Opini

Kumoring: Kunci Sriwijaya, Melayu dan Islam Nusantara

Sel, 1 Desember 2015 | 20:01 WIB

Dedy Mardiansyah
"Adat lembaga sai tipakai sa buasal jak Belasa Kapampang. Sajaman rik tanoh Pagaruyung, pemerintah Bundo Kandung. Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak. Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija. Cambai urai tiusung dilom adat pusako".
<>
Ada beberapa alasan kenapa kutipan di atas menjadi pembuka tulisan ini. Pertama, penulis ingin menegaskan bahwa secara nyata, Komering sebagai subyek kajian masihlah miskin sekali dalam publikasi mengenainya, seperti dalam mesin pencari internet. Kemiskinan publikasi yang tentu menyisakan banyak misteri ini, setidaknya, disebabkan dua hal; karena memang tidak ada data sama sekali yang dapat dituliskan, atau karena memang dianggap tidak begitu penting untuk dituliskan, meski datanya cukup tersedia atau justru sangat banyak datanya.

Jika memang karena alasan pertama, kemiskinan publikasi Komering disebabkan oleh ketiadaan data sama sekali, tentu kita dapat memakluminya. Akan tetapi, jika karena alasan yang kedua, kemiskinan publikasi tentang Komering karena memang tidak begitu penting untuk dituliskan meski datanya cukup atau bahkan amat tersedia, boleh jadi ini persoalan yang tidak sederhana. Sebab, mungkin saja ada unsur kesengajaan yang, justru, di situlah letaknya keluhuran bagi sebuah peradaban.    

Kedua, dan inilah yang bagi penulis mulai menarik, meski faktanya terjadi semacam kemiskinan publikasi tentang Komering, kalau dilihat dari informasi atau data, seperti yang penulis kutip dari ensiklopedia elektronik, hal yang berkaitan dengan Komering dibahas dengan menghubungkannya kepada sesuatu yang lain, yang dianggap lebih besar (Lampung), namun datanya tetap diambil dari Komering.

Suku Komering adalah satu klan dari Suku Lampung yang berasal dari Kepaksian Sekala Brak yang telah lama bermigrasi ke dataran Sumatera Selatan pada sekitar abad ke-7 dan telah menjadi beberapa Kebuayan atau Marga. Nama Komering diambil dari nama Way atau Sungai di dataran Sumatera Selatan yang menandai daerah kekuasaan Komering. Sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga:

"Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh Pagaruyung pemerintah Bundo Kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako".

Terjemahannya berarti "Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang, Sezaman dengan ranah Pagaruyung pemerintah Bundo Kandung (abad 15) di Minangkabau, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Berak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".

Suku Komering mayoritas terdapat sebagian besar berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (75 %), dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (55 %), sisanya berada di Kota Palembang (10 %).

Ketiga, bahwa sesungguhnya jalan untuk memulai pengkajian tentang Komering adalah cukup terbuka. Setidaknya, dengan menggunakan data yang tersedia di media sosial elektronik meskipun terasa masih begitu sederhana. Sebab, di samping dengan dasar keyakinan bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini, ilmu pengetahuan memanglah alat utama untuk memecahkan persoalan yang ada. Apalagi, menurut hemat penulis, dalam sudut pandang ilmu bahasa yang belakangan ini tampak nyata semakin menemukan polanya, seperti dalam ilmu tentang wacana (diskursus), penemuan peradaban menjadi hal yang niscaya. Atas izin dari Sang Pemilik Ilmu, tentunya.

Keempat, data yang menyatakan bahwa sebagai sebuah entitas budaya atau sebagai sebuah peradaban, Komering yang terkait dengan Lampung, Minangkabau dan Abad ke-7 hingga Abad ke-15 Masehi, memiliki kata kunci yang bernama Minanga. Sementara, kata Minanga ini sesungguhnya tidaklah asing dalam sejarah besar bangsa ini yang bernama Sriwijaya. Sedangkan Sriwijaya itu sendiri, sama seperti Komering, meski beda secara kuantitasnya, masih juga merupakan sebuah misteri. Misteri yang seandainya dapat tersingkap tabirnya, boleh jadi akan semakin menguatkan integritas (keutuhan dan ketahanan) nasional kita, bangsa Indonesia. Sebab, Sriwijaya, dipercaya sebagai sebuah kemaharajaan maritim dunia.

Kelima, bahwa Sriwijaya sebagai sebuah peradaban tentu memiliki kewilayahannya. Kawasan yang berlaku di dalamnya adat dan budaya yang identik bagi masyarakat yang berada di dalamnya. Terkait kawasan ini, maka yang juga menarik, terutama sesuai dengan tema besar pelestarian bahasa nasional berbasis bahasa lokal yang diangkat dalam kegiatan ini, adalah bahwa kawasan peradaban Sriwijaya sesungguhnya pula merupakan kawasan peradaban Melayu. Bahkan, sebagaimana Sriwijaya, Melayu pun diidentikkan dengan Palembang. Sementara di dalam prasasti tentang Sriwijaya yang dilaporkan ditulis dengan menggunakan Bahasa Melayu, tidak ditemukan kata Palembang di dalamnya. Justru yang ditemukan adalah kata Minanga. Sementara Minanga itu berada di sini, di ulunya Palembang persisnya di Kabupaten Ogan dan Komering Ulu Timur ini. Pertanda apakah ini?

Wajar jika kemudian, timbul pertanyaan bahwa bukankah karena ini terkait dengan kata, dengan ilmu bahasa sebagai kuncinya, dapat ditelusuri bagaimana prosesnya Sriwijaya sebagai aktor terpenting yang menjadikan Bahasa Melayu sebagai lingua franca? Bukankah Bahasa Melayu kemudian membentuk Bahasa Indonesia? Apakah tidak mungkin penelitian terhadap tingkat keterampilan berbahasa Melayu atau berbahasa Indonesia masyarakat Minanga dan sekitarnya (masyarakat Komering Ulu) dapat membuka pemahaman ke arah itu? Penggunaan kata kiai, sebagai contoh, boleh jadi penggunaannya bagi masyarakat Komering adalah lebih tua dan lebih lama dari pada penggunaannya dalam Bahasa Indonesia.

Visi, Misi dan Gerak Penyebaran Islam

Islam adalah dien paripurna sekaligus nikmat paling sempurna yang diamanahkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Akhir Zaman dan Rasul Terbaik, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam SAW. Islam dimandatkan kepada rasul terbaik dan nabi terakhir, sosok pembawa pesan ketuhanan (risalah ilahiyah) ini lahir pada 571 M atau Abad ke-6 Masehi. Pemandatan Islam kepada Baginda Muhammad ini terjadi di saat usianya 40 tahun. Persisnya tahun 611 Masehi atau masuk Abad ke-7 Masehi.

Sebagai dien yang merevisi ajaran yang diturunkan kepada para nabi sebelumnya, Islam, lewat pengutusan Muhammad sebagai pembawa pesan (rasul), memiliki pandangan atau visi sebagai rahmat bagi alam semesta (universe). Karena pandangannya inilah, Islam mampu mendasarkan dirinya sebagai gerak peradaban yang melampaui batas nilai lokal dan teritorial. Karenanya, dalam konteks visinya ini, Islam menjadi sebuah tata nilai yang universal.

Untuk sampai kepada pandangan atau tujuan yang dikenal dengan istilah rahmatan lil ‘alamin itu, Islam memiliki misi menyempurnakan keluhuran budi pekerti atau itmam makarimil akhlaq. Karenanya, dalam konteks misinya ini, Islam menjadi perangkat operasional yang kontekstual. Tak heran, jika kemudian, antara Islam sebagai agama dengan Islam sebagai budaya lokal sebuah masyarakat tampak sulit untuk dibedakan.

Sebagai sistem nilai universal sekaligus perangkat operasional, Islam dapat menjadi sesuatu yang melampaui (kosmopolitan) sekaligus membumi (lokal) dengan 4 (empat) komponen utamanya berupa: syareat (syari’at), hakekat (haqiqat), tarekat (thariqat) dan makrifat (ma’rifat).

Sementara untuk mengupayakan terciptanya harmoni dalam masyarakat dan dinamisnya peradaban, Islam mengembangkan formula atau strategi kebudayaan yang moderat dengan memelihara nilai lama yang masih selaras (baik) sembari mengambil (adaptasi) nilai baru yang lebih selaras (baik). Strategi ini berangkat dari salah satu kaidah Ilmu Ushul Fiqh yang berbunyi al muhafadzhatu alal qadiimish shalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah.

Kosmopolitanisme Islam dan lokalitasnya tersebut seakan menemukan buminya yang tepat di wilayah geografis yang bernama Nusantara. Melalui pintu hubungan perdagangan internasional, sebagai jaringan interaksi paling strategis. Islam yang lahir di Mekkah masuk dalam wilayah geografis strategis Semenanjung Arabia yang memiliki pintu akses ke Eropa sekaligus ke Asia. Pada Abad ke-7 Masehi itu, kapur dari Barus (Sumatera Utara) telah dipakai di Yunani dan Romawi untuk kosmetik dan perawatan jenazah. Dalam hal ini, Arab, boleh jadi telah memegang kendali kepemimpinan dalam jaringan perdagangan (trading) ekspor dan impor antar benua Eropa dan Asia, termasuk wilayah gugusan kepulauan yang bernama Nusantara.

Sebagaimana yang dikemukakan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), dalam Ahmad Mansyur Suryanegara (Api Sejarah : 2013), bahwa Abad ke-7 Masehi, dengan kata kunci perdagangan global, kemaritiman dan penyebaran Islam, adalah kontak bagi masuknya Islam di Nusantara. Merangkum kesimpulan mengenai cara masuknya Islam dengan mendasarkan pada tiga kata kunci di atas dan melihat pada atlas atau peta dunia, maka pada kesempatan ini perlu disampaikan pula, bahwa adalah lebih masuk akal jika Islam, melewati rute Yaman (terus ke India dan Srilanka) masuk ke Nusantara. Kontak ini, tentu tidak pula terlepas dari peta perdagangan Asia kala itu yang telah dipimpin oleh China secara umum dan Sriwijaya secara khusus yang dengan kedatuannya telah mengendalikan jalur transportasi maritim regional kala itu.

Sehingga, untuk memahami dengan jelas peta masuknya Islam ke Nusantara, amat perlu bagi kita untuk melacak apa dan bagaimana yang sesungguhnya terjadi pada Abad ke-7 Masehi itu antara Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya dengan kerangka perdagangan dunia, teknologi pelayaran dan kemaritiman dan misi penyebaran agama Islam. Sebab, apa yang kita ketahui tentang peradaban masyarakat Islam di Nusantara, boleh jadi disebut dengan Peradaban Islam Nusantara itu, adalah peradaban yang tak terlepas dari Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya.

Islam Nusantara, Komering, Tradisi Ulu dan Ka Ga Nga

Peradaban Islam Nusantara memang perlu kita lacak akarnya pada apa dan bagaimana yang sesungguhnya terjadi di Abad ke-7 Masehi itu. Bahwa proses peradaban yang mengaitkan Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya dengan kerangka perdagangan dunia, teknologi pelayaran dan kemaritiman dan misi penyebaran agama Islam, faktanya, telah membentuk, atau minimal mempengaruhi, sebuah peradaban yang dipraktekkan oleh masyarakat Nusantara.

Sebab, apa yang kita ketahui tentang peradaban masyarakat Islam di Nusantara, boleh jadi disebut dengan Peradaban Islam Nusantara itu, adalah peradaban yang memang tak terlepas dari Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya. Sebab, apa yang terjadi pada Abad ke-13 Masehi, yang boleh kita katakan sebagai titik awal Kebangkitan Islam Nusantara secara formal, dengan berdirinya kesultanan dan hadirnya semacam lembaga pendidikan formal keislaman yang kemudian lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren, tentulah terkait erat dengan proses yang terjadi sebelumnya selama berabad-abad sejak Abad ke-7 Masehi itu.

Bahwa Islam dengan nilainya yang universal sekaligus dengan kerangka operasionalnya yang kontekstual itu, melalui proses peradaban yang mengaitkan Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya lewat kerangka perdagangan dunia, teknologi pelayaran dan kemaritiman dan misi penyebaran agama Islam, telah membentuk sebuah tatanan kehidupan masyarakat Nusantara. Sehingga, sejak Abad ke-13 Masehi, peradaban Nusantara menjadi identik dengan Islam yang berbasiskan peradaban kosmopolitan sekaligus bercorak sangat lokal.

Maka dengan dasar inilah, apa yang terjadi sejak Abad ke-13 Masehi hingga di zaman kita ini, dapat terurai secara utuh (integral) dan menyeluruh (komprehensif). Bahwa benar, Islam berasal dari Mekkah. Bahwa benar pembawa Islam adalah mereka para keturunan Baginda Muhammad yang melewati pintu Yaman. Bahwa benar mereka melalui India dan Srilanka. Sehingga kita dapat mafhum, bahwa dengan kontak perdagangan yang dikuasai China dan Sriwijaya, pergaulan menjadi lebih luas. Sehingga dapat pula dipahami jika terjadi persinggungan atau interaksi yang lebih intim dan personal dalam bentuk hubungan kekerabatan yang terjadi melalui pernikahan.

Sehingga, data yang seperti yang dapat kita temui di wilayah Komering ini, yang yang merupakan Ulunya Palembang, yang terkait dengan Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya, boleh pula kita rangkai dan urai. Komering sendiri, menurut riwayat yang hidup di lokal, adalah berasal dari nama seorang pedagang India, Komering Singh. Sementara di Srilanka, sebagaimana terdapat dalam atlas dunia (seperti globe di meja kerja penulis), terdapat pula daerah luar daratan (tanjung) yang bernama Tanjung Komorin. Sementara Srilanka sendiri memang wilayah dekat dengan India. Dan India, pada masa kejayaan Hindu/Budha, tepatnya di Universitas Nalanda, pernah pula dibangun oleh Raja Sriwijaya, sebuah bangunan Ashrama, sebagai bentuk kepedulian dan persahabatan.   

Sementara Sriwijaya sendiri, berdasarkan naskah lokal, yang diriwayatkan oleh H. Arlan Ismail, putera Kiai Haji Khatib Ismail Alhafidzh, dalam bukunya Periodisasi Sejarah Sriwijaya (Universitas Tridinanti Press : 2003) pada awal mulanya, berpusat di Minanga, Komering Ulu, Sumatera Selatan, daerah yang kini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. Hal yang menarik pula, pada wilayah Minanga dan sekitarnya itu kini, faktanya, seperti pada gapura atau gerbang beberapa masjid desa, meski pemekaran kabupaten sejak 2004, tulisan OKU tidak diganti dengan OKU Timur. Tampaknya, ada kesan historis yang tak ingin dihilangkan.

Hal baru yang penulis temukan, bahwa di Komering Ulu ini, persinya di daerah Betung, tak jauh dari Minanga, ternyata ada sosok luhur (keramat) yang pada kisaran Abad 13 Masehi itu telah datang berkunjung. Sosok yang sebagaimana riwayat lokal yang penulis dapatkan, disebut sebagai Junjungan Sayyid Hamim Ukasyah Sulthan Negeri Pasai.

Makam tokoh ini terletak di bagian depan komplek Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri Desa Campang Tiga, Kecamatan Cempaka, Kabupaten OKU Timur. Daerah makam itu disebut oleh masyarakat lokal dengan Pasai. Tak jauh dari makam, terdapat Masjid Arrahman (yang di gapuranya hingga kini juga masih tertulis OKU) milik Desa Gunung Jati. Sementara menyebrang Sungai Komering, di wilayah Campang Tiga, juga terdapat makam bersejarah tokoh keramat yang bernama Said Hamim gelar Tuan di Pulau.

Hal yang menarik juga dan menjadi perhatian kami, mengapa sosok Junjungan Sayyid Hamim Ukasyah Sulthan Negeri Pasai tidak lebih terkenal dari sosok Said Hamim gelar Tuan di Pulau? Padahal, dari riwayat yang sama yaitu dari bapak Khairul Ahmad, sosok Junjungan Sayyid Hamim disebut sebagai “Guru Wali”, sementara sosok Said Hamim gelar Tuan di Pulau berdasarkan riwayatnya yang ditulis Ahmad Azharie, adalah putera bungsu dari Sayyid Syarif Hidayatullah gelar Sunan Gunung Jati. Dalam riwayat yang berbentuk silsilah itu, Tuan di Pulau ini merupakan adik dari Puteri Kembang Dadar yang bermakam di Bukit Siguntang, Palembang.  

