Opini

Manusia dan Penjajahan Hawa Nafsu

Rab, 30 Agustus 2017 | 12:01 WIB

Oleh Cecep Zakarias El Bilad

Tujuh puluh dua tahun lalu era penjajahan berakhir. Kita baru saja memperingatinya. Perjuangan panjang nenek moyang kita, mempertaruhkan jiwa dan raga, akhirnya berhasil mengusir para penjajah dari bumi pertiwi. Namun betapapun beratnya sebuah perjuangan kemerdekaan, musuh yang dihadapi jelas wujudnya. Jelas pula posisinya, sehingga kita bisa bersembunyi, lari atau hadapi dengan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Tetapi, akan jauh lebih berat lagi ketika penjajah itu tak nampak wujudnya, dan tak jauh pula posisinya. Musuh itu bahkan menyatu dalam diri kita masing-masing, sehingga tak mungkin bersembuyi, lari atau menghadapinya langsung secara vis à vis, yaitu hawa nafsu. Tanpa maksud mengurangi nilai kemuliaan jihad fȋ sabȋllâh, jihad melawan hawa nafsu adalah perjuangan panjang dan sulit yang dijalani setiap orang sepanjang hidupnya. Sebagaimana diisyaratkan Nabi SAW dalam sabdanya:

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَه لِلّه

“Orang yang berjihad sejati adalah orang yang memerangi hawa nafsunya karena Allah.” (HR. Ahmad).

Mahluk merdeka

Manusia tercipta sebagai mahluk merdeka. Ia lahir tidak menjadi budak siapapun, dan tidak pula untuk kepentingan siapapun. Namun, ini tentunya bukan berarti merdeka secara mutlak. Sebab sebagai mahluk, wujud manusia tidaklah berdiri sendiri. Ia semula tidak ada, lalu diadakan oleh Tuhan. Sebagai mahluk, ia juga tidak berdaya apapun.

Semua kemampuan yang ia miliki ialah juga ciptaan dan pemberian dari Sang Pencipta. Statusnya sebagai mahluk ini tidak akan pernah memberinya kebebasan/kemerdekaan yang mutlak. Ia merdeka dalam arti, tidak tunduk pada apapun dan siapapun sesama mahluk di alam semesta ini. Ia hamba Allah dan menghamba hanya kepada-Nya.

Jauh sebelum kelahirannya di dunia, manusia sudah sepenuhnya sadar akan status kehambaannya itu. Ia sadar bahwa kehidupanya di dunia kelak hanya mengemban satu visi yakni menjadi hamba Allah dan satu misi, menghamba kepada-Nya. Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam firman-nya:

وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَ الْاِنْسَ إلّا لِيَعْبُدُوْنَ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menghamba kepada-Ku.” (adz-Dzariyat, 56).

Kesadarannya itu bahkan diwujudkan dalam sebuah ikrar suci seperti yang Allah sendiri kisahkan:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيْ آدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ القِيَامَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هذَا غَافِلِيْنَ.

"Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka. Kemudian Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. Agar kelak di hari Kiamat kamu tidak berkata sesungguhnya dahulu kami lalai dari hal itu” (al-A‘raf: 172).

Dalam kitab tafsirnya, Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi menyebut sumpah manusia kepada Allah ini dengan syahâdah al-fiṭrah (ikrar suci), yakni ikrar manusia untuk mengesakan Allah (waẖdâniyyatihi). Ikrar ini terjadi di âlam adz-dzar, alam menjelang manusia diturunkan ke alam dunia. Menurut Syekh Asy-Sya’rawi, ayat ini menegaskan bahwa secara fitrah semua mahluk itu beriman kepada Allah, dan meyakini bahwa Dia adalah Pencipta dan Pengatur alam semesta.

Inilah yang sering disebut bahwa agama itu fitrah. Secara alami, manusia akan percaya bahwa alam raya ini ada yang menciptakan, dan Pencipta itu pula yang sekaligus mengatur peredarannya. Fitrah, dalam al-Mu’jam al-Washȋt, bermakna الخلقة التي يكون عليها كل موجود اول خلقه (suatu potensi asal saat sesuatu mahluk diciptakan). Ini berarti, dari sekian potensi yang dibawa manusia sejak lahirnya, satu di antaranya adalah potensi ketuhanan ini.

