Opini

Kiai Mas Mansur dan Nasionalisme Kiai-kiai Pesantren

Sel, 16 Agustus 2016 | 23:00 WIB

Kiai Mas Mansur dan Nasionalisme Kiai-kiai Pesantren

Ilustrasi: Film "Sang Kiai"

Oleh Wasid Mansyur

Ketika penulis diberi kesempatan wawancara dengan salah satu cucu Kiai Mas Mansyur Ndresmo, yakni Ibu nyai Fatimah Zahra binti Kiai Mas Muhajir ibn Kiai Mas Mansur, terdapat cerita yang cukup menarik kaitannya dengan rasa kebangsaan (baca; nasionalisme) kiai-kiai pesantren, khususnya kiai-kiai Ndresmo Surabaya. Bagaimanapun, kiai dan santri-santri Ndresmo dikenal dalam beberapa cerita rakyat kaitan keterlibatan mereka dalam mengusir penjajah di kota Surabaya, khususnya dalam merebut kemerdekaan, meskipun sedikit sekali coretan sejarah yang menulisnya.

Keterlibatan kiai-kiai Ndresmo dalam merebut kemerdekaan telah dikenal di lingkungan santri-santri Ndresmo. Bahkan, penulis melakukan lacakan tentang hal ini, menyimpulkan bahwa dari sekian kiai-kiai tersebut adalah Kiai Mas Mansur Ndresmo. Untuk itu, tulisan ini akan lebih fokus pada sosok Kiai Mas Mansur kaitan keterlibatannya dalam merebut kemerdekaan, serta keberadaannya sebagai pemicu bagi gerakan kiai-santri untuk melawan penjajah di kota Surabaya.

Kilasan sejarah menyebutkan; setelah Belanda takluk ditangan tentara Jepang, maka terjadi proses peralihan kekuasaan terhadap bumi Nusantara. Di mana, Jepang telah melanjutkan proses menjajah dan menjarah, sekalipun pada awalnya menggunakan pola-pola yang tidak keras sebagaimana dilakukan oleh tentara Belanda. Pendekatan kooperatif ini sengaja dilakukan untuk mencari simpati masyarakat Nusantara.

Namun, dalam perkembangannya, pendekatan ini dianggap kurang memberikan keuntungan kepada Jepang hingga akhirnya Jepang pada tahun 1942 melakukan proses ideologisasi terhadap penduduk lokal. Salah satu bentuknya adalah penerapan tradisi Seikerei, yakni tradisi memberikan penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan pada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami) tepatnya setiap pukul 07.00 dengan membungkukkan badan. 

Penerapan tradisi ini memantik pembangkangan dari para kiai-santri di seluruh Nusantara. Salah satu bentuk pembangkangan itu dilakukan oleh Kiai Hasyim Asy’ari Jombang dan Kiai Mas Mansur Ndresmo Surabaya. Penyebutan kedua tokoh ini penting dalam konteks tulisan ini setidaknya keduanya sama-sama tokoh pesantren di satu sisi dan keduanya juga akhirnya di penjara oleh tentara Jepang di Kalisosok Surabaya dalam satu sel di sisi yang berbeda.

Siksaan demi siksaan diterima oleh para pembangkang, termasuk dialami oleh Kiai Mas Mansur. Konon siksaan dilakukan oleh tentara Jepang kepada Kiai Mas Mansur dengan tidak memberikan makan selama enam bulan di sel penjara. Ini dilakukan sebagai bentuk komitmen Kiai Mas Mansur kepada bangsa (baca: Nasionalis). Dirinya meyakini bahwa tunduk kepada penjajah dengan mengikuti tradisi Seikerei berarti meng-iyakan terhadap kehadiran penjajah Jepang di negeri ini, apalagi dalam perspektif aqidah Islam ketertundukan kepada selain Allah SWT adalah dosa besar, untuk tidak mengatakan kufur.

Banyak tokoh-tokoh pesantren yang mencoba merayu agar Kiai Mas Mansur sedikit bersikap lunak, termasuk kiai-kiai se-Ndresmo Surabaya. Tapi, itulah tekad Kiai Mas Mansur, sekalipun ada riwayat yang menyebutkan bahwa Kiai Mas Mansur selama di penjara oleh tentang Jepang, tapi dirinya tetap mengisi rutinitas pengajian kitab kuning bersama para santri di pesantren yang dia asuhnya, yang sekarang dikenal dengan sebutan pondok pesantren Annajiyah. 

