Opini

Kaca Mata

NU Online  ·  Jumat, 2 November 2018 | 17:00 WIB

Kaca Mata

(ilustrasi: pixabay)

Oleh Abdul Basyid 

Siapa yang tidak tahu kaca mata? Kaca mata adalah alat bantu penglihatan. Bagi mereka yang bermasalah penglihatannya karena usia, seperti plus atau minus, kaca mata menjadi solusinya. Namun, ada pula kaca mata hanya sebagai pemanis belaka, penunjang penampilan atau live style. 

Kaca mata memang bukan barang istimewa, karena selain mudah mendapatkannya, harga kaca mata pun sangat variatif tergantung kekuatan financial masing-masing pembeli. Jika uang terbatas kaca mata dapat dibeli di kaki lima.  Namun, jika uang  cukup berlebih, silahkan membeli kaca mata di optic dengan menggunakan resep dokter. 

Hal ini berbeda ceritanya jika kaca mata hanya sekedar pemanis penampilan. Mereka rela merogoh koceknya hingga ratusan ribu atau bahkan jutaan rupiah. Bahkan ke luar negeri pun mereka lakukan guna memenuhi kesempurnanaan penampilan sebagaimana yang sering dipertontonkan oleh selebritis kondang negeri ini.
    
Apabila kaca mata merupakan satu kebutuhan agar sesuatu yang dilakukan dapat berhasil maksimal,  tidak bisa tidak kacamata harus dipenuhi, agar sang pemakai kaca mata tidak menemukan hambatan dalam beraktivitas seperti mengaji, atau mengerjakan yang lainnya. 

Tetapi, akhir-akhir ini, banyak kegaduhan disebabkan kurang obyektifnya penglihatan mereka dalam memandang persoalan bangsa.  Semua tidak lepas dari pilihan kaca mata yang dipakainya. Maka tidaklah mengherankan jika produksi hoaks dari hari ke hari kian merajarela. 

Di zaman seperti ini, betapa pentingnya memakai kaca mata bening (transparan) dalam memahami persoalan kebangsaan atau masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan keumatan. Dengan berkaca mata bening diharapkan dapat bertindak dan berargumen sesuai fakta yang ditemukan. Bahkan di dalam diriya pun, tidak terbersit rasa untuk memfitnah atau mem-bully siapa pun. Jika hal ini disadari semua pihak, maka betapa eloknya negeri ini, suasana  damai dan kondusif akan terjaga sepanjang masa.

Fakta berbicara lain, riuh rendah, hiruk pikuk di media sosial yang sekarang menjadi ujung tombak propaganda sering mempertontonkan sesuatu yang tidak sehat. Cacian dan umpatan hingga berujung debat kusir di medsos  terus terjadi setiap hari. Semua juga tidak lepas dari pilihan kaca matanya. Bila dia memakai kaca mata merah, apapun yang dilakukan si merah akan sikapinya dengan baik. Begitu pula ketika dia memakai kaca mata hijau, kuning, biru atau hitam.

Parahnya ketika dia memakai kaca mata biru semua aktivitas atau karya bakti yang dilakukan oleh si merah, hijau, atau kuning selalu disikapi dengan sinis dan apatis oleh mereka yang berbeda kaca matanya, dengan dalih  tebar pesonalah, mencuri starlah , atau yang lainnya. Inikah yang dinamakan pendidikan politik di jaman milineal? Ataukah ini bagian dari cara berpolitik di era globalisasi ? Entahlah.

Fenomena tersebut bak gunung es ketika memasuki tahun politik. Para selebritis negeri, membuang jauh-jauh  kaca mata bening dalam bersikap. Ini sudah banyak dipertontonkan oleh selebritis Senayan. Bahkan, tempat  yang seharusnya untuk mendekatkan diri kepada Yang Kuasa juga dikotori dengan umpatan dan cacian yang kasar dari mereka yang memantapkan dirinya sebagai tokoh umat. Belum lagi mereka yang selama ini mengaku dirinya  penerus para nabi atau kekasih Tuhan juga ramai-ramai berteriak lantang membuat  opini pedas, menyakitkan bahkan provakatif padahal  tugas beliau untuk bermauidloh khasanah rakyat atau umat.  

Ironis memang! Tapi mau apalagi jika hal tersebut sudah menjadi mind set-nya dalam rangka membangun popularitas di tengah kegaduhan politik dalam negeri.

Namun demikain,  kita tidak boleh hanyut dalam carut marutnya keadaan. Kewaspadaan dan tabayun harus tetap terjaga agar kebeningan kaca mata tidak tenodai oleh intrik-intrik semu sebagaimana yang sering dipertontonkan oleh pengguna kaca mata hitam. Aktivitas pemakai  kaca mata hitam patut  diwaspadai, karena mereka sering menampilakan intrik-intrik yang dibalut agama. Agama dijadikan sarana berlindung guna memuluskan niat jangka panjangnya, sehingga orang menjadi terlena. 

Kaca mata hitam adalah tempat bersembunyi yang paling aman untuk  melakukan gerakan kemunafikan, atau  kebohongan kepada masyarakat.  Dia mau melirik, memandang, menatap, atau bahkan tertidurpun orang di sekitarnya tidak tahu. Maka tidaklah mengherankan bila mereka yang jiwanya  labil atau terbatas pengetahuan agamanya sering menjadi sasaran gerakannya. Sensifitas agama, golongan, dan semangat jihat  merupakan alat propaganda  paling banter dikampayekan di kampus-kampus atau di instansi pemerintah.

Oleh sebab itu, penting adanya pondasi akidah dan nasionalisme ditanamkan sejak dini. Jangan sampai kealpaan kita terhadap lingkungan berdampak runtuhnya pondasi yang sudah dibangun selama ini terutama ketika anak-anak memasuki usia emas. Bagi orang tua, pilihlah sekolah untuk anak-anaknya yang betul-betul diketahui latar belakangnya. Jangan sampai tergiur megahnya bangunan, jaminan hafal Al-Qur'an dan beasiswa, akidah dan jiwa nasiolisme anak-anak kita terbang melayang.     

Penulis adalah Mantan Pengurus IPNU PC Kendal, saat ini Pengurus Harian MWCNU Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal.