November mendatang, Amerika Serikat akan memprakarsai dan merancang diselenggarakannya Konferensi Perdamaian Palestina-Israel, status Jerusalem dan pengungsi Palestina. Pertemuan. Konferensi Tingkat Tinggi Timur-Tengah ini direncanakan akan mengundang dan melibatkan enam negara Timur-Tengah yaitu Suriah, Lebanon, Mesir, Jorndania, Arab Saudi dan Qatar.
Jika hajatan Amerika ini berhasil menelorkan sebuah keputusan strategis dan substantif sebagaimana harapan para petinggi politik di Timur-Tengah, katakanlah diakuinya Palestina sebagai negara berdaulat dan ditarik-mundurnya seluruh pasukan Israel dari bumi Arab, maka reputasi Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice bisa dipastikan akan melambung, dan sejarah akan mencatat bahwa Presiden Bush diakhir masa jabatannya telah mengukir sejarah diplomasi baru di kawasan Timur-Tengah.<>
Tapi, sebelum harapan ideal tadi benar-benar bisa diwujudkan, nampaknya ada beberapa manuver politik luar negeri dan diplomasi Amerika yang kiranya perlu diwaspadai berkaitan dengan manuver Rice dalam menangani isu-isu strategis Timur-Tengah belakangan ini.
Dengan kata lain, manuver Rice dalam road show-nya ke beberapa negara Timur Tengah bulan ini, ada indikasi kuat tidak sekadar untuk menggalang suatu kesepakatan strategis di kalangan negara-negara Arab di bawah bendera Konferensi Tingkat Tinggi Timur-Tengah dalam masalah perbatasan Palestina-Israel, status Jerusalem dan Pengungsi Palestina. Lebih daripada itu, Amerika sebenarnya sedang mencoba menciptakan konflik internal atau bahkan perpecahan, di kalangan negara-negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang ruang lingkup keanggotaannya tidak hanya negara-negara Arab di Timur-Tengah, tapi juga di kawasan Asia dan Afrika.
Sebuah sumber di Departemen Luar Negeri RI, mengatakan kepada penulis bahwa Amerika sekarang ini sedang mengambil langkah-langkah strategis untuk memperluas kerjasama dengan OKI dan menggunakan mekanisme organisasi tersebut untuk melayani tujuan subyektif Amerika sendiri. Ada beberapa indikasi yang memperkuat kecurigaan tersebut.
Pertama, Gedung Putih telah menawarkan penyelenggaraan symposium dengan mengambil tema Islam-phobia di Washington, dengan mengundang negara-negara anggota OKI sebagai peserta.
Langkah lain yang tidak kalah menarik untuk dicermati adalah, Gedung Putih akan mendirikan jabatan strategis berkaitan dengan urusan OKI. Tepatnya, Staf Khusus Presiden untuk hubungan dengan negara-negara OKI.
Amerika nampaknya sadar betul betapa citranya sebagai negara adidaya dan kampiun demokrasi telah hancur lebur di negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI. Sehingga gelombang anti-Amerika di Timur Tengah maupun negara-negara Islam di kawasan lainnya dari waktu ke waktu semakin menguat. Bahkan, fakta membuktikan bahwa Amerika telah gagal membendung geranan Anti Amerika di Dunia Islam. Maka adalah masuk akal jika Presiden Bush melancarkan langkah-langkah administratif untuk mengadakan kerjasama dengan OKI.
Maka, gagasan Gedung Putih untuk membentuk Staf Khusus Presiden untuk hubungan dengan OKI, jelas dimaksudkan untuk menetralisasi citra buruk dan memperbaiki reputasinya di mata negara-negara Islam baik Timur-Tengah maupun Asia dan Afrika akibat ulah Amerika menginvasi Irak dan Afghanistan tempo hari.
Dan gagasan Gedung Putih membentuk Staf khusus Presiden untuk hubungan dengan OKI, agaknya didasari pertimbangan bahwa selama ini Washington tidak mempunyai status hukum di OKI yang bisa memberi ruang yang seluas-luasnya bagi Amerika untuk memainkan peranan besar di struktur organisasi OKI. Dengan adanya jabatan Staf khusus Presiden untuk hubungan OKI yang setingkat Duta Besar, nampaknya Amerika bermaksud untuk melakukan penterasi organisatoris dan administratif ke dalam tubuh OKI sebagai organ negara-negara Islam di tingkat multilateral.
