"Akeh ndandang diuneake kuntul"
Perjuangan dalam Pilpres kemarin bukan antara menang-kalah, tapi antara kebenaran (menyangkut ideologi) dan kaderisasi sebagai sebuah bentuk amanat guna memprotek kebesaran dan kebanggaan setiap organisasi apapun.
Bukankah agama juga membutuhkan proteksi? Imam Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthoniyah menyatakan: Addinu ussun was sulthonu haarisun. Wama la ussa lahu famahduumun wama la haarisa lahu fa dloo’iun. NU (Nahdliyyin) akan mengalami “dloo’i-un (sia-sia, menjadi obyek, ambeng kepentingan yang bisa merusak visi-misi NU mengarah kepola hidup serba “pragmatisme”) manakala struktural dan kulturalnya tidak memberi bimbingan dan arahan.<>
Atas dasar inilah dalam “Musyawarah Kerja NU Jatim" pada 2-3 Juni 2009 di Surabaya”, Komisi Khittah memutuskan "Penerapan Khittah NU" bidang politik dalam butir 2 Isinya: "Dalam mencapai tujuan, jam'iyah Nahdlatul Ulama berkewajiban memberikan petunjuk dan arahan kepada warganya dalam segala bidang kehidupan, baik akidah, syariah, akhlak, dan politik."
PKB (khususnya) yang selalu gembar-gembor sebagai partainya Nahdliyyin dan selalu merapat bila merasa kepepet, setelah menemukan (harapan) gelayutan kekuatan orang lain, dia berakrobat dengan menyerahkan penuh miliknya mulai dari kepala sampai kaki, siap menjadi kaki-tangan orang lain untuk menampar induknya sendiri, dia sudah menjadi bagian orang lain, rela melepas kebesarannya menjadi bagian kecil orang lain, perjuangannya begitu jauh dari sebuah “ideologi dan idealisme”. Masih layakkah mengaku sebagai partai Nahdliyyin?.
Sikap pimpinan NU dalam Pilpres kemarin tidak salah dan tidak menabrak rambu-rambu Khitthah 84 yang ditudingkan itu. JK adalah sosok dari putra pendiri NU Sul-sel dan masih sebagai Musytasyar PWNU Sul-sel, memang dalam dirinya mengalir darah Muhammadiyah, kita tahu Muhammadiyah sulsel atau darah Muhammadiyah yang mengalir ditubuhnya adalah darah yang amaliyahnya sama dengan NU.
Dia memang kader NU dalam Pilpres kali ini. NU harus mengamankan kadernya dalam percaturan strategis bila telah memenuhi persyaratan konstitusi. Sikap ini (pasti) akan dilakukan oleh organisasi manapun yang faham dan ingin besar atau mempertahankan kebesarannya dari pesona organisasi lain. Tengaranya, ada sebuah ketakutan bila JK yang terpilih sebagai RI.1, tentu semuanya mafhum.
Berdailh dengan Khittah
Di saat pencalonan Gus Dur (GD) menuju RI.1 saat itu GD masih sah sebagai Ketum PBNU – cat: Ketua Umum Nahdlatul Ulama 1984-1999). Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001) sampai lengser, para petinggi NU (struktural – kultural ) tiada satupun yang menuding sebagai pelanggaran khitthah. Bahkan euforia terlihat dimana-mana,muncul benalu-benalu yang membanggakan diri sebagai warga NU atau tetangga NU. Cabang-cabang NU pun sering digunakan “nyengkuyung” kedudukan GD terlebih menghadapi upaya pelengseran. Pelanggaran Khitthahkah ini? Semuanya diam. Pengamat ikutan diam.
Memang Politik yang dikembangkan NU adalah politik “kebangsaan & kerakyatan”. Namun, jangan dianggap terlepas dari nilai-nilai visi-misi dakwah dan amar-ma’ruf nahi Munkar-nya. Dimanapun terdapat nilai-nilai dakwah, amar-ma’ruf nahi munkar disitulah NU berkiprah.
Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah dilatarbelakangi oleh dua faktor dominan. Pertama, munculnya kekhawatiran terhadap fenomena gerakan Islam modernis yang bertendensi mengikis identitas kultural dan paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang telah hidup dan dipertahankan selama ratusan tahun.
Kedua, sebagai respons terhadap pertarungan ideologis yang terjadi di dunia Islam pasca penghapusan kekhalifahan Turki Utsmani, munculnya gerakan Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin AlAfghani dan gerakan Wahabi di Hijaz.
Gerakan kaum “reformis” yang mengusung isu-isu pembaruan dan purifikasi menggugah kesadaran ulama-ulama berbasis pesantren melakukan konsolidasi untuk melindungi dan memelihara nilai-nilai tradisional yang telah menjadi karakteristik kehidupan mereka. Konsolidasi para ulama tersebut semakin kental dan nyata terlihat mulai dengan terbentuknya organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar, dan puncaknya adalah munculnya Komite Hijaz. Kemudian pada tanggal 31 Januari 1926 M (16 Rajab 1344 H.) mereka memutuskan untuk membentuk organisasi kemasyarakatan Islam “ala Ahlus Sunnah wal Jama’ah” yang diberi nama “Nahdlotoel Oelama”.
Pada awal sejarahnya, keberadaan organisasi NU berorientasi pada upaya melestarikan dan membentengi tradisi dan paham keagamaan Aswaja yang sudah menjadi corak Islam Indonesia. Dalam konteks ini, NU tidak saja berhadapan dengan gerakan kelompok Islam modernis, tetapi juga terlibat aktif dalam gerakan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda dengan alasan yang sama, yakni mempertahankan keberadaan “Islam Indonesia”.