Selanjutnya, di samping kedua tokoh ini, di Komering Ulu, tepatnya kawasan Minganga dan sekitarnya, dikenal juga dua orang tokoh lainnya. Yaitu Al Habib Ahmad Alaydrusy Darussalam gelar Tanjung Idrussalam yang bermakam di Desa Adu Manis dan Tuan Umar Baginda Shalih yang bermakam di Desa Rasuan. Kedua tokoh ini, diriwayatkan sezaman dengan tokoh Tuan di Pulau.   

Dengan mendasarkan diri pada proses terbentuknya Peradaban Islam Nusantara sebagaimana yang diuraikan di atas, sengaja penulis mengungkapkan keberadaan fakta yang terdapat di wilayah Komering. Dengan maksud, ingin mengegaskan bahwa ada sesuatu hubungan yang serius atau penting yang masih misteri, terkait Sriwijaya, pada awalnya, dan Peradaban Islam Nusantara, pada akhirnya. Hal itu berkaitan dengan sub tema yang diserahkan kepada penulis dalam kesempatan ini; Islam, Pesantren dan Pelestarian Kearifan Lokal Tradisional Nusantara.

Sebab, penulis berkeyakinan, bahwa dengan menjadikan Komering sebagai subyek kajian dan penelitian, maka kita dapat menghubungkan mata rantai yang terputus terkait sejarah dan peradaban Islam Nusantara. Sebab, sebagaimana yang penulis rasakan, kita seakan menemukan jalan buntu ketika menghubungkan Sriwijaya, Melayu dan Islam yang kemudian menjadi peradaban Nusantara (yang pada fase modernnya kita kenal dengan Indonesia) dengan Palembang Darussalam tanpa melibatkan daerah ulunya yaitu Komering.

Termasuk dan terutama di sini, adalah hubungan Kesultanan Demak Bintara, pendirian lembaga pendidikan formal nasional awal yang bernama pesantren dan Palembang sebagai sentral bahasan Sriwijaya, Melayu dan Islam Nusantara. Hal yang lebih menarik menurut penulis, berdasarkan kronologis perkembangan Peradaban Islam Nusantara, yang melekat pada peradaban masyarakat di wilayah Sumatera Bagian Selatan atau Belajasumba (Bengkulu, Lampung, Jambi, Sumatera Selatan dan Bangka Belitung). Secara umum, berlakunya istilah atau penamaan kata Ulu pada produk peradaban yang berlaku seperti Cara Ulu, Rumah Ulu, Surat Ulu dan Aksara Ulu. Dimana, setiap yang memakai istilah atau peradaban itu identik dengan Sriwijaya, Melayu dan Islam.

Sementara secara khusus, terkait dengan Cara Ulu atau Tradisi Ulu, identik dengan Palembang (Ulu) yang berdasarkan riwayat lokal yang penulis dapatkan, dan tentu masih amat perlu pendalaman dan pengembangan, merupakan bagian awal dari fase Kebangkitan Peradaban Islam Nusantara di Abad 13 Masehi yang disimbolkan dengan berdirinya kesultanan-kesultanan (seperti Kesultanan Demak Bintara) dan pesantren-pesantren (seperti Pesantren Giri Amparan milik Sunan Gunung Jati) yang kemudian secara signifikan membentuk peradaban masyarakat Nusantara.

Padahal, diriwayatkan, Kesultanan Demak Bintara didirikan oleh Raden Kasan (Hasan) gelar Raden Fatah yang merupakan putera Prabu Brawijaya V (pemimpin terakhir Kerajaan Majapahit) dari selirnya yang merupakan anak dari puteri Raja Tjeumpa (Cempa, Campa atau Cempaka) yang dinikahi oleh Sayyid Syarif Hidayatullah gelar Sunan Gunung Jati. Jadi, puteri tersebut adalah selir Raja terakhir Majapahit, cucu Raja Tjeumpa, puteri Sunan Gunung Jati dan keturunan Rasulullah.

