Opini

Kegembiraan Muktamar Ke-33 NU

Sen, 3 Agustus 2015 | 07:30 WIB

Oleh Candra Malik
--Kisah menghadiri Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, 1-5 Agustus 2015, saya mulai dari cerita perjumpaan dengan Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Australia dan Selandia Baru, Prof KH Nadirsyah Hosen, di sebuah rumah persembunyiannya di Tambak Beras. Guru besar hukum Universitas Monash, Melbourne ini mengaku sengaja menghilang saat para pengurus cabang istimewa dari berbagai negara lainnya mencarinya. Tapi, Gus Nadir, begitu ia disapa, baru saja kehilangan.<>

"Saya kehilangan hak suara, Mbah," kata Gus Nadir. Satu catatan kecil, ia memang memanggil saya dengan sebutan Mbah, ketika yang lain ada yang memanggil saya Gus. "Kok bisa, Gus?" tanya saya. Ternyata, dalam Muktamar 33 NU di Jombang, Gus Nadir gagal mendapatkan kartu peserta meski telah memenuhi persyaratan beberapa pekan sebelumnya dan rela mengantri berjam-jam bersama para kiai, gus, dan pengurus NU dari berbagai penjuru Indonesia dan luar negeri lainnya. 

Soal mengantri ini, saya mendapat kisah kesetiaan yang luarbiasa seorang anggota Banser terhadap tata tertib -- yang berlaku juga dalam menghadapi seorang gus. "Saya ini Gus!" serunya kepada anggota Banser itu. Mungkin dia lelah. Tapi, anggota Banser itu pun pasti juga capek. "O, Sampeyan salah tempat. Di sini banyak gus dan kiai. Bukan cuma Sampeyan. Sepurone sing kathah (mohon maaf, red)." Namun, kegembiraan suasana muktamar tidak hanya sampai di situ. Gus Nadir pun mengalami kelucuan yang sama menyenangkannya ketika mengantri.

"Saya dari PCI NU Australia," ungkap Gus Nadir. Petugas registrasi mengecek database peserta tapi tidak berhasil menemukan data yang ia cari. "Tidak ada NU Cabang Australia," sergahnya. Wah, Gus Nadir yang Rais Syuriah PCI NU ANZ (Australia-New Zealand) kaget: bagaimana bisa database registrasi "menghapus" PCI yang ia pimpin? Tapi Gus Nadir masih bersabar. "Coba dilihat, kalau NU Cabang New Zealand ada atau tidak?" pintanya. Petugas ini mengulik data lagi. "Tidak ada. Yang ada NU Cabang Selandia Baru!" Ah, nahdliyin sekali petugas registrasi yang teguh menjaga tata tertib ini. Jika tidak ada dalam data, maka tidak ada, itu prinsip.

Tapi, datang dengan dua kawan lain, jauh-jauh dari Melbourne, Gus Nadir tak mau patah arang. Ia merajuk lagi. "Alhamdulillah. Iya, benar, itu cabang yang saya pimpin. Selandia Baru itu ya terjemahan dari New Zealand itu. New itu Selandia, Zealand itu Baru," papar Gus Nadir. "O, begitu ya? Ada kalau begitu, ada," tukas petugas registrasi. Gus Nadir lega. Tapi, ia masih harus bersabar. Sebab, meski mencetak nama Gus Nadir dan cabang NU-nya, petugas registrasi ini memberi label Peninjau, bukan Peserta, pada kartu muktamirin yang diserahkannya kepada profesor ahli ushul fiqh dan fiqh, putra mendiang Prof KH Ibrahim Hosen ini.

"Ya sudahlah, Gus. Meski tidak punya hak suara, tapi kan masih punya hak bersuara," ujar saya mencoba untuk menenangkan Beliau. Jadilah kami kemudian lebih aktif di luar arena muktamar, antara lain ziarah, sowan kiai, berbicara dalam forum-forum seminar dan diskusi, serta silaturahim dengan muktamirin lainnya. Kami berdua kemudian juga bertemu KH Luqman Hakim, pemimpin redaksi Majalah Cahaya Sufi, dalam Seminar Nasional dan Diskusi Tasawuf di Institut Agama Islam Bani Fatah, Tambak Beras.

