Oleh A Muchlishon Rochmat
Tidak sedikit orang yang nyinyir terhadap kegiatan istighotsah yang digelar oleh Nahdlatul Ulama (NU). NU bisanya hanya istighotsah saja, istighotsah tidak ada manfaatnya, buat apa sih istighotsah, kenapa berdzikir aja harus beramai-ramai seperti itu, berdoa kok dipamerin seperti itu, buang-buang waktu, dan nyinyiran lainnya. Begitulah kira-kira beberapa penilaian terhadapa istighotsah.
Istighotsah memiliki makna meminta pertolongan kepada Allah SWT. Biasanya, istighotsah diselenggarakan dengan tunjuan untuk meminta pertolongan kepada dzat yang Maha Kuasa ketika terjadi keadaan yang sulit dan sukar. Praktik istighotsah adalah orang-orang berkumpul di dalam satu tempat dengan menggunakan busana putih-putih. Para tokoh agama dan masyarakat duduk di panggung yang sudah disediakan, sementara pesertanya duduk lesehan menghadap ke arah panggung. Lalu kemudian mereka melantunkan bacaan-bacaan wirid dan dzikir, diselingi dengan sambutan-sambutan dan mauidloh hasanah, dan diakhiri dengan doa bersama. Inti dari acara istighotsah adalah doa bersama.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia -bahkan dunia- menjadikan istighotsah sebagai perantara untuk menyelesaikan persoalan sosial-politik- kemasyarakatan –baik tingkat regional maupun nasional- yang dianggap sudah pada tahap berbahaya (dangerous) dan mengancam keutuhan serta persatuan bangsa Indonesia. Tentu, itu ditempuh setelah melakukan berbagai usaha. Warga NU percaya bahwa berdoa adalah penyempurna dari usaha seorang hamba agar apa yang mereka harapkan dikabulkan oleh Yang Maha Mendengar. Doa adalah senjatanya orang yang beriman. Bukankah Tuhan akan lebih mendengar dan mengabulkan doa yang dilantunkan secara bersama-sama.
Pada 9 April 2017, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menggelar Istighotsah Kubro di Gelora Delta Sidoarjo. Ada ratusan ribu yang hadir dari berbagai kabupaten di Jawa Timur. Sebagaimana yang diuatarakan oleh Rais ‘Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin, istighotsah kubro tersebut bertujuan untuk mendoakan umat, bangsa, dan negara Indonesia agar aman, sejahtera, damai, dan terhindar dari segala macam malapetaka.
Menurut hemat saya, acara Istighotsah Kubro tersebut digelar karena NU melihat kondisi bangsa Indonesia yang memprihatinkan. Mulai dari korupsi yang merajalela, wakil rakyat yang tidak mewakili aspirasi rakyat, hingga semakin maraknya gerakan yang ingin merongrong pondasi dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila.
Mereka semakin berani menampakkan diri dan menentang pemerintahan yang sah. Bahkan, mereka dengan terang-terangan ingin ‘merobohkan’ Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menggantinya dengan negara khilafah . Ironisnya, mereka diberi izin dan ‘dibiarkan’ begitu saja oleh aparat negara untuk melakukan berbagai aktivitas dan pawai-pawai di ruang publik.
Sebagai organisasi yang memiliki amanat untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia, maka NU ‘turun tangan’. Dilakukanlah berbagai macam cara untuk meng-counter kelompok-kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Mulai dari diskusi di forum-forum kajian keislaman, menerbitkan buku-buku, berkoordinasi dengan aparat kepolisian untuk membatalkan acara mereka, hingga menyelenggarakan istighotsah besar-besaran untuk ‘unjuk gigi’ dan menegaskan bahwa NU tidak tidur dalam menjaga keutuhan dan persatuan bangsa ini.
Sisi Lain Istighotsah
Selain untuk berdoa bersama, saya rasa istighotsah juga bisa dijadikan alat perantara untuk menyatukan bangsa Indonesia yang terbelah karena berbeda dalam memilih kepala daerah. Sejak pemilihan presiden tahun 2014, seolah-olah masyarakat kita terbelah menjadi dua kelompok; barisan yang mendukung si A, barisan yang mendukung si B. Polarisasi tersebut masih berlanjut sampai sekarang meski pilpres sudah usai tiga tahun yang lalu. Dan itu merembet kemana-mana, termasuk ke tingkat pemilihan kepala daerah.
Bukan hanya itu, asosiasi partai politik yang berbeda juga kadang menjadikan hubungan antar anak bangsa menjadi renggang. Kadang mereka tidak sungkan sikut sana-sikut sini untuk memenangkan partainya. Yang menjadi penyakit adalah mereka melupakan dan ‘menggadaikan’ persatuan anak bangsa ini demi kelompoknya sendiri. Menurut saya, itu harus dicarikan mediumnya agar polarisasi anak bangsa bisa terjembatani.
Kita akan merasa adem dan tenang ketika melihat istighotsah. Bagaimana tidak, semua orang dari berbagai lapisan masyarakat, beda partai, beda memilih presiden dan gubernur, tetapi mereka bisa kumpul dan akur di dalam satu tempat. Mereka duduk dalam satu majelis dzikir dan larut di dalamnya hingga mereka lupa akan perbedaan-perbedaan yang menganga di antara mereka. Bukankah itu hal yang indah.
Istighotsah bisa menjadi medium untuk menyadarkan anak bangsa ini bahwa kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia adalah di atas segala-galanya. Buktinya, mereka bisa ‘duduk akur’ dalam satu wadah –yang namanya istighotsah- demi mendoakan Indonesia yang lebih baik dan menjaga keutuhannya.
Singkatnya, istighotsah bukan hanya sekadar berdoa bersama, tetapi ada nilai persatuan di dalamnya.
Penulis adalah alumnus Perguruan Islam Mathali’ul Falah