Oleh Makyun Subuki
Bulan ini, apabila kita menghitung peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai titik awal, dan bukan 2 Mei 1926 ketika nama Bahasa Indonesia pertama kali diusulkan oleh M Tabrani, bahasa Indonesia genap berusia 90 tahun.
Dari sudut pandang politik, nama Bahasa Indonesia, sebagai nama yang menggantikan nama bahasa Melayu, digunakan untuk menumbuhkan semangat persatuan yang disejajarkan dengan frasa “tanah air Indonesia” dan “bangsa Indonesia”. Artinya, bahasa Indonesia lahir dari rasa kebangsaan yang dimiliki pemuda Indonesia pada waktu itu, sehingga layak bagi kita untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia adalah salah satu rumah bagi kebangsaan kita.
Namun demikian, sebagaimana telah kita alami bersama, justru pada bulan kelahiran bahasa Indonesia ini pula kita mengalami beberapa masalah kebahasaan yang justru berpotensi merusak sendi kebangsaan kita.
Masalah pertama terjadi di awal bulan Oktober. Ratna Sarumpaet dioperasi plastik dan mukanya tampak lebam seperti habis dipukuli. Tentu saja, tidak ada hubungan langsung operasi plastik dengan bahasa Indonesia dan nasionalisme.
Masalahnya, Ratna baru mengaku dioperasi setelah kepolisian membeberkan secara detail bukti kebohongannya yang mengaku dipukuli di Bandung. Kebohongan ini, yang dilakukan dengan bahasa Indonesia dan dimaklumatkan ke publik oleh jaringan oposisi lewat bahasa Indonesia pula, mengentak banyak orang dalam urusan politik, tetapi tidak dalam urusan bahasa Indonesia.
Mungkin, dalam pikiran banyak orang, bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang sakral, sehingga bebas digunakan untuk keperluan apa pun, termasuk berbohong dan menipu.
Babak lanjut dari kebohongan ini, seperti telah juga kita lihat bersama, masyarakat ribut: hina-menghinakan, tolol-mentololkan, dungu-mendungukan, dan saling merendahkan dengan sejumlah makian lainnya. Sialnya, kebanyakan–kalau bukan semuanya–dilakukan dengan bahasa Indonesia.
Sekali lagi, mungkin tidak ada seorang pun yang peduli terhadap bahasa Indonesia. Sebab, seperti bahasa lainnya di dunia, bahasa Indonesia dapat digunakan untuk keperluan apa saja, termasuk memaki dan mengumpat.
Sebenarnya, tidak ada masalah dengan bahasa Indonesia yang dipakai untuk tujuan buruk. Martabat bahasa Indonesia tidak akan jatuh menjadi terhina karena dipakai untuk menipu, sebagaimana pedang tidak menjadi berdosa karena dipakai membunuh dan sebagaimana Al-Qu’ran tidak akan berkurang kemuliaannya sekali pun digunakan untuk berdusta.
Artinya, setelah jutaan keburukan kita lakukan dengan bahasa Indonesia, kita sama sekali tidak menganggap bahasa ini hina dan nista. Kita masih menggunakannya untuk keperluan sehari-hari dan meletakkannya dalam satu sudut hati kita bahwa kebangsaan kita diikat, salah satunya, oleh bahasa Indonesia; sambil terus mengasah keterampilan kita untuk menggunakannya demi tujuan-tujuan buruk lainnya.
Kini kita perlu mempertanyakan kebaikan semacam apa yang dapat kita lakukan dengan bahasa Indonesia. Kita mungkin dapat menyebut sejumlah karya sastra bermutu, naskah akademik, dan juga khotbah Jumat. Tetapi, itu bukan contoh yang sebanding.
Kita berbohong dan mengumpat sepanjang waktu, tetapi tidak mungkin menulis karya sastra atau artikel ilmiah setiap hari. Kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak pernah menulis sastra, berkhotbah, dan membuat sekadar makalah. Mungkin, beragama adalah contoh yang lumayan bagus.
Pada 22 Oktober 2018, peringatan Hari Santri Nasional menjadi heboh karena adanya pembakaran bendera hitam bertuliskan aksara Arab Lā ilāha illā Allāh Muhammad rasūl allāh oleh Banser. Kejadian ini mengentak banyak orang, terutama yang tidak bersedia mengidentifikasi bendera tersebut sebagai bendera HTI. Mereka berpikir bahwa kalimat tauhid telah dihina, dan esok harinya mengadakan Aksi Bela Tauhid. Kali ini, semua orang, baik yang mendukung maupun yang tersinggung, memikirkan agama dan mungkin bangsa; tetapi sepertinya tidak seorang pun yang memikirkan bahasa Indonesia.
Persoalan bendera ini berbuntut debat soal rāyah (panji) dan liwā (bendera) Rasulullah SAW. Semua pihak sibuk mengurusi apa dan bagaimana bendera Rasulullah, juga tentang nasionalisme dan keagungan agama, tetapi melupakan pertanyaan mendasar mengenai asosiasi tertentu yang menyebabkan pembakaran, ketersinggungan, dan perdebatan mereka. Jelasnya, bagaimana orang-orang itu dapat membakar, tersinggung, dan berdebat?
Ketika beberapa orang Banser membakar bendera, mereka tidak melihatnya sebagai bendera tauhid, tetapi sebagai simbol bagi HTI, sebuah organisasi yang telah dilarang. Mereka mengidentifikasi warna bendera, warna tulisan, jenis khatt yang digunakan (tsuluts), dan juga konfigurasi kaligrafi secara keseluruhan dalam bendera tersebut, lalu berkesimpulan bahwa itu adalah bendera HTI atau identik dengan HTI.
Proses penyimpulan semacam ini tidak terjadi dalam waktu singkat, tetapi melalui asosiasi yang berulang-ulang. Dengan begitu, untuk menguji bahwa persepsi mereka soal bendera yang mereka bakar adalah benar, kita perlu melakukan verifikasi dengan melihat bendera yang selama ini digunakan dalam banyak kegiatan HTI. Tampaknya kita harus bersyukur karena teknologi saat ini memudahkan usaha verifikasi semacam itu.
Tentu saja, tidak semua orang mau bersepakat soal ini, sebagian Muslim tampaknya lebih melihat itu sebagai kalimat tauhid biasa ketimbang atribut HTI. Ini juga respons yang wajar, mengingat kalimat tauhid memang sejatinya identik dengan umat Islam secara umum.
Ada semacam pembenaran antropologis mengenai ketersinggungan mereka, walaupun mungkin akan terpatahkan dengan kenyataan bahwa yang membakar bendera tersebut memiliki ikatan antropologis yang sama dengan yang tersinggung akan pembakaran tersebut.
Hal yang mungkin tidak disadari oleh keduanya adalah bahwa ikatan mereka terhadap kalimat tauhid tersebut rupanya didasari oleh semacam sentimen positif terhadap bahasa Arab. Ini juga bukan hal yang mengejutkan. Beberapa ritual pokok umat Islam, seperti shalat dan haji, harus menggunakan bahasa Arab. Al-Qur’an dan hadits, sebagai sumber pokok ajaran Islam, juga berbahasa Arab. Bahkan, ritual tertentu yang sering dipersoalkan sebagai bid’ah pun menggunakan bahasa Arab, misalnya melafalkan niat shalat dan selametan. Ini cukup untuk menjelaskan nilai positif bahasa Arab bagi umat Islam.
Namun demikian, kecenderungan semacam ini tampaknya menjebak pemeluk Islam untuk selalu beragama dalam bingkai yang sangat Arab secara berlebihan. Kita, misalnya, sering kali mendapati sejumlah orang yang menganggap awan berbentuk lafal Allah–dalam tulisan Arab–sebagai mukjizat, juga binatang tertentu yang di badannya terpatri gambar yang menyerupai lafal Allah.
Sebaliknya, beberapa kali umat Islam berdemonstrasi karena menganggap lafal Allah ada di dasar sepatu merk tertentu.
Pertanyaannya adalah mengapa harus yang berbahasa Arab yang dianggap mukjizat dan dapat menyebabkan kemarahan? Sampai kapan kita akan berpikir bahwa Tuhan hanya mampu merepresentasikan dirinya dalam bahasa Arab. Peristiwa pembakaran bendera mungkin tidak akan membuat gaduh apabila bukan ditulis dalam bahasa Arab, misalnya berbentuk transliterasi atau terjemahannya.
Sebaliknya, konfigurasi awan yang membentuk tulisan latin Allah atau Muhammad mungkin tidak akan dianggap sebagai semacam mukjizat. Kita sering berbangga diri menyebut perpaduan Islam dan lokalitas kita, tetapi pada saat yang sama kita seolah-olah masih berpandangan bahwa Tuhan adalah bagian dari kebudayaan Arab.
Lebih tepatnya, seolah-olah kita mengalami Tuhan sebagai Yang-Tetap-di-Arab dan bukan Yang-Juga-Ada-di-Indonesia. Padahal, kita mempelajari hampir semua hal dalam Islam dengan bahasa Indonesia dan bahwa dalam Islam kita justru dilarang mengasosiasikan Tuhan dengan tempat tertentu.
Apa hal pahit yang harus kita akui dari kenyataan keberislaman kita hari ini? Salah satunya, setelah 90 tahun, ternyata bahasa Indonesia baru mampu menjadi sarana belajar agama dan sekadar tempat menampung istilah-istilah agama. Selebihnya, sama dengan bahasa mana pun di dunia.
*) Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.