Saya melihat beraneka kegembiraan dalam Muktamar 33 NU di Jombang. Dinamika sidang pleno mengenai tata tertib yang berlangsung sejak hari kedua muktamar, saya lihat sebagai konsistensi para kiai dan gus dalam menjaga tata tertib. Jika beliau-beliau saja tidak teguh dalam mengawal tata tertib, bagaimana dengan para santri? Kaum muda NU yang mempunyai kegembiraannya sendiri dalam suasana muktamar, dengan menyelenggarakan Musyawarah Besar Kaum Muda NU di Tambak Beras, 2-3 Agustus 2015, juga tak melepas pandangan mereka dalam mengikuti perkembangan mutakhir di arena muktamar. Pun demikian para penyelenggara kegiatan lainnya yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan muktamar.

Saya melihat Gus Nuril Arifin, Panglima Pasukan Berani Mati di era Presiden KH Abdurrahman Wahid, melenggang tenang ke belakang dari arah depan panggung utama di arena muktamar ketika tak mendapatkan kursi dalam malam pembukaan yang dihadiri Presiden Joko Widodo. Padahal, ia bahkan memiliki dua undangan VVIP. Esoknya, saya melihat Gus Nuril duduk santai sambil merokok di Masjid Pondok Pesantren Tebu Ireng. Saya bertemu Beliau ketika jalan kaki menuju lokasi Pidato Kebudayaan oleh KH Husein Muhammad di kawasan Masjid Ulul Albab, di dekat Pondok Putri Pesantren Tebu Ireng. 

"Wah, ini. Sufi yang satu ini juga jalan terus," begitu seloroh Gus Nuril kepada saya. Tak saya lihat ada kerisauan di wajahnya meski pemberitaan tentang suasana muktamar cenderung negatif hingga hari itu. Bertemu lagi dengan KH Luqman Hakim, pada Minggu malam, 2 Agustus, kali ini di rumah Gus Reza, di Kwaron, Tebu Ireng, saya juga tidak melihat kegelisahan di wajah Beliau. Justru Kiai Luqman asyik menceritakan kehidupan KH Wahid Hasyim -- yang diam-diam bersekolah di Surabaya tiga hari dalam sepekan dan empat hari belajar kepada Kiai Ihsan Jampes di Kediri; Mbah Hayat Nganjuk yang jadzab tapi sangat dihormati KH As'ad Syamsul Arifin, Mbah Ahmad Rifa'i yang mendirikan Jam'iyah Rifa'iyah, dan Mbah Jalil yang menyembunyikan kitab hakikat di atap rumahnya dan melarang siapa pun membacanya. 

Kang Ahmad Tohari, sastrawan yang menulis novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, yang hadir pula di rumah Gus Reza, berpesan bahwa NU harus melahirkan penulis-penulis besar. "Ada Gus Dur yang tidak tergantikan. Dan ada saya, yang harus ada yang menggantikan," kata Ahmad Tohari yang kini berusia 67 tahun. "Terus menulis, Candra. Saya senang kita juga sudah memiliki Binhad Nurrohmat dan Faisal Kamandobat. Tapi, harus lahir lebih banyak penulis dari kalangan nahdliyin," pesannya. Kang Tohari menularkan kegembiraan menjadi penulis yang nahdliyin kepada kami, malam itu, dalam kehangatan kopi, tembakau, spiritualitas, dan sastra.

