Oleh: Mohammad Wasik
Salah satu ajaran Islam adalah diwajibkannya berjilbab. Jilbab sudah dikenal sejak dulu. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dalam banyak istilah. Seperti di Iran dengan sebutan chador, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman.
Secara definitif-termenologis, jilbab adalah busana terusan untuk menutupi seluruh tubuh perempuan kecuali wajah dan tangan. Definisi ini selaras dengan pengertian hijab الحِجابُ: السِّتْرُ hijab artinya penutup. Dan dalam kajian terminologis, hijab adalah segala hal yang menutupi sesuatu yang dituntut untuk ditutupi atau terlarang untuk menggapainya. Jilbab merupakan penerapan makna dari hijab tersebut.
Di Indonesia, kerap dikenal dengan istilah kerudung, meskipun pengertian dan penerapannya sedikit berbeda dengan jilbab. Jilbab identik dengan perempuan karena kain penutup ini merupakan pakaian seorang perempuan, bahkan acapkali dijadikan sebagai identitas kesalehan.
Jilbab pada sisi lain sebagai pelindung baik sentuhan alam atau manusia itu sendiri. Di sinilah kesamaan esensi dari referensiasi jilbab dan kerudung yakni sebagai penutup dan pelindung. Menutupi dan melindungi diri dari pandangan orang lain.
Meski harus diakui bahwa perempuan berjilbab tidak selalu teridentifikasi salehah, bisa jadi kerudung adalah 'pisau' mereka mengkamuflase untuk mendesain kekurangannya. Karena bagaimanapun eksistensi adalah satu cara untuk menyimpulkan kebenaran, sebagaimana eksistensialis Mulla Sadra bahwa dengan eksistensilah kita bisa menilai sebuah esensi. Terlepas dari itu semua, yang menjadi catatan penting di sini menjadikan makna hijab tidak hanya sebatas penutup dan pelindung diri dan fitnah dari seorang perempuan. Tetapi bagaimana juga dipraktikkan pada sosial kemasyarakatan.
Makna Jilbab
Jilbab tidak berhenti pada pakaian dan penutup untuk kaum hawa. Tapi adalah pakaian umat manusia untuk menutupi aib manusia lain. Salah satu pesan Sunan Drajat atau Raden Qosim mengemukakan: wenehono sandang marang wong kang kawudan (berilah pakaian kepada orang yang telanjang) yang bermakna tutupilah aurat saudaramu.
Sebagai manusia, hendaknya menutupi aib saudara kita. Karena mengumbar kejelekannya sama sekali tidak memberikan manfaat bagi pengumbar aib, terlebih bagi yang diuambar aibnya. Diakui atau tidak, manusia adalah makhluk yang tercipta dari partikel akal dan nafsu, sehingga secara instingtif salah dan khilaf itu hal wajar. Dalam redaksi lain manusia disebutkan sebagai tempat salah dan lupa. Lalu apa alasan manusia tidak ingin menutupi aib orang lain?
Perhatikan Rasulullah, dalam catatan perjalanan hidupnya tidak pernah membicarakan aib orang lain, Ia sangat santun dari cara menyampaikan kritik tidak pernah menyebut nama. Yang bersangkutan merasa, namun pihak lain tidak tahu. Jika seagung Rasulallah saja menutupi aib orang lain, lalu kenapa dengan kita yang kapasitas kebaikan jelas-jelas di bawahnya. Inilah makna hijab bermasyarakat, bertetangga, berbangga dan bernegara.
Terlebih situasi kontestasi perebutan kepala daerah, gubernur dan presiden, maka ujaran kebencian pun seakan menjadi hal biasa. Menyampaikan kejelekan, kebobrokan, kegagalan antar kubu seakan menjadi kegandrungan semua kalangan. Ironisnya aib-aib yang dimediakan ini bukan semata sebagai pelajaran, tapi upaya menkonstruk pola pikir masyarakat dalam bahasa Antonio Gramsci menghegemoni massa menjadi tidak percaya lagi, bahkan sampai membenci kubu lain.
Tuntutan refrensial teks menutupi aib orang dalam hadits sudah jelas. Aib akan ditutupi jika kita menutupi aib orang lain. Dalam sebuah hadits riwayat Imam at-Tirmidzi disebutkan: Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang Muslim saat di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat.
Senada dengan hal tersebut, Imam Syafii menyatakan: Lidahmu janganlah engkau pergunakan untuk membicarakan aib orang lain. Ingatlah aibmu juga banyak, dan orang lain juga punya lidah. Dalam mutiara hikmah Umar ibnu Khattab yang sangat terkenal disampaikan: Koreksi dirimu sebelum mengoreksi orang lain.
Kebanyakan waktu kita habis untuk menghisab atau menilai kesalahan orang lain, sehingga tidak punya waktu untuk menghisab diri sendiri. Jean de la Bruyère, penulis dari Perancis (1645-1696) mengatakan bahwa orang yang memperhatikan aib orang lain, menyebabkan dia tidak pernah mempunyai waktu untuk mengetahui aibnya sendiri.
