Opini

Ketika Santri Membentuk Kisahnya Sendiri

NU Online  ·  Senin, 22 Oktober 2018 | 06:30 WIB

Ketika Santri Membentuk Kisahnya Sendiri

Ilustrasi. Salah satu adengan dalam film 'Sang Kiai'

Oleh Dinno Munfaidzin Imamah


Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, pondok pesantren 
menjadi markas-markas Hizbullah-Sabilillah. 
Pengajian kitab-kitab telah berganti 
menjadi pengajian tentang caranya 
menggunakan karaben, mortir dan cara bertempur 
dalam medan-medan pertempuran

---Kiai Saifuddin Zuhri ---
Guruku Orang-Orang Pesantren


Kisah kita berawal ketika gerombolan manusia dari dunia lain menjajah manusia lainnya di Nusantara. Mereka ingin menguasai, memenuhi dan menghancurkan penggalan surga di bumi. Sebelum itu terjadi, para kiai dan santri bangkit bersaksi, berkorban untuk sebuah kemerdekaan negeri, demi rakyat dan ilahi.

Begitulah yang terjadi pada sejarah bangsa Indonesia. Kisah fatwa Resolusi Jihad 45 yang digerakkan oleh para kiai dan santri untuk membela sekaligus mempertahankan kemerdekaan. Ya, tentang Resolusi Jihad 45! Bagaimanakah kita membayangkan rakyat Indonesia di Surabaya, 73 tahun yang lalu, ketika mereka menghadang maut, dengan ketulusan tanpa pamrih, membela tanah airnya, hubbul wathon minal-Iman. Sebuah negeri akan dimakmurkan dengan kecintaannya pada tanah air, Umiratil buldan bihubbil awthan, begitulah dawuh suami tercinta Sayyidah Fatimah Az Zahra.

Ketika Mayor Jenderal R.C Mansergh, Panglima Tentara Darat Sekutu mengancam, mengultimatum bangsa Indonesia serta pemimpinnya untuk menyerah bersama seluruh persenjataannya. Terjadilah pertempuran dahsyat, tawuran massal di kota arek-arek Suroboyo itu melakukan perlawanan sebagai reaksi atas ancaman gerombolan Inggris yang menghina bangsa dan kemerdekaan Indonesia. Tak kurang 200.000 lebih ‘gladiator-gladiator bangsa’ kita meninggal dan syahid. Merdeka atau mati, begitulah semboyannya. Sebuah pengorbanan tanpa pamrih, membela martabat, harga diri, dan kemerdekaan.

Lihat saja, betapa pasukan gabungan Inggris yang baru saja memenangkan Perang Dunia II mengalahkan geng militer Roberto (Roma, Berlin, Tokyo), NAZI Hitler, dengan keahlian, pengalaman perang, bertempur dan kelengkapan senjata, menjadi kewalahan menghadapi perlawanan bangsa Indonesia. Kota Surabaya, bagi pasukan NICA adalah neraka tergelap dalam hidupnya. Sekali dan selamanya, kami takkan pernah lagi menginjakan kaki di bumi para Wali, demikianlah isi laporan dari dinas intelijennya, membawa kisah pilu pulangnya dengan seribu bara api di benaknya. 

Sejak saat itu hingga kini, kaum santri dan kiai setia bersumpah memperingati kepahlawanan, patriotisme ini dan berusaha mengambil hikmah dan teladan dari sebuah pengorbanan.  Tindakan besar dan pikiran selevel raksasa dalam hidup mereka, mempertahankan kemerdekaan, membuat Indonesia “ada”. 

Perubahan besar apakah yang dilakukan santri? Hadratussyakh Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim dan pendiri bangsa ini. Gerangan percikan cahaya langit apakah yang mengubah santri yang katanya “moderat dan kompromistis” menjadi gerakan revolusioner-radikal yang menjebol tembok besar imperialisme. Sebagaimana kata sejarawan Thomas Carlyle, ”And I said the great man always act like a thunder. He stormed the sky, while other are waiting to be stormed.”

Deklarasi Resolusi Jihad 1945, yang tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para sejarawan, aparatus ideologis kampus. Adanya Proklamasi Kemerdekaan yang diucapkan Bung Karno dan Bung Hatta merupakan tantangan kepada tentara Sekutu (geng anti-fasisme Hitler) yang saat itu berkuasa setelah Jepang menyerah. Visi geopolitik pendiri bangsa saat itu adalah mengetahui bahwa ada UU Agraria Tahun 1870 yang berlaku untuk masa 75 tahun. Artinya, tahun 1945 akan ada tanah tak bertuan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.  Dengan pengetahuan global ini mereka merancang upaya pergerakan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan saat Perang Pasifik terjadi, mereka berhasil mencuri momentum besar ini. 

