Opini

Konflik PKB dan Kegagalan NU

NU Online  ·  Ahad, 4 Mei 2008 | 23:00 WIB

Oleh Irfan Tamwifi

Konflik politik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akhir-akhir ini tidak semata merepresentasikan konflik kepentingan politik di tubuh partai politik yang secara resmi diklaim berbasis massa Nahdlatul Ulama (NU) ini. Konflik tersebut sekaligus mengindikasikan kegagalan NU sebagai organisasi sosial keagamaan. NU tidak hanya menjadi korban, ataupun dikorbankan, demi ambisi politik tokoh-tokohnya sendiri.

Sebagaimana kekhawatiran sebagian tokoh NU sejak awal, keberadaan partai politik berbasis NU bukannya menjadi pendorong dinamika peran NU sebagai organisasi yang berkonsentrasi pada kegiatan sosial dan keagamaan, apalagi sebagai wahana meningkatkan prakarsanya untuk menyejahterakan umat Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), melainkan sebaliknya.<>

Konflik di tubuh PKB akhir-akhir ini benar-benar menjadi evidensi empirik bahwa dengan PKB-nya yang gemuk, nasib NU hanya mampu menjadi alat politik bagi segelintir orang yang sebenarnya sama sekali sudah kehilangan ghirah (semangat) ke-NU-annya. Siapa pun yang berebut kursi pimpinan atau pengurus NU, pantas diragukan bahwa mereka memang peduli dengan nasib NU dan jamaahnya. Mereka bahkan lebih pantas dicurigai sebagai segelintir oportunis yang memimpikan jabatan politik dengan memanfaatkan status syuriyah, tanfidziyah atau bahkan sekedar segelintir orang yang berusaha melegitimasi statusnya sebagai tokoh NU.

Sebagai bukti, suara politik internal NU tidak pernah solid, bukan hanya internal kepengurusan partai politik (PKB), melainkan juga internal NU sendiri. Pencalonan gubernur dan bupati di berbagai daerah, terutama yang berbasis NU memperlihatkan bahwa mereka yang dikenal sebagai tokoh-tokoh NU sebenarnya sama sekali bukan orang yang peduli pada NU, bahkan PKB sendiri. Mereka lebih merepresentasikan dirinya sebagai tokoh-tokoh yang sangat potensial memanfaatkan atau memang sengaja menyediakan diri untuk dimanfaatkan siapa pun demi sebuah jabatan politik.

Argumentasi akademik sebagaimana selama ini diyakini bahwa "oportunisme" semacam itu merupakan strategi agar NU tidak terjebak pada satu pilihan politik yang kemungkinan merugikan NU sendiri batal (terfalsifikasi) oleh kenyataan bahwa "oportunisme" sebagaimana mengemuka akhir-akhir ini memang benar-benar oportunisme yang 100 persen oportunistik.  Kalau tesis tentang NU yang diangkat berdasarkan pernyataan KH Achmad Shiddiq yang menyatakan bahwa "NU ada di mana mana tetapi tidak ke mana-mana" secara akademik dapat dibenarkan, maka kebenaran tersebut hanya berlaku bagi kiprah politisi NU pada era Orde Baru", tapi dan jelas bukan saat sekarang.

Hal ini tampaknya tidak lepas dari pergeseran budaya politik nasional yang tidak diikuti budaya organisasi NU. Atmosfir politik sudah sama sekali berubah dari sebelumnya, NU tidak lagi dihadapkan pada konflik ideologis dan politik dengan penguasa. NU bahkan memperoleh kesempatan untuk mengakses kekuasaan jauh lebih luas dibanding sebelumnya. Oportunisme politik yang pada masa sebelumnya dapat diklaim atau memang benar-benar bermakna strategis dipertahankan, bahkan berkembang menjadi oportunisme yang sungguh oportunistik.

Bila memang ditujukan demi kemaslahatan NU, kekalahan demi kekalahan calon kepala daerah yang didukung PKB di daerah-daerah pemilihan berbasis PKB pada dasarnya juga merepresentasikan rona terburuk dari wajah oportunistik yang dimainkan politisi NU. Kekalahan calon-calon kepala daerah dari kalangan NU di daerah pemilihan berbasis NU bukan karena NU tidak memiliki calon-calon kepala daerah yang memiliki kapabilitas dan dukungan rakyat, melainkan karena mereka yang ada di tubuh PKB sendiri pada dasarnya tidak peduli calon yang diusung menang atau tidak.

Bukan rahasia lagi, pencalonan kepala daerah sangat lekat dengan politik pat gulipat, demi keuntungan segelintir orang dalam internal partai. Karena itu, tidak mengherankan bila calon yang diusung sering kali bukan benar-benar "orang NU" dan bahkan bukan dari PKB, melainkan siapa pun yang dapat "mengakses" dukungan pada pengurus dengan segala "biaya" yang harus dibayar.

Selain bagi tokoh NU dan atau PKB, tidak ada satu pun di antara oportunisme tersebut yang dapat menunjukkan nilai strategis atau mashlahah bagi NU, apalagi umatnya. Oportunisme yang berkembang bahkan telah meracuni NU sendiri. Sejak NU memiliki kendaraan politik PKB, secara signifikan tidak ada peningkatan kualitas khidmatnya pada umat, bahkan pada NU sendiri. Setelah hampir satu dasawarsa NU melalui PKB-nya dapat mencetak banyak pejabat dan orang kaya baru (OKB), lembaga pendidikan dan sosial NU tetap merana seperti masa-masa sebelumnya. Selain konsolidasi politik, kagiatan jam'iyah-jam'iyah diniyah yang sebelumnya menjadi simbol dinamika NU di daerah juga semakin merosot, bahkan banyak daerah yang belum memiliki kantor NU yang representatif.

Budaya ketergantungan pada tokoh-tokoh agama (ulama, kiai) sebagaimana berlaku di masa lalu tampaknya sudah benar-benar usai. Tidak ada satu pun tokoh NU yang benar-benar dapat dijadikan panutan, bahkan sekedar simbul kesatuan umatnya. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sendiri yang sebelumnya sempat menjadi tokoh fenomenal yang dibanggakan kaum Nahdliyin tampaknya sudah menjadi bagian dari kaum neo-oportunis NU. Gus Dur tidak lagi menampakkan kapasitasnya sebagai pengayom dan panutan bagi semua, karena dia sendiri telah menjadi bagian dari konflik politik PKB dan internal NU. Gus Dur saat ini adalah bagian dari berbagai masalah mendasar NU yang perlu segera "diselesaikan".

Setelah berwajah dua, jam'iyah keagamaan dan parpol, NU sebenarnya hanya menjadi bagian dari politik (PKB) itu sendiri. Setelah tahlilan, pengajian, istighostah dan sema'an yang semakin sepi, kelihatannya NU tinggal kopyah dan surban saja. Bahkan, dua yang terakhir sudah banyak ditanggalkan tokoh-tokohnya.

Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur