Opini

Kebebasan dan Paradigma Peran Keormasan NU

NU Online  ·  Senin, 29 November 2010 | 05:05 WIB

Oleh : As’ad Said Ali

Satu hal fundamental yang dihasilkan gerakan reformasi 1998 adalah kebebasan. Demikian signifikannya, melalui kebebasan itu, seakan-akan reformasi adalah sebuah pelaksanaan kemerdekaan. Sebagaimana dikatakan almarhum Nurcholis Madjid, "Kita memperoleh kemerdekaan di tahun 1945, tetapi kita baru benar-benar merdeka --terutama rakyat-- di tahun 1998". Pernyataan ini dilontarkan dua tahun setelah gerakan reformasi dijejakkan. Kini reformasi sudah berlangsung tiga belas tahun. Bagaimana sesungguhnya kebebasan itu telah memberikan makna? Itulah pernyataan penting yang dapat diajukan.<>

Kebebasan dan Ekspresinya

Yang kita saksikan selama ini, rakyat memang telah benar-benar mengekspresikan kebebasan tersebut di berbagai lapangan, politik, ekonomi, maupun sosial. Tidak terkecuali golongan elite maupun massa rakyat. Namun kita sama-sama melihat ekspresi itu telah menunjukkan wajahnya yang bermacam-macam. Segolongan orang, menghayatinya sebagai kondisi yang tak seorang pun, termasuk negara, dapat menghalangi hak-hak individu sebagai manusia yang otonom, persis seperti di negara-negara liberal. Namun sementara yang lain,tidak demikian. Di pihak lain segala eksesnya pun telah kita saksikan, baik di lapangan politik dan sosial. Pada semua itu mereka mangatakan atas nama kebebasan; seperti kasus penerbitan majalah Playboy, gugatan terhadap UU penodaan agama, dan lain-lain.

Yang memprihatinkan, ekspresi kebebasan tersebut kemudian tereduksi sedemikian rupa dalam bentuk aksi massa. Pada tahap kesadaran ini, demo atau aksi massa dinilai sebagai cara yang paling efektif untuk mendesakkkan tuntutan, atau memaksa pihak lain memenuhi tuntutannya. Demo kemudian menjadi alat politik yang paling efektif. Bahkan, dijadikan sebagai alat yang mematikan untuk menentukan suatu arah keputusan politik. Aksi massa disimplifikasi sebagai vox populi (suara rakyat), dan suara rakyat adalah vox dei (suara Tuhan); akibatnya berkembang tendensi bahwa aksi massa adalah panglima. Tak heran jika demonstrasi kemudian menjadi trend dimana-¬mana hingga tingkat desa. Perkembangan ini patut mendapat perhatian karena dapat mengancam demokrasi jatuh ke dalam kekerasan.

Secara teori aksi massa muncul karena tersumbatnya saluran politik. Namun sesungguhnya, akar masalah lainnya yang lebih fundamental adalah karena kebebasan yang tumbuh tidak seimbang dengan perkembangan praktek transparansi yang dituntut oleh demokrasi, baik dalam proses politik maupun kebijakan dalam lembaga publik. Secara sosiologis situasi seperti itu menimbulkan tumbuhnya sikap su'udzhan, prasangka buruk dan sikap saling tidak percaya di tengah masyarakat. Padahal sejatinya demokrasi menuntut para penyelenggaranya memiliki sikap amanah, yang turunan maknanya berupa transparansi.

Yang membuat miris, sikap su'udzhan tersebut bahkan menerpa pula terhadap lembaga¬lembaga agama dan para tokohnya. Sebab-musabnya karena masyarakat menilai terlalu banyak kesenjangan antara doktrin dan praktek; antara kata dan karya. Agama, yang berarti kebenaran, diterjemahkan secara sepihak menjadi kepentingan kelompok, bahkan faksi politik tertentu. Inilah yang disebut sebagai "dilemma Wilson" bahwa ketika seseorang mengklaim berjuang demi agama, pada kenyataannya ia berjuang demi kepentingan sendiri atau kelompok. Paralel dengan dilema itu adalah klaim berjuang demi bangsa, partai atau organisasi, tetapi kenyataannya ia berjuang demi kepentingan sendiri atau kelompoknya.

Kebebasan dalam konstitusi kita


Dalam konstitusi kita, kebebasan diakui sebagai manivestasi dari kemerdekaan yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan faham ini, pembentukan suatu sistem bukan hanya untuk menjamin terhadap kebebasan- negatif belaka, dalam arti hanya menindak terhadap hal-hal yang menimbulkan keburukan dan kejahatan (nahi mungkar). Tetapi secara relatif juga terhadap kebebasan positif untuk mewujudkan kebaikan dan kebajikan (amar ma'ruf) bagi individu-individu dalam masyarakat. Faham ini jelas bertolakbelakang dengan faham kebebasan di negara-negara liberal yang hanya menjamin terhadap kebebasan negatif; hanya menekankan pada nahi-mungkar tanpa dibarengi usaha untuk mewujudkan amar-ma'ruf.

Kalau toh secara politik pelaksanaan kebebasan di negara-negara liberal jauh lebih tertib, tidak ada aksi-aksi anarki, itu semata-mata karena pelaksanaan sistem hukumnya sudah kuat, dan di sana demokrasi sudah sangat terlembaga. Demikian pula mengenai ketertiban dalam aktivitas masyarakat; itu disebabkan karena masyarakatnya memiliki kepatuhan terhadap norma sipil dan kesadaram hukum yang tinggi, yang terbentuk oleh pengalaman sejarah berbangsa yang lebih panjang dibandingkan Indonesia misalnya. Namun lain halnya dengan isu moralitas agama; masyarakat negara-negara liberal tidak cukup sensitif karena sistemnya hanya menjamin kebebasan negatif dan menghargai individualisme. Sebaliknya masyarakat Indonesia yang dasar filosofi negaranya ber-Ketuhanan, maka secara konstitusional faham kebebasannya berangkat dari spirit ketuhanan, dan kekeluargaan sebagai basis moral sipilnya. Itu pula sebabnya dalam pelaksanaan hak-¬hak individu, dalam derajat tertentu kadang-kadang harus dikalahkan oleh apa yang disebut dengan kepentingan umum.

* Wakil ketua umum PBNU