Saya melihat banyak kegembiraan dalam suasana muktamar. Kiai Zubaidah, yang akrab disapa Cak Idah, pengasuh Padepokan Sawung Nalar, Wajak, Malang, yang merehabilitasi korban narkoba, juga hadir dalam kongkow di rumah Gus Reza. Beliau, kata Kiai Luqman, adalah rocker yang hapal Al Qur'an. Cak Idah punya banyak cerita tentang Banser dan keyakinan. "Melatih Banser itu mudah karena mereka memiliki mental dan iman baja. Dibekali hizib dan wirid saja, mereka berani maju ke garda paling depan," kata Cak Idah. "Itulah yang tidak dimiliki organisasi massa lain di luar NU," sahut Kiai Luqman, yang lalu memuji ketaatan dan kepatuhan santri pada kiai.

"Gus Dur pernah ziarah ke makam Mbah Hayat yang jadzab. Selama dua jam ziarah, Gus Dur ngakak tidak berhenti-henti. Entah ngobrol apa dengan Mbah Hayat. Yang lebih lucu lagi, para pengantar Gus Dur juga ikut tertawa tidak berhenti-henti," sambung Kiai Luqman. Itulah kegembiraan-kegembiraan yang barangkali tidak dimengerti oleh selain nahdliyin. Kegembiraan diembuskan pula pada malam pembukaan muktamar oleh Gus Saifullah Yusuf, atau Gus Ipul, Ketua Panitia Lokal Muktamar 33 NU. Ia banyak berkelakar dalam berpidato.

Yang gara-gara ia terus membanyol, Gubernur Jawa Timur Pakde Karwo sampai-sampai dalam pidatonya meminta maaf tidak bisa mengontrol Gus Ipul. "Kalau Gus Ipul sebagai Wakil Gubernur, saya masih bisa mengontrol. Kalau Gus Ipul sebagai Ketua IGGI, mohon maaf, saya tidak bisa apa-apa. IGGI adalah Ikatan Gus-Gus Indonesia," ujar Pakde Karwo, yang ternyata ikut membanyol. Satu lawakan Gus Ipul yang mungkin tidak orisinal namun kontekstual adalah Muktamar 33 NU di Jombang disemarakkan oleh puluhan ribu Hadirin dan Hadirat (dibaca: Hadirot). "Hadir IN, yang di dalam. Dan, hadir OUT, yang di luar," seloroh Gus Ipul, dan semua tertawa. 

Nah, rupanya ada saja yang ingin ikut terlibat dalam kegembiraan nahdliyin dalam muktamar. Ada yang dengan menyemarakkan tema Ahwa (Ahlul Halli Wal Aqdi/musyawarah mufakat), ada yang meramaikan mekanisme registrasi yang dialihkan menjadi manual sejak database error, ada yang meneriakkan isu politik uang, ada pula yang mulai menyerukan untuk kembali ke tema besar "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Nusantara dan Dunia", ada yang ikut menelusupkan partai politik dan kepentingannya, pun ada pula yang mulai menggoyang-goyang ideologi ahlussunnah wal jama'ah.

Ya, Muktamar Nadhlatul Ulama memang kegembiraan bagi siapa saja, bukan hanya bagi nahdliyin. Saya menjadi teringat kata-kata mendiang Idris Sardi yang bahkan bergembira dan bersyukur terhadap pembencinya yang terus-menerus memfitnahnya. "Saya wajib bersyukur karena bahkan telah membuat gembira pembenci saya yang pasti bergembira ketika menyebarkan fitnah dan kebencian terhadap saya," jelasnya. Ya, selain muktamirin dan muktamirat, Muktamar 33 NU di Jombang ini juga disemarakkan oleh kegembiraan muktamiris dan muktamarah. Semua berjalan gembira-gembira saja. [*]


Candra Malik, praktisi Tasawuf yang bergiat dalam kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan; Peninjau dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang.

 

Foto ilustrasi: Grup Orkestra Bintang 9 yang turut diiringi oleh paduan suara 1000 santri sedang tampil dalam acara pembukaan Muktamar Ke-33 NU, Sabtu (1/8) malam lalu di Alun-alun Jombang, Jawa Timur.