Makna kedua jilbab adalah pelindung, baik melindungi dari radiasi sinar matahari dan gangguan alam lainnya sekaligus melindungi dari tatapan syahwat orang lain. Makna melindungi ini harus ditafsirkan pada skala yang lebih makro, yakni tidak hanya kerudung atau jilbab yang dipakai sebagai pelindung diri. Tetapi mestinya harus menjadi pelindung bagi masyarakat dan bumi tempat hidup dan bersujud. Tuhan menyelipkan makna dalam setiap jilbab perempuan bahwa manusia harus menjadi pelindung bagi kemanusiaan dan alam yang diciptakan.
Termasuk tentu saja melindungi rakyat dari ketertindasan, ketertinggalan ekonomi, pendidikan, hukum, jaminan sosial serta dari kesewenang-wenangan. Melindungi anak cucu dari keterbelakangan pendidikan, melindungi buruh, anak miskin di bawah bayang kaki tirani dan penindas. Seperti Nabi dan Rasul Tuhan yang melindungi umatnya dari ketertindasan, kedzaliman, perbudakan dan perilaku yang tidak senafas dengan prikemanusiaan.
Pada sisi yang bersamaan sebagai warga bangsa yang diamanahi sebagai khalifah di muka bumi Indonesia berkewajiban melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rongrongan dan ancaman yang silih berganti bahkan sudah merupakan permasalahan laten tak berkesudahan. Korupsi, kerusakan lingkungan, penegakan hukum yang lemah, isu-isu radikalisme-terorisme serta hoaks dan masih banyak deretan permasalahan lain.
Kasus korupsi yang sudah menjadi tradisi berkesinambungan dari generasi ke generasi dan terstruktur sistematis, merupakan rongrongan nyata dan masif yang merugikan negara. Ironis dan menyedihkan karena dalam kurun waktu 6 bulan mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2017, Indonesia Corupption Watch (ICW) mencatat ada 226 kasus korupsi. Kasus dengan jumlah tersangka 587 orang itu merugikan negara Rp 1,83 triliun dan nilai suap Rp 118,1 miliar.
Melihat fakta kejahatan semacam itu kita harus menjadi pelindung untuk negara dari rongrongan para koruptor melalui penegakan hukum yang tegas seperti hukuman mati. Demikian pula adanya sanksi moral bahwa masyarakat tidak akan memilih siapapun mereka dari apapun agama dan organisasinya jika sudah jelas terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Karena harus diakui, apa yang dikatakan Gus Dur bahwa membiarkan terjadinya korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri dengan ritus-ritus hanya akan berarti membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju.
Yang tidak kalah menyedihkan adalah persoalan kerusakan lingkungan, termasuk kerusakan alam dan hutan di Indonesia yang kian memprihatinkan. Berdasarkan catatan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Data dari kementerian ini menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar di antaranya sudah habis ditebang. Bahkan Indonesia menempati urutan kedua tertinggi kehilangan luas hutannya yang mencapai 684.000 hektar tiap tahun. Eksplorasi alam sebagai upaya melindungi kerusakan alam dari deforestasi dan deformasi hutan perlu digalakkan bersama-sama.
KH Ali Yafie dalam bukunya Merintis Fiqih Lingkungan Hidup mengatakan kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana sensitifitas dan kepedulian terhadap keberlangsungan lingkungan hidup. Deklarasi Islam tentang perubahan iklim oleh 20 negara di Turki tahun 2015 menyatakan bahwa perusahaan besar, lembaga keuangan, dan dunia usaha harus menaruh perhatian lebih kepada tanggung jawab sosial dan ekologis khususnya ketika memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber daya langka.
Catatan Akhir
Sebagai kesimpulan perlu ditegaskan bahwa ajaran dan makna jilbab mengandung ajakan dengan penuh kesadaran menumbuhkan kepedulian dan kepekaan bersosial. Menjadi manusia yang menutupi segala kesalahan dan khilaf serta perilaku buruk orang lain. Karena keburukan bukan untuk dibicarakan, tetapi bagaimana diperbaiki. Pesan sosial jilbab selanjutnya menjadi manusia yang senantiasa melindungi manusia dan alam sekitar.
Kedua makna dan pesan kemanusiaan dari jilbab ini merupakan visi dam misi seorang berteologis pada aspek kemaslahatan yang bersifat universal. Karena alam dan seisinya ini menjadi rahmat bagi manusia, serta tidak ada satupun yang sia-sia. Oleh karenanya jilbab isn't just what you're wearing but it's also what you do and say. Bahwa jilbab bukan hanya tentang apa yang kamu kenakan, tapi juga tentang apa yang kamu lakukan dan katakan.
Ketua BEM IAIN Jember Jawa Timur dan Koordinator Keilmuan PMII Komisariat IAIN Jember