Opini

Kritik terhadap Kebijakan Belajar dari Rumah

Ahad, 5 April 2020 | 08:35 WIB

Kritik terhadap Kebijakan Belajar dari Rumah

Ilustrasi. (Foto: via centrostaff.it)

Oleh Fatkhu Yasik

Kebijakan belajar dari rumah (Learning From Home, LFH) yang digagas pemerintah dalam rangka menangkal penyebaran Coronavirus Desease 2019 (Covid-19) dianggap menimbulkan persoalan bagi sebagian orang tua murid. Bagaimana tidak, hampir seluruh guru menjalankan kebijakan LFH ini dengan mengirimkan tugas kepada siswa untuk memantau proses pembelajaran siswa selama belajar di rumah di bawah bimbingan orang tua masing-masing.
 
Di sinilah letak persoalannya. Banyak orang tua yang merasa keberatan dengan serangkaian tugas yang harus diselesaikan oleh anak-anak mereka. Belum lagi mekanisme penyetoran tugasnya yang juga tidak kalah njlimet alias tidak sederhana.

Tak ayal, fenomena ini pun viral dan menjadi keluh kesah nasional para orang tua. Di saluran Radio Gen FM misalnya, penulis menyimak dengan cermat tidak sedikit orang tua murid menyampaikan kewalahan membimbing anak-anaknya untuk menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan guru mereka. Tidak jarang, mereka juga ditegor oleh guru anak-anak mereka melalui whatsapp karena tugas anaknya tak kunjung dikirim kepada guru di tanggal yang ditentukan.

Sebenarnya, menyikapi hal ini, Ki Hajar Dewantara di tahun 1931 seperti yang tertuang dalam buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka Seri Pendidikan telah memberikan panduan kepada kita semua bagaimana menjalankan proses pendidikan di lingkungan keluarga. Dalam uraiannya, Ki Hajar Dewantara membagi ada dua alam yang menjadi tempat siswa belajar dan dididik, yaitu alam keluarga dan alam sekolah.

Untuk alam keluarga, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa alam keluarga sebagai sebaik-baiknya tempat untuk melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individu) dan sebagai tempat untuk membangun kecakapan hidup bermasyarakat (persediaan hidup kemasyarakatan). Dalam pendidikan budi-pekerti misalnya, seorang anak diberi kesempatan untuk mencoba kekuatan dan kecakapannya dalam mengerjakan beberapa pekerjaan sehari-hari di rumah.

Hal ini berfaedah untuk membangun sifat keberanian, cerdik, giat, tahan, sadar sejuk-hati, tenang fikiran, berperasaan, dan estetika. Sedangkan dalam pendidikan kecakapan bermasyarakat, anak-anak dapat diajarkan sikap hemat, benci pada barang atau perilaku atau keadaan mubazir, memelihara orang sakit, memberi pertolongan kepada orang lain, membersihkan lingkungan yang kotor, berprilaku tertib, membangun lingkungan yang tertib, hidup damai, serta berkarya.

Hal tersebut berbeda dengan pendidikan yang diselenggarakan di alam sekolah, yang semata-mata berfungsi sebagai tempat pendidikan pikiran (kognisi) atau “balai-wiyata” untuk menyiarkan ilmu pengetahuan serta membangun kecerdasan intelektual.

Mengacu pada gagasan di atas, maka jelas sekali perbedaan orientasi keduanya, di mana pendidikan alam keluarga berorientasi pada pembangunan watak dan kemampuan hidup bermasyarakat. Kedua kompetensi ini dapat juga disebut dengan kompetensi afeksi dan psikomotorik dalam Taxonomy Bloom (Anderson, 2001).
 
Sedangkan pendidikan alam sekolah berorientasi pada membangun kecerdasan dan menyiarkan ilmu pengetahuan, atau dikenal dengan kompetensi kognisi (Anderson, 2001). Jadi antara alam keluarga dan alam sekolah ini memiliki fitrah masing-masing yang harus kita jaga dalam proses pendidikan.

Persoalannya, di era pandemi Covid-19 yang mengharuskan proses pendidikan hanya dilangsungkan di alam keluarga, sebagian besar guru menyikapinya dengan memindahkan alam sekolah ke dalam keluarga. Atau dengan ungkapan sederhana, kita dipaksa mengubah keluarga kita (alam keluarga) menjadi sekolahan (alam sekolah) buat anak-anak kita. Secara otomatis maka yang terjadi sekarang, institusi alam keluarga berubah menjadi institusi alam sekolah yang berorientasi untuk membangun kecerdasan intelektual siswa dan menyiarkan ilmu pengetahuan.

Karena kondisi alam keluarga dipaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan fitrahnya, maka dalam tiga minggu terakhir ini banyak keluarga yang mengalami chaos diakibatkan kebijakan LFH ini. Alih-alih menjaga siswa agar tetap belajar, kondisi ini justru memaksa alam keluarga mengabaikan peran fitrahnya, yaitu membangun kecerdasan budi-pekerti dan kecakapan hidup para siswa.

Untuk itu, masih ada waktu bagi kita mengembalikan fitrah alam keluarga sebagai tempat membangun kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individu) dan sebagai tempat untuk membangun kecakapan hidup bermasyarakat bagi anak-anak kita. Guru harus berpikir lebih mendalam dan inovatif tentang bahan ajar yangbagaimana yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan kecerdasan budi-pekerti serta kecakapan hidup para siswa di bawah bimbingan orang tua mereka di rumah.
 
Bukan justru tinggal me-remote kegiatan belajar mengajar sekolah melalui orang tua murid seperti yang terjadi dalam kurun tiga minggu terakhir. Kemampuan guru mengambil keputusan dalam menetapkan kurikulum, penggunaan metode, dan penetapan sistem penilaian dalam pendidikan sebagaimana yang dimaksud merupakan salah satu dari kemampuan Abad 21 yang harus dimiliki oleh guru (Robert E. Slavin, 2012).

Sampai di sini saya meyakini, berikutnya, guru tidak perlu lagi menggunakan materi pelajaran yang selama ini digunakan di (alam) sekolah untuk dipelajari oleh para siswa di rumah (alam keluarga), karena materi pelajarannya tidak sesuai dengan alam keluarga.
 
Mengenai kekhawatiran sebagian kalangan tentang kemampuan anak-anak kita yang akan tertinggal dibanding bangsa lain, tidak usah terlalu dirisaukan. Toh selama ini mereka belajar di sekolah tapi peringkat PISA (Program for International Student Assessment) kita tetap di ranking bawah. Siapa tahu dengan mengikuti Ki Hajar Dewantara ini peringkat PISA kita empat tahun ke depan naik. Wallahu a’lam…
 
 
Penulis adalah Dosen Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Unusia Jakarta, Wakil Sekretaris LP Ma’arif PBNU