Dari perspektif sains modern sendiri, sudah sejak lama manusia diyakini sebagai mahluk relijius. Agama sebagai fenomena alami, yang niscaya ada dalam kehidupan manusia. Setiap orang secara naluri percaya akan adanya suatu kekuatan di luar sana yang mendesain alam semesta ini, dan mengatur perjalanan setiap jengkal kehidupan.

Namun sesuatu itu keberadaannya di luar jangkauan akal dan pancainderanya. Naluri ini menjadi sumber dorongan manusia untuk menganut agama. Jesse Bering, seorang psikolog kontemporer Amerika dalam bukunya the God Instinct: The Psychology of Souls, Destiny and the Meaning of Life, mengistilahkannya dengan God Instinct (insting ketuhanan). Menurutnya, ini adalah unsur unik dalam diri manusia, yang membedakannya dari binatang. Unsur inilah yang melahirkan fenomena agama dan kepercayaan di setiap tempat dan zaman.

Penjara tubuh

Tibalah giliran masing-masing manusia diturunkan ke muka bumi. Memasuki alam dunia, wujud ruhani itu dimasukkan dalam wadah tubuh jasmani. Di awal perjalanannya, ia mulai belajar survive dan beradaptasi dengan lingkungan duniawinya. Itu dimulai dari ruang sempit rahim ibunya. Seiring waktu, tubuhnya yang semula segumpal daging, tumbuh menjadi janin. Setelah sembilan bulan, saat semua organ dan sistem tubuhnya sempurna, ia kemudian keluar dari ruang sempit itu ke ruang bebas alam dunia ini.

Hari berganti hari. Tubuh mungil itu terus berkembang. Yang semua lemah menjadi kuat; semula kecil semakin besar; semula pendek menjadi tinggi. Semua unsur terus berkembang tahap demi tahap, hingga akhirnya menjadi sosok remaja dan dewasa. Semula ia masih merasa canggung dengan hiruk-pikuk kehidupan dunia. Lambat laun ia mulai meniru dan membiasakan diri. Berkat bimbingan orangtua dan orang-orang di sekitarnya ia pun menjadi terbiasa.

Tahun berganti tahun. Ia sudah mulai akrab, betah, dan akhirnya bisa merasakan manisnya kehidupan dunia. Ia mulai kenal nikmatnya makanan, lembutnya belaian, bagusnya pakaian, asiknya permainan, dan seterusnya. Memasuki usia remaja, kesannya tentang kehidupan pun semakin mendalam. Ia sudah bisa merasakan indahnya pemandangan, cantiknya lawan jenis, asyiknya bergaul, manisnya ilmu, bangganya prestasi, dan seterusnya.

Saat dewasa pun tiba. Ia semakin merasa dunia ini sebagai tempat terbaik. Bagaimana tidak, ia sudah bisa menikmati nikmatnya pujian, asiknya rumah tangga, enaknya banyak uang, indahnya kemewahan, hebatnya kekayaan, kekuasaan, pangkat, jabatan dan seterusnya. Dunia menjadi tempat yang begitu menakjubkan baginya. Bila perlu, ia ingin hidup seterusnya di dunia, terlebih jika “kebetulan” ia memperoleh itu semua dengan mudah. 

Di sinilah manusia mulai merinci daftar keinginan, merangkai cita-cita dan merancang rencana-rencana hidup. Waktu menjadi terasa sangat berharga. Hari demi hari ibarat susunan anak tangga yang dilalui menuju satu demi satu keinginannya.

Di satu sisi, ia sebenarnya sadar bahwa jatah hidup di dunia ini terbatas. Pada saatnya pasti akan berakhir. Namun di sisi lain, dunia ini sudah terlampau indah baginya dan ia sudah terlanjur jatuh cinta. Target-target hidup sudah dipancang. Usaha untuk meraihnya pun sudah dilakukan lahir dan batin. Secara lahir, ia bekerja dan belajar. Kegagalan demi kegagalan ia alami, namun ia terus bangkit. 

Tahap demi tahap, jenjang demi jenjang ia lalui dengan sebar, demi meraih daftar-daftar keinginannya. Tak hanya secara lahir, usaha-usaha batin pun dilakukan, terutama di saat-saat kondisi sulit/terjepit. Ia rajin beribadah dan berdoa, memohon agar Allah memudahkan usahanya meraih setiap keinginannya.

Demikianlah cara umumnya manusia melalui fase hidupnya di dunia. Mereka tentu sadar hidup ini hanya sementara, tapi mereka seolah mencoba melupakannya. Sampai tak lagi merasa jika jatah waktunya di dunia kian habis. Saat ajal tiba, ia mungkin sedang giat-giatnya bekerja, belajar, bercengkrama, bersenang-senang. 

Keinginannya masih banyak yang belum terpenuhi. Masih banyak cita-cita yang belum tercapai. Masalah masih banyak yang belum diselesaikan dan tanggungjawab pun masih besar, di keluarga, kantor, organisasi, masyarakat. Namun ajal tak bisa ditunda. Maka kematian menjadi terasa begitu menyakitkan.

Dijajah nafsu

Seperti sudah diuraikan, manusia adalah mahluk dua dimensi, lahir dan batin; jasad dan ruh. Setelah ruh dan jasad dipersatukan, seperti kata Imam al-Ghazali dalam Iẖyâ ‘Ulȗmuddȋn, jasad menjadi kendaraaan bagi ruh (manusia) selama menjalani fase kehidupannya di dunia.

Kemudian, dalam menahkodai tubuh, ruh memiliki satu organ/sistem dalam “tubuh”nya yang disebut an-nafs, yang dalam konteks ini sering diartikan sebagai hawa nafsu atau syahwat. Dalam terminologi pakar kejiwaan Muslim seperti Ibnu Sina dan Mullâ Ṣadrâ, hawa nafsu diistilahkan dengan an-nafs al-ẖayawâniyyah (nafsu hewani). 

Sejatinya, keberadaan hawa nafsu ini adalah fitrah, sebagaimana fitrah-fitrah lainnya dalam diri manusia. Ia adalah unsur ruhani yang menjadi sumber gerak tubuh. Ia menggerakkan dan memproses seluruh organ dan sistem tubuh, pencernaan, pertumbuhan, perkembangbiakkan, penginderaan, dan lain sebagainya.

Dari sinilah bersumber semua rasa dan hasrat jasmaniah manusia. Ini tentunya terkait langsung dengan aktivitas fisik manusia, seperti makan, tidur, bangun, pergi, bekerja, seks dan lain-lain. Artinya, hawa nafsu merupakan penggerak berlangsungnya aktifitas dasar manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ia sebagai hasrat yang mendorong aktivitas-aktivitas itu dan sekaligus yang merasakannya.

Selain hawa nafsu, ruhani manusia juga memiliki bagian lain yang diistilahkan Ibnu Sina sebagai an-nafs al-insâniyyah (nafsu insani), yang mencakup qalbu dan akal-pikiran. Qalbu menjadi sumber spiritualitas dan akal-pikiran sumber intelektualitas. Aspek ruhani inilah yang mendorong manusia pada aktifitas keilmuan, intelektualitas, keagamaan dan filantropi.

Persoalannya adalah nafsu hewani mengontrol langsung aktivitas dasar manusia, seperti makan, minum, seks, penglihatan, pendengaran, dan lain sebagainya. Ketika ruh masuk ke dalam tubuh, aspek ruh inilah yang langsung berperan dan aktif bekerja. Saat tubuh masih gumpalang daging, ia menumbuhkannya jadi janin hingga lengkap dengan organ-organ tubuhnya. 

Jadilah janin itu bayi yang bergerak dan mengindera, hingga sempurna dan siap terjun keluar dari rahim sang ibu. Tahun berganti tahun, barulah nafsu insani aktif bekerja menumbuhkan kesadaran intelektual dan spiritual pada manusia baru itu.

Kondisi ini tentu saja menjadikan hawa nafsu lebih unggul dalam mengendalikan tubuh, dibandingkan pikiran dan qalbu. Sementara dalam konteks ini, tugas akal dan qalbu sebenarnya adalah untuk mengontrol dan membimbing aktifitas hawa nafsu. 

Seperti dikatakan Imam al-Ghazali dalam Kȋmiyâ‘ as-Sa’âdah, jika diri manusia itu diibaratkan sebuah negara (madȋnah), maka tubuh itu adalah wilayah kekuasaan (dliyâ‘), syahwat itu ibarat perdana menteri (wâliy) yang mengatur pemerintahan atas perintah dan bimbingan raja. Sedangkan qalbu adalah sang raja (mâlik) dan akal adalah penasehat raja (wazȋr).

Namun jika perdana menteri itu begitu cerdik dan kuat pengaruhnya, sementara sang raja lemah dan bodoh, maka seluruh kerajaan akan tunduk di bawah kendali sang perdana menteri, termasuk pula raja dan penasehatnya itu. 

Artinya, ketika hawa nafsu seseorang terlampau kuat mencengkram tubuh, sementara qalbu dan akalnya lemah, maka orang itu perilakunya sehari-hari akan hanya berdasarkan kemauan hawa nafsunya. Qalbu dan akalnya pun akan bekerja menuruti perintah hawa nafsunya.

Ini kondisi ruhani yang umum dialami manusia, saat hawa nafsu menjajah wilayah kekuasaan qalbu dan akal. Untuk itulah Allah SWT mengingatkan dengan firman-Nya:

اَفَرَأَيْتَ مَنْ اتَّخَذَ إِلهَهُ هَوَاهُ وَ اَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلمٍ وَ خَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَ قَلْبِهِ وَ جَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِاللهِ أَفَلَاتَذَكَّرُوْنَ

“Apakah kau pernah lihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai ilâh (tuhan). Allah membiarkannya tersesat dalam kesadarannya. Allah telah mengunci pendengaran dan qolbunya, serta menutup pandangannya. Maka siapakah yang mampu menuntunnya ketika Allah sudah menyesatkannya. Tidakkah kalian ingat?” (al-Jatsiyah: 23)

Ketika hidup seseorang dipenuhi dengan keinginan-keinginan, maka hari-harinya akan dipenuhi dengan rangkaian kesibukan untuk mencapainya satu demi satu. Jika ia berhasrat jadi seorang PNS, misalkan, maka dia akan mengejarnya. Tenaga, pikiran, harta-benda, keluarga, semuanya akan dipertaruhkan. Perasaannya akan selalu diliputi harapan dan kecemasan, yang hanya hilang jika ia sudah berhasil. Sebaliknya jika gagal, ia akan dirundung stres dan kesedihan.

Satu keinginan terpenuhi, muncullah keinginan-keinginan berikutnya. Dan manusia, pada saat bersamaan, selalu punya lebih dari satu keinginan. Hidupnya akan disesaki berbagai kesibukan demi mengejar daftar kemauan syahwatnya: uang, rumah, sepeda motor, mobil, tanah, pekerjaan, pangkat/jabatan, kekuasaan, istri/suami, anak-cucu, hiburan, hobi, ilmu, prestasi, gelar, dan lain sebagainya.

Ia terjebak dalam jejaring keinginan dan kesibukan yang diciptakannya sendiri atas perintah syahwat. Dan itu berlangsung hampir sepanjang hidupnya, dan menyita hampir seluruh waktu, tenaga, pikiran dan perasaannya. Namun di sisi lain, ibadah dilakukan hanya sekedarnya. Bahkan, momen-momen sakral itu pun, misalnya shalat, puasa, haji, infak, sedekah, tak jarang dijadikan sarana ruhani untuk memuluskan keinginan-keinginan duniawinya itu.

Kemauan nafsu tak pernah habis. Dan untuk setiap kemauan, nafsu akan menggerakkan tubuh tuannya (manusia) untuk melakukan apa saja untuk memenuhinya, meskipun hal itu bisa berakibat buruk bagi dirinya sendiri ataupun melanggar batas-batas aturan syari’at. 

Dalam qalbunya, orang mungkin sadar bahwa suatu perbuatan itu salah/dosa dan akalnya pun tahu jika itu berbahaya, namun karena desakan syahwat yang begitu kuat, ia tetap melakukannya. Ia juga tetap menikmatinya. Keadaan seperti ini, berarti seseorang sudah menjadi hamba bagi hawa nafsunya. Seperti dikecam Allah dalam ayat surat al-Jatsiyah di atas.

Tentang kondisi manusia semacam itu, Allah SWT juga berfiman:

إِنَّ ٱلإِنسَـٰنَ لِرَبِّهِۦ لَكَنُودٌ. وَإِنَّهُ ۥ عَلَىٰ ذَٲلِكَ لَشَهِيْدٌ وَإِنَّهُ ۥ لِحُبِّ ٱلخَيرِ لَشَدِيدٌ

“Sungguh manusia itu kepada Tuhannya ingkar. Mereka mengakui keingkarannya itu. Kepada harta-benda, cintanya begitu besar.” (al-‘Adiyat, 6-8).

Ia selalu sadar bahwa Allah adalah Tuhan (ilâh), dan hanya kepada-Nya ia mengabdikan diri. Namun jeratan hawa nafsu begitu kuat, qalbu dan akalnya yang lemah tak mampu mengendalikan apalagi membebaskannya. Akhirnya, sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, perasaan dan semua yang dimilikinya, didedikasikan bukan untuk Allah, tapi untuk mengejar semua yang diinginkan nafsu hewaninya. Bahkan terkadang ia rela melanggar aturan-aturan Allah, hanya demi menuruti kemauan “tuhan” kecilnya itu. Inilah barangkali yang dimaksud Allah dalam firman-Nya:

وَ لَئِنْ سَئَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّموتِ وَ الْاَرْضَ وَ سَخَّرَ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ لَيَقُوْلَنَّ الله

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi, serta yang menundukkan matahari dan bulan. Niscaya mereka akan menjawab “Allah”. (al-Ankabut, 61).

Sampai di sini, jelas bahwa musuh terbesar kita sampai detik ini adalah syahwat/hawa nafsu. Setiap insan sudah beriman kepada Allah jauh sebelum ia lahir ke muka bumi. Namun, seperti dikatakan Syekh Asy-Sya’rawi saat bicara tentang syahâdah al-fiṭhrah, hawa nafsulah yang kemudian melalaikan kita dari ikrar suci itu. 

Sedangkan hawa nafsu itu sendiri adalah bagian penting dari diri selama kita menjalani hidup di dunia. Oleh karenanya, perjuangan kita untuk merdeka dari belenggu hawa nafsu menjadi begitu berat dan sulit. Terlebih ini adalah perjuangan abadi di sepanjang hidup kita.

Sebentar lagi ‘Idul Adha tiba. Saat yang tepat untuk menyelami makna pengorbanan Ibrahim a.s dan puteranya Isma’il a.s. Keduanya menjadi teladan bagi kita tentang insan yang merdeka dari penjajahan hawa nafsu. Telah sekian lama Ibrahim menanti hadirnya seorang putera, namun setelah hadir dan beranjak dewasa Allah justru menyuruhnya menyembelih putera kesayangannya itu.

Jika melirik pada kemauan syahwat, perintah itu tentu sangat berat bagi Ibrahim. Namun, dengan penuh kesadaran dan ketulusan sebagai hamba Allah, Ibrahim a.s tetap taat melaksanakan perintah itu. Demikian halnya sang putera, Isma’il a.s.

Akhirnya, semua kembali pada diri masing-masing. Sejauh mana kesungguhan kita berjuang membebaskan diri dari penjajahan hawa nafsu, kembali menjadi hamba Allah sepenuhnya. Selagi masih ada sisa umur dan badan masih sehat. Dahulu kita terlahir sebagai hamba Allah yang merdeka, kelak mati pun semoga dalam keadaan merdeka pula. Âmȋn.

Penulis adalah Dosen di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Palangkaraya, Kalimantan Tengah.