Boleh jadi, puteri inilah yang bergelar Ratu Sinuwun yang menyusun Kitab Undang-undang Simbur Cahaya sebagai kompilasi hukum yang berlaku di masyarakat Sumbagsel. Kitab hukum  yang dasarnya merupakan penyelarasan adat lokal (pribumi, tradisional dan lama) dengan agama Islam (pendatang, modern dan baru). Fakta yang nyata, tentu masih amat perlu  perlu dipastikan lewat penelitian hingga kemudian, dapat kita jadikan acuan. Bahwa selain ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang dikenal juga dengan Aksara Jawi atau Pegon, faktanya juga, kitab ini adalah simbolisasi peradaban yang kontekstual dengan masyarakat lokal sekaligus kosmopolit. Kontekstual lokal sekaligus kosmopolitan peradaban itu dapatlah pula kita lihat pada ornamen Masjid Agung Palembang Darussalam kini.

Hal yang menarik pula adalah bahwa Raden Fatah yang sebelum mendirikan Kesultanan Demak Bintara, sebagaimana yang diceritakan Agus Sunyoto (Suluk Abdul Jalil : 2001), belajar pula terlebih dahulu di Pesantren Giri Amparan Jati, pesantren pertama yang didirikan oleh kakeknya yaitu Sunan Gunung Jati. Raden Fatah belajar di sana bersama dengan Raden Kusen (Husen) yang merupakan anak dari Ario Abdillah (Riodillah) atau Arya Damar yang merupakan Adipati Palembang sekaligus Perintis Kesultanan Palembang Darussalam.

Menarik pula, Ario Abdillah ini adalah putera dari Prabu Brawijaya V dari istrinya yang berstatus Permaisuri Kerajaan Majapahit. Sebagaimana permintaan sang ayah, Ario Abdillah kemudian menikahi syarifah yang yang tak lain merupakan cucu dari Raja Tjeumpa dan puteri Sunan Gunung Jati itu di Palembang setelah perempuan mulia itu melahirkan Raden Fatah, buah pernikahannya dengan ayah Ario Abdillah. Setelah setahun dua menikah dengan Ario Abdillah, lahir pula darinya, di Palembang, putera yang bernama Raden Kusen.

Jadi, faktanya, Raden Fatah adalah putera Brawijaya V, cucu Sunan Gunung Jati, cicit Raja Cempa, adik tiri Ario Abdillah (Adipati Palembang) dan pendiri Kesultanan Demak Bintara. Sementara Raden Kusen adalah putera Ario Abdillah, cucu Brawijaya V, cucu Sunan Gunung Jati dan cicit Raja Cempa. Raden Fatah dan Raden Kusen keduanya lahir di Palembang, keturunan terakhir dinasti Majapahit (Raja Brawijaya V), dibesarkan oleh Adipati Palembang, Ario Abdillah, cucu dari Sunan Gunung Jati dan cicit dari Raja Cempa. Setelah masuk masa kanak-kanak, keduanya dikirim ke Majapahit lalu kemudian ditugaskan untuk belajar di Pesantren Giri Amparan Jati di bawah asuhan sang kakek, Sunan Gunung Jati.

Tampaknya, inilah yang menjadi titik temu utama dalam bahasan kita pada seminar ini. Bahwa, besar kemungkinan, di Pesantren Giri Amparan Jati, diberlakukan pembelajaran Aksara Ulu yang kemudian dikenal dengan istilah Aksara Ka Ga Nga. Sebab, di Jawa Barat, aksara ini diakui pula sebagai Aksara Tradisional Jawa Barat. Dan, tampak nyata, bahwa ini, tentu amat berkaitan dengan keberadaan Sunan Gunung Jati di daerah Sumatera Bagian Selatan terutama dengan wilayah Palembang Ulu (Komering Ulu). Ini pula yang kiranya dapat menjadi penyemangat bagi kita untuk lebih intensif menjadikan Komering, dengan aksara dan bahasanya sebagai subjek kajian. Pertanyaan kuncinya, kenapa Aksara Ka Ga Nga yang justru menjadi aksara Jawa Barat, sama dengan Sumatera? Kenapa tidak aksara khas yang ada di Pulau Jawa?

Pesantren, Nurul Huda, Desa Tanjung Kukuh dan Kebangkitan Islam Indonesia

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli (indigeneous) Indonesia. Pesantren merupakan pranata sosial sekaligus lembaga pendidikan nasional yang teruji paling bertahan. Pesantren, akarnya adalah nilai-nilai tradisional warisan peradaban nasional Indonesia yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat Nusantara. Pesantren merupakan pelopor sistem pendidikan agama Islam sekaligus sistem pendidikan nasional di Indonesia. Sebagai sebuah bagian budaya (subkultur) bangsa Indonesia, pesantren didirikan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan zaman sekaligus dengan tetap melestarikan kebaikan nilai-nilai yang menjadi warisan nasional dari masa ke masa.