Deklarasi Resolusi Jihad 21-22 Oktober 1945 yang merupakan kelanjutan dari hasil pertemuan Bung Karno dengan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Resolusi itu menunjukkan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka dalam sejarah, kata pakar yang meneliti Islam Indonesia. Maka, berkobarlah Pidato Bung Tomo di bumi Surabaya, “….dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!” Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar.

Rakyat bersatu takkan bisa dikalahkan, melawan penjajah NICA (geng pemenang Perang Dunia II) adalah fardu ‘ain, setiap nyawa 200.000 yang wafat dan darah-air mata yang tertumpah hanyalah untuk Indonesia, tanah tumpah darah: sebuah kisah negeri yang teraniaya, terjarah dan terjajah hingga kini. Doa, duka, dan cinta Hadratussyaikh terhadap bangsanya takkan pernah luntur dan surut seujung rambut pun. Walaupun sadar bangsa kita kini masih terjarah dan terjajah oleh metamorfosa kapitalisme. Patriotisme bangsa tetap berkobar hingga kini, melawan apa yang tak abadi.

Kisah nasionalisme santri membangun hidupnya penuh dengan bara api, tertatih-tatih, membentuk kisah dan legendanya sendiri sebagaimana harapan filsuf Socrates, yang sekian lama ditindas oleh rezim sejarah bentukan para intelektual anti-kiai-santri yang ada di desa-desa dan kampung, jauh dari gedung menjulang tinggi di kota-kota besar.  Ucap filsuf Socrates dalam buku berjudul Republic,  sungguh mendebarkan, bagaimana caranya membangun mentalitas para pengawal negara,” ….tugas kita yang utama adalah mengawasi fabel dan legenda serta menolak semua yang tidak memuaskan”. Demi mencetak karakter anak-anak dan putra bangsa,” harus kita perintahkan seluruh ibu dan inang pengasuh agar menceritakan dongeng-dongeng yang telah kita setujui saja…” 

Perjuangan kiai dan santri tidak layak masuk sejarah,  bahkan dalam cerita level anak-anak TK/SD pun tidak ada apalagi kampus, tragis. Propaganda hitam dan kesunyian perjuangan masa lalu harus dikubur bersama waktu hingga berakhirnya dunia.

Monumental history, perjuangan kiai-santri harus dihilangkan dalam peta bumi republik, dan layaknya usaha untuk membunuh nyamuk menghabiskan energi kalau perlu dengan belati. Dalam situasi itu kiai-santri dijadikan target operasi Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto. Kiai- santri yang ikut mendirikan Indonesia, disingkirkan atas nama ideologi.

History doesn’t repeat itself, but it sure does rhyme. Sejarah tak mengulangi dirinya, tapi sungguh ia punya pola yang sama. Karena sesungguhnya, seperti sejarah, justru saat kekuatan lahiriah melemah, tumbuh kekuatan akbar dari kuasa bathiniah kiai-santri yang sekian waktu ditindas oleh struktur kekuasaan.

Kini setiap tanggal 22 Oktober, semua anak negeri bersuka cita, Hari Santri diperingati di segala penjuru negeri, kaum santri bangkit bersaksi di desa-desa dan kota. Diakui negara, mengakui identitas dan perjuangannya. Leluhur kiai-santri dalam sejarah, dalam keabadian, dalam kisah Indonesia. Ada 270.000 ribu basis pesantren, yang harus dikuatkan kembali di era modern ini. Karena pesantren adalah pembentuk negara modern bernama nation state of Indonesia.

Sekecil apapun peristiwa hidup apalagi sejarah kiai-Santri itu wajib ditulis. Siapa yang dapat menulis kisahnya, dia tidak akan lekang dan sirna di makan zaman dan cuaca. Kisahnya akan terus abadi menjadi warisan berharga dan bintang penuntun bagi generasi berikutnya yang mewarnai kehidupan bangsa, anak-cucu-murid dan kader-kadernya. Maka, benar apa yang disampaikan filsuf eksistensialisme Eropa, Soren Kierkegaard, ”Seorang tiran mati dan kekuasaannya berakhir. Ketika sang martir gugur ke bumi, kisahnya baru dimulai.”


Penulis adalah Kader Muda NU