Opini

Kemenag dan Komitmen Meningkatkan Budaya Literasi Santri

NU Online  ·  Selasa, 13 November 2018 | 09:30 WIB

Oleh Rosidi

Perhatian dan komitmen Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan budaya literasi para santri di Nusantara, nampaknya tidak perlu diragukan lagi.

Paling tidak, itu bisa dilihat dari dua event prestisius yang digelar, belum lama ini. Pertama, Muktamar Pemikiran Santri Nusantara (MPSN). Event tersebut digelar di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, 10 - 12 Oktober lalu. Mengusung tema Bersama Santri Damailah Negeri, Muktamar pemikiran santri Nusantara ini dibuka langsung oleh Menteri Agama (Menag) RI, H Lukman Hakim Saifuddin.

Kedua, Penulisan Karya Tulis Ilmiah Mahasantri (PKTIM) 2018, yang diselenggarakan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 31 Oktober-2 November di Bogor. Acara ini dibuka Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar MA.

Dari kedua event tersebut, barangkali masih banyak yang belum memahami, bahwa untuk bisa ikut serta dalam acara itu, membutuhkan perjuangan yang luar biasa berat. Dalam event MPSN, misalnya, peserta call for paper harus bersaing dengan para santri dari penjuru Indonesia, untuk mendapatkan tiket dari Kemenag RI sehingga bisa hadir dalam forum ilmiah tersebut.

Hal sama juga dalam PKTIM. Para mahasantri dan santri Ma'had Aly-juga mesti berjuang agar hasil riset (penelitian)-nya, bisa diberi kesempatan untuk dipaparkan dalam seminar hasil riset mahasantri itu.

Karena itu, keberhasilan para santri menjadi peserta (partisipan), baik dalam MPSN maupun PKTIM, tentu melalui proses dan pergulatan panjang, menenggelamkan diri dalam dunia literasi maupun riset (penelitian).

Apa makna bisa digali di balik penyelenggaraan kedua event itu. Pertama, kesadaran literasi. Kedua event itu, mestinya menumbuhkan kesadaran santri akan pentingnya literasi, sehingga harus ditumbuhkan dan dibudayakan.

Kedua, riset (penelitian) ilmiah. Aktivitas riset ilmiah, juga harus menjadi salah satu hal yang mestinya menjadi tradisi kalangan santri. Para santri harus sadar, bahwa keberadaannya tidak sekadar sebagai sebagai calon penerus para ulama, melainkan juga calon-calon cendekiawan, khususnya dalam bidang kajian keagamaan.

Namun demikian, kesadaran akan pentingnya penumbuhan tradisi literasi dan riset saja tidaklah cukup. Akan tetapi, kesadaran itu harus ditunjang dengan kemauan untuk selalu belajar, menulis, membaca dan melakukan riset dari waktu ke waktu.

Dengan begitu, maka dunia keilmuan santri di masa-masa mendatang, akan semakin semarak dan tidak sekadar menjadi penonton bagi kemajuan zaman, melainkan ikut ambil bagian maksimal pula dalam perkembangan peradaban yang ada. Wallahu a'lam. 

Penulis adalah staf bidang media dan publikasi pada Ma'had Aly Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus dan pembina jurnalistik di Pondok Tahfidh Yanbu'ul Qur'an Menawan (PTYQM) Kudus.