Jika strategi Amerika untuk menjalin hubungan erat dengan OKI berhasil, bagi negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI justru bisa menjadi ancaman politik yang cukup serius. Karena melalui pengaruh Amerika lewat mekanisme organisatoris dan administratif OKI, soliditas dan kekompakan di antara negara-negara OKI bisa mengalami perpecahan internal. Sebagai contoh, hubungan bilateral Saudi Arabia dan Iran.
Sebagaimana kita tahu, Saudi Arabia sejak awal dikenal pro kepentingan Amerika dan menganut Mazhab Keislaman Sunni. Sedangkan Iran sejak tampilnya Ayatullah Khomeini di tampuk kekuasaan menyusul tergulingnya Shah Iran pada 1979, Iran menganut haluan politik lua negeri yang anti Amerika dan menganut paham Islam Syiah yang bersifat radikal dan proggresif terhadap kemapanan.
Kondisi obyektif semacam ini, tentunya cukup rawan dan potensial untuk terjadinya konflik antar kedua negera Islam besar tersebut di dalam forum negara-negara Islam semacam OKI. Apalagi jika Amerika lewat Staf khusus Presiden untuk hubungan dengan OKI yang setingkat Duta Besar, dengan sadar dan terencana memang bermaksud untuk memicu konflik berskala luas antara Saudi Arabia dan Iran, atau antar negara-negara Islam yang pada dasarnya memiliki agenda politik yang berseberangan.
Jika siasat dan jurus negara Paman Sam ini bisa berjalan cukup efektif, maka reputasi dan wibawa OKI bisa menurun, dan pada akhirnya akan ditinggalkan negara-negara anggotanya.
Bahkan bukan itu saja. Keberadaan dan kegiatan wakil khusus presiden Amerika untuk hubungan OKI, pada perkembangannnya bisa menciptakan dampak negative atas efektivitas kerja OKI itu sendiri. Betapa tidak. Karena dengan keberadaan wakil khusus presiden Amerika yang ditempatkan di OKI setingkat duta besar, berarti Amerika punya akses untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di OKI melalui mekanisme organisatoris dan administratif di OKI.
Bagi Amerika, kebijakan luar negerinya terhadap OKI tiada lain ditujukan untuk mendesak OKI supaya merubah pandangan dan sikap negatifnya terhadap tindakan dan sepak-terjang Amerika sekutu terdekatnya Israel di kawasan Timur-Tengah.
Strategi Amerika yang seperti ini, bisa dipastikan dalam waktu dekat akan menciptakan perselisihan yang cukup tajam di antara negara-negara Islam anggota OKI. Dengan demikian, dengan terciptnya perselisihan internal di kalangan anggota OKI, Amerika berharap dalam setiap pengambilan keputusan OKI yang mempertaruhkan kepentingan strategis Amerika dan Israel di Timur-Tengah, pada perkembangannya Amerika mempunyai kendali organisatoris dan administrative untuk menciptakan perpecahan internal di forum OKI sehingga tidak pernah tercapai kesepakatan bulat di kalangan anggota, baik keputusan yang dibuat di level setingkat menteri maupun setingkat kepala negara dalam forum KTT.
Maka dari itu, gagasan Bush membentuk wakil khusus presiden untuk hubungan dengan OKI kiranya patut dicermati dan diwaspadai baik perkembangan maupun implikasinya untuk waktu-waktu mendatang.
Dan yang tidak kalah penting untuk dicermati, prakarsa Menlu Rice untuk mengadakan Konferensi Perdamaian Israel-Palestinan November mendatang, meski secara substantif cukup menjanjikan, namun tidak tertutup kemungkinan bagi Amerika untuk menciptakan perselisihan internal babak pertama antara negara-negara Islam OKI di kawasan Timur-Tengah dan negara-negara Islam OKI di kawasan Asia dan Afrika. Dan bahkan bukan tidak mungkin, mengondisikan perselisihan internal di antara negara-negara OKI Timur-Tengah itu sendiri, mengingat betapa sensitifnya isu perbatasan Palestina, status Jerusalem maupun Pengungsi Palestina.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
4
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
5
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua