Opini

Jalan Lurus Mudik Menuju Fitrah

NU Online  ·  Jumat, 17 Juli 2015 | 06:02 WIB

Oleh Dr Eman Suryaman MM
Hidup harus kita maknai sebagai perjalanan. Dalam perjalanan itu dibutuhkan ritme untuk mencapai tujuan. Sekalipun jalanan lurus tanpa halangan, kita tidak boleh "aji mumpung" ngebut tanpa kontrol. Berita-berita tentang kecelakaan di jalan tol Cipali-Cirebon belakangan ini adalah contoh di mana jalan lurus tanpa hambatan justru sering membawa celaka. Kita pun turut prihatin dan berduka karenanya.
<>
Jalanan lapang tak menjamin keselamatan kalau kecepatan tidak dikendalikan. Apalagi bagi yang belum berpengalaman karena minimnya pengetahuan medan. Banyak kendaraan celaka bukan disebabkan problem eksternal, melainkan karena sebab internal. Demikian juga; banyak dari kisah kehidupan ini yang gagal atau celaka bukan karena faktor eksternal, melainkan akibat ketidakmampuan individu mengontrol dan memanfaatkan potensi dan peluang yang dimiliki diri sendiri.  

Persinggahan Ramadhan

Seperti kita membutuhkan rest-area untuk istirahat di jalan tol, dalam perjalanan hidup kita juga butuh rest-area; sebuah persinggahan untuk kendali. Sebab, hasrat serba cepat apalagi instan tak bisa sepenuhnya menjamin kebaikan.

Ramadhan adalah tempat baik, tetapi belum tentu bisa secara otomatis berguna bagi perbaikan diri karena pada ujungnya kebaikan atau keburukan manusia juga ditentukan subjek (fail). Bahkan bisa jadi puasa tidak berdampak apa-apa selain lapar dan dahaga. Sebab puasa memang bukan tujuan, melainkan alat; kendaraan untuk mencapai tujuan, yakni ketakwaan.

Dari sini kita bisa menyimpulkan, puasa memang kewajiban yang tak bisa ditawar oleh umat Islam. Tetapi pada esensi peraihan tujuannya, kita dihadapkan pilihan: apakah memilih sekadar lapar dan dahaga, atau sungguh-sungguh untuk mencapai takwa. Al-Quran memberikan kebebasan kepada manusia. Dengan modal akal itulah kita bisa menentukan pilihan-pilihan bebas untuk mengambil jalan lurus dan kita memilih menghindar jalan sesat. (Qs: Al-fatihah 6-7).

"Jalan yang lurus" adalah jalan yang hendak ditempuh oleh setiap muslim sebagai jalan yang akan membawa kita agar pada keberhasilan hidup di dunia serta-merta usaha untuk meraih keselamatan di akhirat. Makna jalan lurus tentu saja tidak sekonkret yang kita pikirkan sebagai jalan yang tidak berkelok, tidak terjal, dan mudah dilewati. "Jalan lurus" ini adalah semacam isyarat tentang kebenaran. Apa yang benar dalam Islam?

Kebenaran dalam "jalan lurus" itu mutlak hanya pada Allah Swt. Adapun dalam diri manusia harus digali dan tidak mutlak. Sebab, siapa sih yang bisa mutlak menjalankan perintah Tuhan secara kaffah (sempurna)?

Patokan mutlak terdapat pada dimensi keimanan (rukun Islam dan rukun iman). Pada dimensi praktik muamalah (interaksi antar manusia) yang diarahkan pada tujuan untuk Allah Swt, jalan lurus ibarat sebuah syari'ah yang makna esensialnya "sebagai jalan menuju sumber air". Usaha untuk tetap berada di jalan syari'ah adalah dengan upaya perumusan-perumusan berpikir dengan mengusahakan produk hukum bernama fikih (atau dalam pengertian lebih luasnya, ijtihad muamalah) di berbagai bidang secara kreatif dan benar-benar aplikatif untuk memberi rahmat bagi kehidupan sekarang.