Dari perjalanan sejarah, dapat dilihat bahwa kekenyalan budaya (tarekat) pondok pesantren menjadi pilar ketahanan nasional paling strategis sesungguhnya. Pesantren dilahirkan atas kesadaran akan kewajiban dakwah islamiyah yang dapat diterima oleh mayoritas pribumi Nusantara ini. Pesantren telah bertugas menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam dengan mencetak kader-kader ulama yang mampu menjadi pendidik dan penyuluh dari dan untuk masyarakat pribumi sekaligus menjadikan kearifan lokal masyarakat Nusantara sebagai pintu masuk dakwah islamiyah. Secara tidak langsung, pesantren justru telah menjadi pelestari kearifan lokal tradisional Nusantara.

Dengan strategi jitunya, pesantren berhasil melakukan pembaharuan (modernisasi) dengan menjadikan tradisi sebagai subyeknya. Kesadaran dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung secara insyaf dan sadar menjadi strategi kultural yang konsisten dikembangkan pesantren sebagai nilai warisan leluhur. Adagium adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah dimana syarak menjadi teorinya dan adat sebagai prakteknya menjadikan Nusantara potensial sebagai teladan kebaikan dan perdamaian dunia. Dari sudut pandang yang seperti Islam yang lalu dikembangkan lewat pesantren-pesantren di bumi Nusantara inilah falsafah negara Pancasila dapat hadir. Sebuah pandangan kenegaraan yang dapat menginspirasi dunia.

Pesantren, menurut Presiden Republik Indonesia IV, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya (Wahid, 2010 : 3). Lebih lanjut, cucu pendiri pesantren di Jombang (sebuah pesantren yang paling tersohor di nusantara) yang sekaligus juga pendiri organisasi massa Islam terbesar di dunia (Nahdlatul Ulama) ini menjelaskan bahwa pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya.

Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa Jawa disebut kiai, di daerah berbahasa Sunda ajengan, dan di daerah berbahasa Madura nun atau bendara, disingkat ra); sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga lebih sering mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri, pengambilalihan dari bahasa Sanskerta dengan perubahan pengertian). Keunikan pesantren inilah, dengan segala pranata sosialnya yang dimiliki memungkinkannya untuk tampil mengusung nilai-nilai peradaban yang universal dan global.

Pesantren Nurul Huda Sukaraja, contohnya. Sebagai sebuah lembaga pendidikan agama Islam yang berada di Desa Sukaraja, Kecamatan Buay Madang, Kabupaten OKU Timur, merupakan sebuah pesantren besar di Sumatera Bagian Selatan. Dengan jumlah peserta yang mengakses pendidikannya (santri) sebanyak 2013 sebagaimana data penelitian Kementerian Agama RI Tahun 2007-2008 yang dirilis dalam situs resminya.

Pesantren ini adalah satu-satunya pesantren di Sumatera Bagian Selatan yang konsisten mengelola pendidikan diniyah salafiyah khas pesantren (kitab kuning) dengan lulusan yang mampu diterima di kelas tinggi di Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur (Pesantren yang kini diakui otoritatif di Nusantara terkait kegiatan tafaqquh fiddiin), sekaligus juga mempunyai unit pendidikan tinggi yang umum sifatnya yaitu Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) yang salah satu Program Studinya adalah Pendidikan Bahasa Indonesia. Padahal, pesantren ini berada di tengah desa. 5 jam dari Palembang dan 5 jam pula dari Bandar Lampung.

Sebagai pesantren besar di Sumbagsel, dengan sumberdaya yang dimilikinya, pesantren ini berada di Kawasan Pesisir Sungai Komering. Selain bertanggung jawab terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pribumi, pada pundak pesanren ini sesungguhnya terdapat tanggung jawab untuk melestarikan sekaligus mengembangkan warisan keluhuran peradaban Sriwijaya.