Bahkan, Kiai Hasyim Asy’ari, teman satu sel dengan Kiai Mas Mansur, ketika dijemput oleh putranya Kiai Wahid Hasyim untuk pulang berkat lobi-lobi seluruh kiai pesantren se-Jawa dan Madura, sempat terjadi dialog. Inti dialog itu adalah agar Kiai Mas Mansur bersikap lunak dengan tentara Jepang dengan dialog imajiner kurang lebih sebagaimana berikut:

Kiai Hasyim: 
Kang Mas, saya berharap “sampean” bersikap lunak kepada tentara Jepang dengan mengikuti tradisi Seikerei. 
Hal ini penting demi keselamatan jiwa kang Mas, apalagi ada ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa kita diperbolehkan mengikuti prilaku kufur –selama hati masih beriman-- yang dipaksakan dan mengancam jiwa kita sebagaimana disebutkan dalam surat al-Nahl [27); 106.

Kiai Mas Mansur:
Kang Hasyim, ini sudah pilihan saya. Kematian sampun ada garisnya masing-masing. “Panjenengan” lebih baik keluar penjara dalam rangka meneruskan pesantren yang telah dirintis, sekaligus meneruskan perlawanan terhadap penjajahan Jepang dengan menggalang kekuatan rakyat dan santri yang lebih besar. Biar aku di penjara saja, apalagi di pesantren Ndresmo telah aku persiapkan generasi yang sudah siap meneruskan kepengasuhan.

Keteguhan Kiai Mas Mansur terus tidak berubah dan tidak menyerah kepada tentara Jepang, sembari ia tetap istiqamah menggelorakan anti penjajah kepada mereka yang menjenguknya. Inilah yang menjadi sebab pihak Jepang mengambil jalan pintas untuk membunuh Kiai Mas Mansur, demi stabilitas dan kepentingan Jepang. Dengan begitu, akhirnya Kiai Mas Mansur benar-benar dibunuh di penjara oleh tentara Jepang dan dimakamkan di makam para sesepuh pesantren Ndresmo Surabaya. 
      
Belajar dari Kiai

Dari kisah kiai-kiai pesantren, terkhusus dari Kiai Mas Mansur, setidaknya ada dua pelajaran penting bagi generasi muda dalam menapaki jalan dalam membumikan visi beragama dan berbangsa di masa-masa yang akan datang. pertama, visi kebangsaan para kiai-kiai pesantren. Kecintaan kepada bangsa adalah bagian dari perintah agama. Logika berpikir ini bermula bahwa segala bentuk penjajahan mengakitkan munculnya kemudharatan bagi masyarakat luas, termasuk tidak bebasnya seseorang untuk melaksanakan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya.

Untuk itu, dengan cinta kepada bangsa (hubbl al-wathan) sejatinya kita berusaha untuk menyingkirkan segala bentuk kedhalimanan yang berujung pada lahirnya kemudharatan kepada masyarakat. Memerangi kedhaliman adalah perintah agama (iyyakuum wa al-dhulm, fainnahu dhulumatun yawm al-qiyamat), sekalipun tidak harus menggunakan Islam sebagai ideologi dalam bernegara sebagaimana menjadi impian sebagian kelompok tertentu. 

Kedua, visi kesalehan beragama para kiai pesantren. Bagi kalangan pesantren, praktik-praktik keagamaan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan yang dipraktikkan itu tidak saja dalam koteks praktis, tapi juga teoritis keilmuan. 
Artinya, para kiai pesantren memiliki keteguhan total dalam beribadah baik secara vertikal (ketuhanan) maupun horizontal (kemanusiaan). Tapi, sikap tawadhu’nya dengan merasa belum sempurna mengantarkan mereka terus menggali ilmu-ilmu keislaman sepanjang hayat, baik dibaca sendiri maupun dibacakan di hadapan santri atau terus belajar kitab kuning kepada ulama yang dipandang memiliki integritas kealiman. 

Akhirnya, kiai-kiai pesantren -yang telah mendahului kita dan terlibat langsung dalam proses menuju kemerdekan- harus menjadi cermin bagi kita semua, yang hanya menikmati damainya Indonesia saat ini. Tidak ada tujuan yang diinginkan, kecuali semoga kelak kita disertakan bersama mereka dihari kemudian, mengutip pesan keabadian Imam Shafi’i. Semoga.

Penulis adalah akademisi Pusat Ma’had al-Jami’ah UIN Surabaya, Anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan