Opini

Kekhawatiran Al-Ghazali dan Fenomena Tertutupnya Pintu Ijtihad

NU Online  ·  Jumat, 21 Juli 2017 | 08:01 WIB

Oleh Ach Khairie

Jika melihat kembali sejarah pencapaian Islam di masa silam, maka kita akan dikejutkan dengan kenyataan bahwa Islam pernah berhasil mencapai masa keemasan (golden age of Islam) selama beberapa abad. Islam, bahkan berhasil menguasai tiga benua yaitu Asia, Afrika dan Eropa di bawah kerajaan Turki Utsmani. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan realita hari ini, di mana Islam menjadi kekuatan besar hanya dari segi kuantitas saja, sedangkan secara kualitas masih didominasi oleh agama lain. 

Sebagian umat Islam bahkan kehilangan kebanggan terhadap agama ini karena dicap sebagai agama kekerasan. Umat Islam berada dalam keadaan seperti digambarkan Nabi dalam hadisnya yang banyak dari segi jumlah namun tidak ubahnya seperti buih di genangan air (ka ghutsâi al-sayl), tidak bisa berbuat apa-apa.

Berbicara tentang kemajuan Islam di masa lalu, tidak lebih dari sekadar "meninabobokan" jika tidak disertai kesadaran merajut kembali superioritas yang pernah diraihnya. Dengan demikian pertanyaan yang tepat bukanlah "siapa Islam di masa silam?", tetapi "bagaimana Islam di masa silam?". Pertanyaan semacam ini akan menggiring terhadap upaya revitalisasi hal yang pernah dilakukan umat Islam dahulu, seperti dari aspek keilmuan, umpamanya.

Tidak disangsikan bahwa pergesekan peradaban yang terjadi antara Islam karena hasil ekspedisi dengan peradaban lain yang lebih maju seperti Romawi, Yunani dan Persia, mau tidak mau telah membawa umat Islam terhadap kesadaran akan pentingnya pengetahuan. Umat Islam sudah tidak bisa lagi bersikap stagnan dengan hanya mempelajari ilmu lokal-dogmatik seputar tafsir, misalnya, tetapi juga mesti merambah terhadap ilmu rasional seperti filsafat yang notabene dari Yunani, guna mempertahankan eksistensinya. 

Kesadaran akan semua itu dapat dilihat dengan upaya Harun al-Rasyid (w. 809), raja kelima Dinasti Abbasiyah dalam mendirikan Rumah Kebijaksanaan (Bayt al-Hikmah) yang berfungsi sebagai perpustakaan, lembaga penerjemahan dan pusat penelitian yang didirikan di Baghdad, Irak.

Sedemikian pentingnya ilmu filsafat ketika itu, sehingga Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) juga belajar tentang ilmu tersebut. Tokoh yang di kalangan pesantren lebih familiar dengan gelar hujjat al-islâm ini adalah salah satu cendekiawan Muslim yang ahli dalam berbagai ilmu. Hal tersebut karena keberaniannya menyelami dalamnya ilmu yang --diakuinya sendiri-- seperti menyelami mutiara di dasar lautan, dan jika tidak mampu akan membahayakan dirinya sendiri. Al-Ghazali tidak hanya mengkomparasikan pendapat antar mazhab, tetapi lebih dari itu, ia bahkan mencari kebenaran sejati dari berbagai bidang pengetahuan tanpa terkecuali. 

Dalam pengembaraannya itulah al-Ghazali tidak saja pernah mengkritik filsuf Yunani, ia juga mengkritik filsuf Muslim, ahli kalam, ta'lîmiyah bâthiniyyah dan para sufi yang menurutnya menjadi kelompok pencari kebenaran paling otoritatif ketika itu. Karen Armstrong, seorang pengkaji agama-agama mengatakan pada akhirnya kegelisahan intelektual al-Ghazali dalam mencari kebenaran sejati yang tak kunjung dijumpanya berujung pada kesakitan yang dialaminya dan hampir terjerumus ke dalam jurang kesesatan.

Al-Ghazali tidak lagi menekuni filsafat, karena dirasa tidak bisa mencapai kebenaran yang dicarinya. Ia mencari kebenaran dengan ilmu tasawuf yang orientasinya tidak lagi beradasarkan indera dan rasionalitas semata, namun lebih menggunakan intuisi dalam menentukan kebenaran. Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa di sinilah al-Ghazali menemukan jati dirinya. Ia berhasil mencapai kebenaran yang menyembuhkan kegelisahan intelektualnya ketika menekuni tentang tasawuf, dan al-Ghazali pun menjadi seorang sufi. 

Dalam karyanya, Al-Munqidz min al-Dhalâl (Penyelamat dari Kesesatan), al-Ghazali menceritakan semua pengalamannya dalam berkelana mencari kebenaran. Dan barangkali khawatir bahwa orang lain akan mengalami kejadian yang sama seperti dialaminya, dan khawatir akan ketidakmampuan mereka melewati masa-masa sulit tersebut, ia mengatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Pernyataan yang oleh kaum konservatif diterima, namun dihujat oleh kaum progresif karena pernyataan ini sama saja dengan perintah untuk bertaklid.

Meskipun demikian, penting dicatat terkait tuduhan bahwa al-Ghazali menjadi penyebab hilangnya rasionalitas dan kekritisan berpikir dalam Islam, lebih kepada tuduhan yang mengada-ada. Sementara literatur memang sering mengutip pernyataan yang disandarkan pada al-Ghazali ini, tetapi dari karya al-Ghazali sendiri terutama dalam otobiografinya, al-Munqidz min al-Dhalâl, belum ditemukan bahwa ia mengumumkan tertutupnya pintu ijtihad.

Barangkali yang menjadikannya dituduh demikian karena al-Ghazali di dalam magnum opus-nya, Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn, mengharamkan ilmu-ilmu rasional seperti logika, filsafat dan ilmu nujum, dan mengkafirkan filsuf Muslim sekaliber al-Farabi dan Ibn Sina. Tindakan al-Ghazali tersebut sama dengan menyatakan, meski secara implisit, bahwa pemikiran rasional tidak diperbolehkan dan karenanya pintu ijtihad sudah tertutup.

Sebenarnya, al-Ghazali tidak menghendaki hilangnya pemikiran progresif-liberal. Adalah pemahaman yang keliru jika dikatakan bahwa ia biang keladi kejumudan berpikir. Sebagaimana disinggung di awal, bahwa al-Ghazali hanya khawatir seseorang yang berusaha menyelami kedalaman ilmu juga akan mengalami kegelisahan seperti yang pernah dialaminya. Satu-satunya jalan menghindari hal tersebut adalah meniti jalan tasawuf yang intuitif.

Sebagai bagian dari tradisi pesantren, penulis memahami betul bagaimana al-Ghazali diposisikan di dalam lembaga pendidikan salaf tersebut. Ia dikenal sebagai "waliyyullâh", di mana segala perkataan serta tindakannya sudah pasti dianggap benar dan mesti diikuti. Persepsi demikian, diakui atau tidak, telah meruntuhkan kenyataan akan sisi kemanusiaan al-Ghazali di satu sisi, dan sama sekali melupakan perjuangan al-Ghazali dalam berkelana mencari kebenaran di sisi yang lain.

Demikian, hemat penulis, perbedaan penilaian terhadap al-Ghazali baik oleh berbagai kalangan, terutama kalangan pesantren, hanya melihat al-Ghazali dari wacana pemikirannya ketika sudah mencapai kebenaran dan sama sekali mengabaikan pemikirannya sebagai alat atau metode, bagaimana akhirnya ia mencapai kebenaran tersebut. Keadaan semacam ini berimplikasi terhadap konklusi bahwa rasionalitas tidak lagi dibutuhkan dalam Islam dan dianggap sebagai bid'ah bahkan kekafiran. Padahal, yang perlu dipahami adalah metode al-Ghazali dalam mencari kebenaran, yakni mencarinya dari titik keraguan terhadap kebenaran yang ada hingga sampai pada kebenaran yang hakiki.

Pemahaman demikian dapat dikukuhkan dari al-Ghazali sendiri ketika dalam kitabnya, Mîzan al-'Amal, mengatakan, "Keraguanlah yang dapat menyampaikan pada kebenaran. Seseorang yang tidak meragukan, berarti dia tidak bernalar. Seseorang yang tidak bernalar, dia sama sekali tidak akan dapat melihat. Seseorang yang tidak dapat melihat, dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan."

Masalah akan berbeda ketika kekhawatiran al-Ghazali kepada kita disalahartikan. Tidak lagi sebagai langkah antisipasi karena tidak semua orang mampu melewati proses yang sulit seperti al-Ghazali, tetapi dipahami sebagai perintah dari seorang sufi waliyyullâh yang tidak boleh dilampaui dan perkataannya dianggap sebagai "absolute truth". Padahal seandainya dipahami sebagai antisipasi al-Ghazali saja dan langkah kehatian-hatian kita dalam proses mencari kebenaran, maka barangkali Islam tidak akan mengalami kejumudan berpikir seperti hari ini, demikian pula dengan stagnansi agama juga tidak akan terjadi.

Dengan kata lain, meniru al-Ghazali, kita dapat menggunakan epistemologi keraguan dalam maksud mencapai kebenaran sejati. Tetapi jika dirasa tidak mampu maka alternatif lain ialah dengan menempuh jalan sufisme. Sementara keyakinan akan kemampuan kita untuk melewati masa kritis saat proses pencarian kebenaran, telah menggugurkan kewajiban untuk tidak berpikir progresif-liberal dan berijtihad. Ijtihad selalu terbuka karena memang tidak ada yang menutupnya.

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata dan Mahasiswa IAT di STAIN Pamekasan.