Dengan kata lain, dalam menempuh "jalan yang lurus" kita bisa memanfaatkan banyak cara dan beragam model tindakan (amal) saleh. Terutama dalam bidang muamalah, realitas sosial kita sangat banyak memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk berbakti pada kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Ada banyak saudara-saudara kita yang menderita karena kekurangan. Di sanalah terbentang jalan lurus untuk berderma. Ada banyak hal-hal yang tak Islami dalam lingkungan sekitar kita seperti sampah berserakan, selokan dan got mampet hingga menyusahkan pengguna jalan. Kerja bakti bergotong-royong mengatasi lingkungan kecil seperti itu memiliki nilai yang besar karena memberi manfaat bagi ribuan orang. 

Di Jalan Fitri

Di sinilah pentingnya Ramadhan harus dikelola secara baik sebagai tempat kendali yang benar. Idul fitri adalah perayaan, karena secara harafiah berarti "hari raya kemenangan". Tetapi aplikasi pestanya bukan berlebih-lebihan dan dimensinya bukan sebatas urusan kebahagiaan individual apalagi semata bersifat duniawi, melainkan untuk aplikasi rahmat kemanusiaan.

Karena itu sebaik-baiknya Idul Fitri mestinya dimanfaatkan penuh untuk pengabdian kepada sesama. Kenikmatan bisa didapat secara personal. Tetapi kebahagiaan hanya bisa didapat dengan jalan solidaritas. Itulah mengapa kita bisa berbahagia jika kita mampu berbagi. Berbagi materi, ilmu, berbagi kebaikan tegur-sapa melalui silaturahim dan seterusnya adalah anjuran Islam.

Melalui penyelesaian puasa sebulan penuh, memang kita telah menang melawan hawa nafsu. Minimal menang melawan nafsu konsumsi berlebihan. Karena itu pada Idul Fitri nanti kita usahakan teraplikasikan dalam "perayaan" kemanusiaan dengan kegiatan antara lain; 1) bermaaf-maafan dengan kerabat, teman, saudara. Saling memaafkan artinya bersolidaritas di antara sesama manusia (hablum min al-nas). Ini merupakan bentuk lanjutan tujuan dari puasa di mana Ramadhan merupakan upaya "pembakaran dosa", dengan titik sentral persembahan kepada Allah Swt, kemudian Idul Fitri melanjutkan upaya penghapusan dosa pada sesama manusia.

Prinsip dalam Islam, jika kita sadar akan kesalahan seketika itu pula harus meminta maaf dan yang diminta juga harus berusaha memaafkan. Tetapi khusus untuk maaf-maafan Idul Fitri maksudnya adalah jika ada kesalahan yang tidak sengaja atau ada kekurangan selama berhubungan. Kemudian diperlukan saling memaafkan supaya tidak ada hutang dosa di antara sesama.  

Kedua, silaturahim sangat bermakna untuk merajut hubungan yang putus, atau menjauh. Dengan bersilaturahim kita bisa menyapa sanak-saudara dalam situasi yang akrab, menumbuhkan perhatian, mengembangkan solidaritas kemanusiaan pada kaum musta'afin, dan saling memberi makna atas kehidupan yang beragam.

Sebulan penuh berpuasa kita telah bersinggah; menyehatkan badan dengan kontrol makanan, memberi perhatian pada kaum lemah, menajamkan intuisi melalui kesabaran, memperbanyak ibadah, dan lebih penting lagi adalah mengenal kesejatian diri.

Melalui puasa dan Idul-Fitri, kita bisa menemukan diri. Sebab itulah yang penting karena filosofi kita adalah "man arafa nafsahu faqad arrafa rabbahu": barang siapa mampu memahami dirinya, maka ia akan mampu memahami Tuhannya. Selamat Mudik. Selamat Ber-Idul-Fitri. Mohon maaf lahir batin

* Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat.