakan luar negara, hal tersebut seharusnya bukanlah kekhawatiran utama. Yang kami cari adalah komitmen sama menuju sebuah proses dimana konflik diselesaikan secara politik, dalam hal ini terhadap lingkungan ancaman dari Al-Qaeda.

Saat perbincangan dimulai, kita akan menemukan orang-orang siap untuk mengatakan sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikir dapat dikatakan oleh mereka sendiri. Mungkin apabila Ian Paisley mendengar kata-kata baik dari saudara tuanya mungkin dia juga akan terkejut. F.W. de Klerk pasti telah melihat kebelakang ke masa muda dan bertanya-tanya tentang jarak yang telah ia tempuh. Politik merubah orang. Kita merubah pikiran. Kita memberikan dan mengambil poin, kita mengevaluasi ulang, kita membuat kemajuan, kita membangun koalisi dan persetujuan.

Saya melihat dua rintangan besar dalam memenangkan persetujuan tersebut. Pertama, ada persepsi bahwa komitmen kami terhadap nilai-nilai demokratis berhenti saat dunia Muslim dimulai. Dan yang kedua, ada pendekatan kami terhadap konflik di dunia.

Reformasi Politik

Gallup telah mensurvey 90% perwakilan dari 1,3 milyar Muslim dunia dan mereka menemukan sesuatu yang menarik dan menghangatkan hati. Apa yang dikatakan warga Muslim terus menerus adalah salah satu hal yang paling mereka kagumi dari bangsa Barat adalah kebebasan politik, kebebasan mengeluarkan pendapat dan sistem hukum yang adil. Hal-hal ini adalah nilai-nilai universal.

Tetapi hal ini disertai dengan keraguan mendalam tentang bagaimana di Amerika Serikat dan di Eropa, kita menerapkan nilai-nilai tersebut. Data tersebut sangat jelas – kita dilihat menerapkan nilai-nilai kita secara tidak konsisten sehingga penerapannya menimbulkan keraguan akan ketulusan kita. Dalam poin tersebut persetujuan adalah tidak mungkin.

Jadi tugas pertama kita adalah memahami pemikiran masyarakat di mayoritas negara Muslim dalam semangat yang mereka tawarkan. Muslim tidak ingin kita mendukung invidividu manapun yang menduduki pemerintahan yang relevan setiap saat, mereka juga tidak mau meminta kita untuk tiba dengan rencana dasar untuk pemerintahan demokratis.

Saya menganggap warga Muslim yang menjawab survey ini secara sederhana mengatakan bahwa nilai-nilai prosedural dari negara-negara yang bebas adalah nilai-nilai yang juga mereka pegang. Ini adalah kesepakatan mutlak, cukup untuk mengadakan sebuah pembicaraan, sebuah prinsip untuk mendasari sebuah koalisi.

Jadi tugas untuk komunitas internasional adalah menjunjung tinggi pemerintahan daripada calon-calon tertentu.

Bulan depan pemilihan umum akan dilaksanakan di Libanon, Iran dan Moroko, dan sebelum tahun 2009 berakhir pemilu diadakan di Tunisia dan Afghanistan. Secara sesuai kami akan melakukan apapun yang kami bisa untuk mendukung proses tersebut. Tahun lalu di Bangladesh kami membantu mendanai pendaftaran sistem pemilu fotografik yang baru dan tahun ini kami memberikan bantuan keamanan tambahan untuk pemilu di Afghanistan.

Tapi selama nilai-nilai yang kita junjung bersama tersebut dihormati selama pemilu berlangsung, maka hasilnya akan sah. Saya tahu bahwa saat ini banyak orang yang akan bangkit dari tempat duduknya dan bertanya”bagaimana dengan Hamas”?

Izinkanlah saya menjelaskan hal tersebut dengan mengingatkan kepada anda bahwa pada tahun 2000 kami dan mitra kami di Uni Eropa menolak pemerintahan Austria bukan karena bagaimana cara mereka mendapatkan kekuasaan tetapi karena pandangan dan kebijakan sayap kanan jauh yang mereka dukung. Ketika berbicara mengenai Hamas tidak ada yang menyangkal bahwa mereka memenangkan kursi di parlemen. Kami tidak mengakui bahwa pemilu mereka sah. Kami mengatakan bahwa kegagalan untuk menerima proses politik menuju solusi dua negara membuat hubungan politik normal menjadi tidak mungkin.

Resolusi Konflik

Saya telah mengatakan bahwa kami berkomitmen terhadap sebuah proses politik melalui dialog daripada kekuatan dan kami menyambut baik bagi siapapun yang siap meletakkan senjata dan ingin bergabung dengan kami. Kami tidak akan memeriksa keabsahan ideoologi mereka diluar keyakinan bahwa argumen adalah senjata pilihan mereka dan akan terus menjadi seperti itu.

Namun ini adalah harapan yang baik untuk saat ini di beberapa belahan dunia lainnya. Secara jelas, pra-kondisi dari prinsip seperti itu adalah konflik akut yang membahayakan beberapa tempat di dunia disampaikan.

Saya juga ingin realistis. Kita harus mulai dari tempat kita saat ini. John Esposito dan Dalia Mogahed menjelaskannya dengan baik: “Di Barat”, mereka menulis “kami dihantui oleh serangan teroris dan bom bunuh diri ….. (ketika) dunia Muslim dihantui oleh invasi dan kependudukan Irak … dan gambar-gambar warga sipil yang tewas serta kerusakan akibat serangan Israel di Gaza dan Libanon selatan”.

Konfrontasi antara Muslim dan non Muslim, di Bosnia dan Kosovo, di Irak, Afghanistan, Asia Tenggara dan Timur Tengah telah mengakibatkan kesedihan kemanusiaan. Penderitaan tersebut meracuni hubungan internasional.

Amat sangat disayangkan bahwa doktrin intervensionisme liberal diartikan dengan tindakan di Sierrra Leone dan Kosovo, dimana kepentingan kemanusiaan berada pada resiko yang membahayakan, dan dengan konflik di Irak. Doktrin tersebut ada tidak untuk diartikan secara sempit dan tidak akurat, dengan aksi militer daripada hubungan diplomatik. Kita harus memulihkan ide asli yang merupakan ide yang dulu mulia dan masih tetap mulia, yang merupakan ekspresi dari nilai-nilai kami.

Hal itu menjelaskan mengapa kami menggandakan bantuan kami untuk Pakistan dan kami membantu pemerintahan terpilih yang demokratis untuk memperbaiki kualitas pelayanan dasar terutama pendidikan dan kesehatan. Itulah mengapa di Sudan kami mengucurkan dana bantuan 115 juta Poundsterling dan 85 juta Poundsterling untuk pemeliharaan perdamaian guna menyelamatkan nyawa dan menstabilkan situasi di Darfur dan di seberang Selatan. Hal ini merupakan dasar dari keterlibatan aktif kami dalam memastikan kemerdekaan Kosovo sehingga negara tersebut dapat bertransisi dari kekejaman tahun 1990 dan membangun sebuah masa depan yang lebih damai dan sejahtera. Kami sangat berharap OIC akan menegaskan dukungannya untuk kemerdekaan Kosovo minggu depan.

Hal ini juga menjelaskan kerja kami di Afghanistan dan kerja militer kami sekarang ini hampir selesai di Irak. Tujuannya adalah membantu pemerintahan yang sah menyelesaikan konflik di lapangan sehingga tugas politik dapat dimulai. Jika kita tidak membuat rencana ini maka kita akan membuka argumen untuk sebuah penjelasan alternatif yang akan disediakan oleh Al-Qaeda – bahwa semua ini adalah niat Barat untuk menghancurkan dunia Islam.

Satu tempat dimana saya pikir bahwa ada kesepakatan yang adil adalah bahwa kita butuh lebih dari aktivisme politik dan keterlibatan diplomatik yang lebih dalam demi mencapai solusi dua negara di Timur Tengah. Untuk masyarakat dari semua agama dan yang tidak beragama, hal tersebut tetap menjadi isu yang menimbulkan rasa akut akan ketidakadilan dan kemarahan. Kita semua, dengan cara kita sendiri, harus segera bertindak secepatnya guna menghindari kegagalan fatal dan final atas ruang untuk berkompromi.

Kekuatan untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah menyebar. Dibutuhkan Fatah dan Hamas untuk terlibat dalam politik transformasional bukan persekongkolan kekerasan. Perdamaian membutuhkan pemerintah Israel membekukan penyelesaian dan menerima negara Palestina berdasarkan perbatasan 1967. Perdamaian memerlukan 22 negara di Liga Arab menjadi usahawan untuk bekerjasama secara paralel dengan Israel.

Kesimpulan

Max Weber pernah menulis bahwa hanya ada dua dosa yang mematikan dalam politik. Pertama adalah kekurangan akan objektivitas dimana politisi mengedepankan kepentingan diri sendiri daripada melakukan sesuatu sebagai konsekuensi dari sebuah akibat. Yang kedua adalah kurangnya tanggungjawab: keinginan untuk meninggalkan sebuah kesan baik daripada mengemban tanggungjawab untuk hasil dan konsekuensi atas tindakannya.

Kata-kata tersebut, saya harap, bisa menjadi pengingat bahwa kompromi dan pertukaran bukanlah sebuah pengunduran dari tugas moral kita. Kedua hal tesebut adalah definisi keduanya. Hal itu memunculkan tanggungjawab terhadap kita, keragaman dan terkadang dunia “Barat” yang kacau. Namun itu juga menempatkan tanggungjawab – diatas semua tanggungjawab untuk mengambil resiko dalam usaha untuk struktur politik yang membawa kita bersama – pada para pemimpin di Negara-negara mayoritas Muslim. Usaha oleh Raja Abdulah dari Yordania untuk membawa ke depan Inisiatif Perdamaian Arab adalah sebuah contoh yang baik. Komitmen bersama Presiden Zardari dan Nawaz Sharif untuk mempertahankan demokrasi di Pakistan adalah contoh baik lainnya. Kepemimpinan Presiden Yudhoyono dalam perubahan iklim juga merupakan contoh yang baik.

Tapi saya ingin memberikan anda dengan ilustrasi terbaik dari nilai-nilai ini karena nilai-nilai tersebut ada untuk diterapkan. Sejarah Inggris berarti kita memiliki muatan yang harus kita ketahui seiring dengan kita membangun koalisi dan menciptakan kesepakatan. Tapi dalam masyarakat Muslim kami, kami memiliki sumber daya yang besar sekali. Fokusnya adalah pada minoritas yang merupakan ancaman bagi kita semua. Namun cerita sehari-hari dari mayoritas kawan-kawan Muslim dan tetangga-tetangga kami menggabungkan nilai-nilai yang mengikat Inggris bersama sebagai sebuah negara demokrasi liberal dengan identitas istimewa agamanya.

Saya berfikir tentang kerja kemanusiaan dari organisasi amal Inggris Islamic Relief di kawasan termiskin dunia yang mengumpulkan 40 juta Poundsterling tiap tahunnya untuk menghapuskan penderitaan mereka yang tinggal di negara-negara termiskin dunia.

Saya berfikir tentang Muslim Inggris seperti Menteri Luar Negeri Somalia Mohammad Abdullahi Omaar, yang dengan gagah beranii kembali ke negara asalnya untuk membantu negaranya yang hancur akibat perang.

Saya juga berfikir tentang para ulama di tempat Oxford Centre of Islamic Studies yang telah memberikan sebuah kontribusi yang mulia untuk beasiswa Islam dan debat di negara ini.

Ketika Edward Gibbon mengusulkan Penolakan dan Kejatuhan (Decline and Fall) dalam Kekaisaran Roma bahwa apabila Charles Martel kalah dalam perang Poitiers, Oxford kemungkinan akan menjadi Cotswolds Al Azhar, beliau tidak dapat membayangkan masa depan institusi-institusi Islam dan Inggris dapat hidup berdampingan disini dengan kesepakatan dan melalui toleransi. Hal itu bisa dilakukan. Dan harus seperti itu.

Dari generasi ke generasi negeri ini telah menjadi sebuah tempat pertemuan. Negara dengan jumlah warga Muslim sebesar dua juta orang, dari seluruh dunia telah datang dan hidup disini. Mereka tidak lupa akar, mereka menanamnya dalam tanah dan hal itu memperkaya tanah dimana kita berdiri.

Mereka bergabung dengan koalisi negara, negara dimana kita bisa mengabulkan kesepakatan, walaupun seiring dengan kita memeluk keyakinan sendiri atas hal-hal yang sangat penting. Mereka adalah penasehat terbaik dari hal-hal yang saya sampaikan hari ini, kemajuan itu datang melalui koalisi berdasarkan kesepakatan.

Pidato disampaikan di Pusat Studi Islam di Oxford pada 21 Mei 2009 oleh Menlu Inggris, David Miliband