Minimal dengan keterlibatannya dalam aktivitas langsung pelestarian bahasa, sastra dan adat budaya Komering. Seperti halnya Aksara Kaganga atau Aksara Ulu yang sejatinya juga merupakan aksara yang dipakai oleh masyarakat di daerah-daerah dalam kawasan Sumatera Bagian Selatan. Karena masih terlalu banyak data dan fakta sejarah yang belum terungkap yang menurut penulis jika dapat digali dan disusun akan sangat berpengaruh bagi terjadinya era Kebangkitan Islam Indonesia (Nahdlatul Islam Indonesia) nanti. Dimana Indonesia lewat peradaban umat Islamnya yang berbudaya universal dan kosmopolitan sebagai warisan keluhuran peradaban masa lalunya akan menjadi sosok bangsa teladan dunia.

Kehadiran pesantren, seperti Pesantren Nurul Huda Sukaraja ini, dalam aktivitas penggalian sejarah di lokalnya, sesungguhnya tidak hanya akan berbicara tentang Islam Nusantara atau Nusantara Sriwijaya semata. Tetapi lebih dari itu, sejatinya upaya seperti ini adalah upaya untuk bagaimana bangsa kita tercinta ini, Indonesia, semakin memiliki daya tahan (integritas) sebagai bangsa yang besar. Ketahan nasional yang lebih dari sekedar proyek menangkal ideologi luar dan terorisme, tetapi justru upaya sederhana melestarikan kearifan lokal yang justru dapat secara amat signifikan membangun peradaban global.

Dalam konteks itulah kiranya Pesantren Nurul Huda Sukaraja, melalui Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia lewat Pusat Kajian Komeringnya dapat melihat dan bekerjasama dengan Desa Tanjung Kukuh. Dimana pola integrasi adat Komering dan agama Islamnya dapat menjadi subyek kajian dan penelitian terutama tentang Komering Ulu sebagai salah satu situs yang terkait dengan Islam, Nusantara, Melayu dan Sriwijaya. Pertama, secara lebih jauh untuk melacak kata kunci apa yang sebenarnya terjadi di Abad ke-7 Masehi dalam menyingkap relasi Komering Ulu dengan Islam, Melayu dan Sriwijaya. Kedua, Abad ke-13 dapat menjadi pembuka untuk kajian relasi luhur itu dengan memakai subyek seperti istilah “Kiai”, identitas Melayu di Sumatera Bagian Selatan (Sriwijaya), Kesulatanan Demak Bintara, Palembang Darussalam, Kitab Simbur Cahaya dan keberadaan tokoh sentral Junjungan Sayyid Hamim Ukasyah Sulthan Negeri Pasai di “Palembang Ulu”.

Selanjutnya, bahwa Desa Tanjung Kukuh, Kecamatan Semendawai Barat, Kabupaten Ogan dan Komering Ulu (OKU) Timur adalah kawasan wilayah yang cukup memadai untuk keperluan kajian di atas. Tanjung Kukuh adalah kawasan ulayat yang hingga kini lestari kehidupan sosial masyarakatnya dengan pola integral antara Komering dan Islam. Teluk Belango (pakai sarung dengan tetap memakai celana panjang) dalam kegiatan ritual menjadi simbol kulturalnya. Kini telah pula berdiri Pondok Pesantren Junjungan Sayid Hamim Ukasyah Sulthan Negeri Pasai dengan penerapan pembelajaran aksara Komering (Ka Ga Nga) dan aksara Arab Melayu sebagai warisan leluhurnya.

Kemudian pula bahwa secara bahasa, istilah atau kata kiai secara adat (kearifan lokal tradisional Komering seperti di Tanjung Kukuh) berarti kakak laki-laki atau yang tua usianya. Sementara kiai secara agama (sesuai pengertian Bahasa Indonesia modern) berarti yang tahu ilmu agama. Antara kedua hal ini, mana yang lebih lama dipakai? Hal ini, tentulah amat berkaitan sekali dengan pokok bahasan ilmu bahasa dan bisa menjadi kunci utama bagi Pusat Kajian Komering Prodi Pendidikan Bahasa STKIP PPNH Sukaraja untuk memulainya. Bismillaah, wallaahu a’lam bish showab. (dms.harby)

 

Dedy Mardiansyah adalah Ketua Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja