Oleh Doni Febriando
Seperti yang pernah kita bahas, dakwah berarti mengajak, dakwah sangat berbeda dengan amar makruf nahi munkar. Dakwah bersifat ajakan. Amar makruf nahi munkar bersifat perintah. Mari kita bahas sekali lagi karena masyarakat kita akhir-akhir ini sering salah memahaminya.
Kedua istilah tersebut kerap dicampur sehingga banyak penceramah masa kini yang justru keluar dari pakem dakwah. Bisa kita lihat, kini banyak sekali muslim lari ketakutan dari cahaya agama Islam karena melihat dakwah para penceramah.
Kini banyak muslim yang masih awam takut ikut pengajian karena mulai banyak pendakwah yang gemar memarahi orang lain, jika amaliah orang-orang tersebut yang tidak seketat dirinya. Orang yang sudah beragama Islam dan bahkan sudah mau shalat berjamaah di masjid, justru dimarah-marahi oleh seorang pendakwah yang berada di mimbar.
Contoh kecil tersebut adalah akibat kerancuan memahami perbedaan antara dakwah dengan amar makruf nahi munkar. Tidak hanya rancu, makna kedua istilah tersebut bahkan sering dipukul rata. Jangan heran jika pelaksanaannya menjadi kacau balau.
Setahu saya, para kiai hanya melakukan amar makruf nahi munkar pada santri mereka sendiri dan berdakwah pada kalangan muslim yang masih awam. Jadi, perbuatan amar makruf nahi munkar itu hanya dilakukan kepada pihak internal, sedangkan dakwah dilakukan kepada pihak-pihak eksternal.
Agar mudah memahaminya, kita pakai suatu contoh teknis skala kecil. Saat di dalam lingkungan pondok pesantren, para kiai sangat tegas menerapkan syariat agama Islam. Akan tetapi, saat berada “di dunia luar”, para kiai sangat moderat dan toleran.
Saat azan berkumandang, para santri disuruh untuk segera shalat tepat waktu. Kalau ada santri yang ketiduran, pintu kamarnya diketuk-ketuk sampai bangun. Namun, saat ke luar pondok dan menghadapi bermacam-macam karakter muslim yang masih awam, para kiai bersikap sangat lembut.
Jadi, saat azan berkumandang, bila ada muslim awam yang ketiduran, biasanya dibiarkan saja. Ditunggu sampai bangun. Ketika muslim awam itu sudah bangun, baru diingatkan untuk segera shalat.
Jadi, amar makruf nahi munkar dan dakwah itu sangat berbeda. Masing-masing ada mekanismenya. Banyaknya muslim yang lari ketakutan dari pengajian adalah karena gaya ceramah di pengajian tersebut seperti sedang melakukan amar makruf nahi munkar.
Menapak Jejak Nabi
Para kiai memang ittiba’ (mengikuti jejak) Kanjeng Nabi. Dulu, satu-satunya orang yang tidak tersesat adalah Nabi Muhammad SAW karena beliau satu-satunya orang yang sudah beragama Islam, sedangkan yang lainnya tersesat semua.
Bunda Khadijah ra., sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., sahabat Ali bin Abi Thalib ra., dan sebagainya adalah orang-orang tersesat. Namun, Nabi Muhammad SAW, sukses mengislamkan mereka semua, bahkan mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi generasi emas umat Islam. Semua itu terjadi karena Kanjeng Nabi melakukan dakwah.
Kalau Baginda Rasul melakukan amar makruf nahi munkar, maka hanya beliau satu-satunya yang beragama Islam.
Semua orang selain beliau adalah orang tersesat. Semua orang selain beliau buru-buru meninggal terkena azab Allah. Apa sulitnya Kanjeng Nabi memberantas kemungkaran? Tinggal berdoa, ribuan malaikat pun turun membawa bala bencana dan masyarakat Arab jahiliyah akan tinggal legenda.
Wali Songo adalah dewan alim ulama. Wali Songo bisa dibilang sembilan pewaris nabi. Wali Songo benar-benar mengikuti jejak metode berdakwah Baginda Rasul.
Wali Songo sangat memahami perbedaan antara dakwah dengan amar makruf nahi munkar.
Wali Songo sangat toleran dan moderat menyikapi bangsa Nusantara yang pada waktu itu masih belum mengerti agama Islam. Jangankan level muslim awam, saat itu bangsa Nusantara masih kafir semua. Sebuah situasi yang benar-benar mirip dengan situasi yang dihadapi Kanjeng Nabi.
Wali Songo berdakwah sesuai ayat Al-Qur’an tentang panduan berdakwah karena mengikuti cara dakwah Nabi Muhammad SAW Wali Songo memanusiakan manusia saat berdakwah.
Semua orang yang bertanya dilayani dengan santun. Cara menjawabnya pun memakai bahasa yang gamblang dan sederhana agar semua orang yang mendengar jawaban tersebut mudah memahami. Oleh karena itu, murid-murid Wali Songo tidak hanya orang yang cerdas. Orang yang daya tangkapnya sangat rendah pun merasa terayomi.
Tidak ada yang dimarah-marahi, apalagi dikafirkan. Siapa pun yang sakit, diobati. Siapapun yang butuh, diutangi. Wali Songo menerapkan akhlak mulia kepada siapa saja.
Seperti halnya gaya dakwah Nabi Muhammad SAW, Wali Songo menampilkan wajah agama Islam secara sejuk. Tak heran jika para leluhur kita berbondong-bondong masuk agama Islam.
Wali Songo Meniru Akhlak Nabi
Wali Songo memanusiakan manusia seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Saat berdakwah, Wali Songo sering menggunakan pakaian khas budaya lokal agar sama seperti penduduk lokal. Misalnya, kalau Sunan Ampel sedang di Pulau Sumatra, maka Sunan Ampel memakai aksesori pakaian adat Sumatra.
Sunan Kalijaga pun demikian. Saat berdakwah di wilayah orang-orang Sunda, gaya pakaian Sunan Kalijaga tidak lagi “Jawa”. Demikian juga dengan Sunan Giri. Ketika Sunan Giri sedang berdakwah di Pulau Kalimantan atau Pulau Sulawesi, Sunan Giri akan menyesuaikan gaya berpakaiannya dengan penduduk lokal.
Nabi Muhammad SAW, pun demikian. Junjungan agung kita menolak tawaran Malaikat Jibril untuk didesainkan baju khusus agar terlihat perbedaan orang Islam dengan yang tidak. Nabi Muhammad SAW, tetap seperti Abu Jahal dan Abu Lahab; memakai jubah serta serban.
Jikalau Nabi Muhammad SAW, tidak memanusiakan manusia, beliau pasti minta didesainkan “baju islami” agar tampil beda. Misalnya, jaket kulit serta topi koboi.
Nabi Muhammad SAW, tidak ingin tampil beda. Kanjeng Nabi memilih berpenampilan seperti Abu Jahal dan Abu Lahab saja. Kanjeng Nabi memilih pakaian lokal Arab sebagai baju keseharian.
Meski demikian, semua penduduk Jazirah Arab bisa membedakan Nabi Muhammad SAW, dengan Abu Jahal dan Abu Lahab meski mereka sama-sama memakai pakaian tradisional Arab.
Ciri-ciri utama Nabi Muhammad SAW, pada dasarnya hanya dua; murah senyum dan berakhlak terpuji. Wali Songo pun demikian.
Wali Songo meniru keseharian Kanjeng Nabi; ramah dan senang menolong siapa saja. Terhadap muslim yang masih awam, Wali Songo menghadapi mereka dengan penuh kearifan dan kasih sayang.
Selain itu, Wali Songo juga menghormati budaya lokal karena hal itu merupakan sunah Nabi.
Ditulis oleh Doni Febriando pada saat usia 23 tahun, disadur dari buku pertama saya, Kembali Menjadi Manusia, terbit tahun 2014 lalu. Penulis adalah Nahdliyyin yang tinggal di Yogyakarta. Sumber inspirasi tulisan: cerita dari Kiai saya dan ceramah KH Ahmad Mustofa Bisri