Oleh Fathoni Ahmad
Pernah mendengar di suatu daerah hampir tak ada daging kurban sedangkan di daerah lain sangat melimpah? Atau kalau pun ada, jumlahnya tidak seberapa. Hal ini berbanding terbalik dengan di kondisi di kota. Bahkan, masjid-masjid bisa menyalurkan ribuan kantong plastik daging kurban. Di Masjid Istiqlal Jakarta misalnya, tahun 2016 mencapai 6.000 kantong plastik daging kurban dan tahun 2017 mencapai 4.000 kantong daging kurban. Jumlah ini belum ditambah dengan hewan kurban di masjid lainnya yang ada di Jakarta.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menyampaikan beberapa ironi ibadah kurban secara demografi yang selama bertahun-tahun mengalami ketimpangan. Maksud ketimpangan di sini ialah, satu daerah sangat melimpah daging kurban sebagai akibat banyaknya hewan kurban dari orang-orang menengah ke atas yang memang jumlahnya tidak sedikit. Sebaliknya, di suatu desa di satu kabupaten banyak ditemukan masyarakat yang tidak dapat menikmati berkah Idul Adha dengan menerima daging kurban.
Jika dibandingkan, satu rukun warga (RW) di Jakarta dalam sebuah musholla dapat terkumpul hewan kurban melimpah ruah berupa belasan sapi dan kambing. Sebaliknya, satu RW di sebuah desa kerap hanya ditemukan satu ekor hewan kurban saja. Kondisi ini miris, karena ketika masyarakat desa juga membutuhkan keberkahan daging kurban, kuantitas daging kurban di kota justru melimpah sehingga yang terjadi banyak distribusi daging kurban yang tidak tepat sasaran.
Memang terlihat mustahil ketika daging kurban harus didistribusikan ke masyarakat desa dari kota. Namun, para pejabat dan pegawai pemerintah, orang terkenal/artis, serta orang kaya hendaknya dapat memberikan hewan kurbannya ke tempat kelahiran di daerahnya. Selama ini, yang kerap terjadi justru mereka ramai-ramai berkurban di kota bukan di tempat kelahirannya sehingga semangat berkurban menjadi kontraproduktif dengan ruh kepedulian sosial sebab tidak menyentuh dan tepat sasaran.
Apalagi di era perkembangan teknologi seperti saat ini, distribusi ke desa dalam bentuk material hewan kurban tentu tidak akan bisa. Paling mungkin melakukan proses transfer uang kepada panitia pelaksana, keluarga, atau orang yang dipercaya di desa agar dikonversi atau dibelikan hewan kurban. Proses ini mudah dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan dalam hal penerimaan hewan kurban yang hanya terkonsentrasi di kota-kota besar. Apakah perlu kebijakan negara? Tidak perlu, hanya butuh kesadaran dan keteladanan dari para pemimpin bangsa atas realitas sosial masyarakat di akar rumput.
Pertama, tentang penghambaan total Nabi Ibrahim dan keluarganya ketika harus mengorbankan anak tercintanya atas perintah Allah SWT. Sebab itu, ibadah haji dan kurban jangan hanya dimaknai sebagai ritual belaka, tetapi sebuah totalitas penghambaan kepada Allah.
Kedua, tentang kemuliaan manusia. Dalam kisah pengorbanan Ismail oleh Nabi Ibrahim, di satu sisi manusia diingatkan untuk jangan menganggap mahal sesuatu bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, namun di sisi lain kita juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh manusia--sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dulu--adalah hal yang diharamkan.
Ketiga, pelajaran yang bisa kita ambil adalah tentang hakikat pengorbanan. Sedekah daging hewan kurban hanyalah simbol dari makna kurban yang sejatinya sangat luas, meliputi pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya. Hal ini sama seperti ibadah haji yang harus dimaknai sebagai sebuah totalitas pengahambaan manusia kepada Allah, tidak dijalankan sebagai ritual tanpa makna sehingga predikat haji mabrur dapat diperoleh, yaitu keshalehan sosial seseorang meningkat drastis ketika kembali ke tengah masyarakat.
Kurban dalam dimensi vertikal adalah bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah supaya mendapatkan keridhaan-Nya. Sedangkan dalam dimensi sosial, kurban bertujuan untuk menggembirakan kaum fakir pada Hari Raya Adha, sebagaimana pada Hari Raya Fitri mereka digembirakan dengan zakat fitrah. Karena itu, daging kurban hendaklah diberikan kepada mereka yang membutuhkan, boleh menyisakan secukupnya untuk dikonsumsi keluarga yang berkurban, dengan tetap mengutamakan kaum fakir dan miskin.
Allah berfirman dalam Qur’an Surat Al-Hajj [22]:28, “Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir”. Dengan demikian kurban merupakan salah satu ibadah yang dapat menjalin hubungan vertikal (Allah) horisontal (manusia). Hubungan horisontal ini dalam prinsip kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) harus memenuhi unsur tawazun (seimbang). Dalam konteks ini, artinya merata sehingga distribusi hewan kurban bisa mewujudkan maslahah al-‘ammah (kemaslahatan umum). Wallahu’alam bisshowab.
Penulis adalah warga NU kelahiran Brebes, Jawa Tengah