Pada perkembangan berikutnya, alasan-alasan diatas juga mendorong NU terlibat dalam politik, khususnya menjelang dan pasca kemerdekaan, yakni dengan bergabung ke partai Masyumi, kemudian menjadi partai politik tersendiri sejak tahun 1952 sampai difusikan ke PPP tahun 1973. Melalui kiprahnya di politik tersebut, NU tidak hanya terlibat dalam perebutan politik dan kekuasaan, tetapi juga pertarungan ideologi khususnya tentang hal: mau ke arah mana bangsa ini berjalan.
Hal yang perlu dicatat, bahwa perjuangan politik NU tidak semata berpijak pada perebutan kekuasaan, tetapi lebih kuat dipengaruhi oleh pola pikir (kaidah-kaidah) fiqhiyah selain Qur’an dan Sunnah misalnya “Tashorruful imam ‘alar roiyyah manutun bil-maslahah”, ”la yasluhun nasu faudlo la-surota lahum”, ”Tandzimus syamlah wajtima’ul kalimah” sebagai landasan politik. Dalam konteks inilah, misalnya, sikap NU memberikan legitimasi kekuasaan kepada Presiden Soekarno sebagai "waliyul amri adh-dharuri bisy syaukah" dapat dipahami, yakni dalam konteks “tauliyah” (legitimasi pemerintah) terhadap pelaksanaan ajaran Islam di masyarakat.
Khittah NU 1926 yang digulirkan lagi dalam Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo itu selama ini memang menjadi ganjalan buat para kiai yang ingin terjun membenahi dunia perpolitikan yang sudah sangat sarat dengan kepentingan sesaat dan sudah tidak mengindahkan prinsip moralitas dan idealisme, bahkan idiom agama digunakan untuk sebuah kepentingan meraih target kekuasaan. Tidak sedikit para kiai yang canggung atau mungkin setengah hati menggeluti dunia politik karena adanya kekhawatiran dengan keterlibatan secara intens di dunia politik, berarti telah melanggar Khittah NU.
Padahal jika kita menggunakan pendekatan kesejarahan, atau latar sosio-historis munculnya "teks Khittah NU" pada tahun 1984 itu, kita akan segera tahu sesungguhnya teks Khittah NU itu bukan bermakna lari dari politik tetapi sebetulnya sejenis "siasat politik kiai untuk mendapatkan akses kekuasaan (kembali)".
Sebuah Kompromi Politik
Bahwa kiai yang hanya mengambil peran kultural sebagai konsekuensi logis dari Khittah 1984 di Situbondo perlu dikaji ulang adanya. Khittah NU, adalah bukan berarti NU harus lari dari politik atau apriori terhadap kekuasaan melainkan sebuah "kompromi politik" untuk meraih kembali akses kekuasaan yang pernah terbangun penuh wibawa di Orde Lama.
Sikap kompromi itu ditunjukkan dengan adanya salah satu butir Khittah yang menerima “Asas tunggal Pancasila”. Namun upaya kompromistik NU pada waktu itu ternyata tidak mampu mengubah image pemerintah Orde Baru atas NU sehingga tetap saja organisasi ini dimarjinalkan dari arena kontestasi politik
Upaya Mem-bonsai NU
Apabila agama hanya ditempatkan di hati dan tidak bersangkut paut dengan urusan hidup, ini adalah batil dan tidak sinkron dengan Islam, terlebih jika ada pendapat bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah luhur dan suci. Karena itu, tidak boleh mencampuradukkan agama dengan politik.
Pernyataan tersebut, merupakan statemen sekular yang terselubung kita menjadi paham dan maklum kenapa belakangan muncul "provokasi politik" (baik dari internal NU sendiri maupun kalangan luar) yang menyerukan agar kiai harus "kembali ke barak" (pesantren, jamaah atau umat), karena memandang dunia politik yang profan dan korup tidak selayaknya diurusi kiai yang selama ini berkecimpung di bidang agama yang sakral. Sebuah pandangan yang, sepintas tampak memuliakan dunia kiai tetapi pada saat yang sama juga bisa bermakna "peminggiran" atau "pemangkasan" peran politik kiai. Apalagi opini “Kiai sudah ditinggal umatnya, Kiai tidak laku” dan lain sebagainya tanpa menalar secara dalam bahwa permainan ini (pemilu-pilkada-pilpres) sudah menjadi ajang permainana rekayasa dan opini jauh-jauh hari.
Kiai-kiai yang tugasnya “andum barokah” yang sangat dibutuhkan umat pada saat-saat seperti ini sementara masih kalah “pesona” dimata umat dari pada “dum-duman BLT, sertivikasi guru, raskin” dan lain sebaginya yang hanya sesaat.
Akhirnya, yang mestinya diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya kiai masuk kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya kiai jika ikut berkompetisi di dunia politik kekuasaan yang profan dan korup itu. Di sinilah diperlukan pra-syarat berupa kompetensi personal, yakni integritas moral dan kemampuan untuk memahami politik dengan baik.
Jika para kiai memiliki kapabilitas untuk "mengelola politik," mengapa mereka tidak diberi kesempatan untuk ikut bertarung di panggung politik? Hal itu tidak akan mengurangi makna dan semangat Khittah NU. Waallahu a’lam bis shawab.
Penulis adalah Rais Syuriyah PWNU Jatim, Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah Kedung Tarukan Surabaya
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua