Opini

ISIS dalam Jargon Politik

NU Online  ·  Senin, 18 Agustus 2014 | 01:30 WIB

Jargon adalah istilah khusus yang dipergunakan di bidang kehidupan (lingkungan) tertentu. Setiap era perjalanan hidup umat manusia mempunyai ciri khas bahasa yang terjawantah pada jargon-jargon yang menjadi buah bibir masyarakat di kurun masa itu. Contohnya pada era tahun 1960an  ada dua blok (kubu) raksasa di dunia yakni blok Amerika Serikat dan blok Uni Sovyet (Rusia).<> Hampir setiap hari kedua blok melakukan ”perang urat saraf”, saling mengancam dan saling menghardik mengenai berbagai isu di dunia, meskipun realitanya masing-masing pihak tak pernah terlibat dalam perang frontal. Jadi cuma terlibat dalam ”perang kata-kata” Oleh karenanya, situasi saling bermusuhan yang terselubung ini dinamakan dengan ”perang dingin” (cold war).

Menghadapi salah satu isu di era pasca perang dingin terkini, kita tak perlu latah menyebut ISIS dengan istilah “ISIS dan ideologi transnasional”. Akan menjadi promosi gratis dan membesarkannya. Bagi kalangan muda kampus akan terdengar gagah dan memiliki kategori akademik yang bisa membuat tertipu atau terbius. Namanya memang diciptakan mereka untuk menarik sensasi/ perhatian dan  memenangkan gerakan mereka dalam publikasi media sekaligus gazwatul fikri, dan agar mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya sebagai martir,  padahal dijadikan tumbal dengan bahasa mereka menjadi pengantin bidadari ke surga, jargon yang meninabobokan

Istilah transnasional hanya diperlukankan kita untuk memudahkan kategori dan kepentingan analisa. Karena istilah transnasional bisa juga disematkan kepada gerakan Pan Islamisme atau Globalisasi yang punya nilai plus minus (relative). Pan Islamisme pernah berjasa, dipakai untuk membangkitkan kemerdekaan di banyak negara dari cengkeraman penjajah- Kita juga berhutang budi dari bangsa lain, sedikitnya 3 anggota Wali Songo berasal dari Palestina yang berhasil dengan damai menyebarkan Islam di nusantara. Makanya bangsa Indonesia wajib membalas, membantu Palestina agar damai dan merdeka.

Belajar dari cara pengalaman rezim orde baru menjatuhkan mental lawan dan menyebut gerakan radikal dengan istilah antara lain GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), yang membuat onar di masyarakat, sehingga tidak mendapat simpati masyarakat. Maka kita menyebut ISIS jangan dengan jargon yang mereka buat yang berlabel mentereng dan ikut-ikutan latah justru mengangkat dan mengorbitkan mereka, berarti kita telah terpedaya irama permainannya.  Di masyarakat lebih baik sebut saja ISIS yang sebenarnya, hanya merupakan Gerombolan Arab Badui. Untuk mengecilkan namanya dan agar mereka mendapat penilaian negative sesuai cara keji gerakannya. Tapi kita tidak boleh lengah, tetap serius mewaspadai pergerakannya yang masiv dan terstruktur,.Sebenarnya cara kemunculannya hampir sama dengan gerombolan yang telah merampas kekuasaan Raja Syarif  Abdullah di Hijaz ayah Raja Hussen Yordania.

Maaf, tentu berbeda dengan Badui Banten yang memiliki kearifan lokal, kalau mereka tidak maju hanya karena tidak tahu tentang Islam dan pengetahuan modern. Sedangkan ISIS  tidak tahu Islam  tapi tidak mau belajar malah sok tahu bahkan dengan cara gampang menafsirkan dengan hawa nafsu politik pribadinya.

Begitu juga sama halnya rezim baru di negara Arab lainnya merupakan kemunculan regenerasi Fir’aunic masa lampau, kebangkitan kekuasaan system militer totaliter yang sekuler.

Begitupun istilah Khilafah Islam atau pun Islamic State yang digembar-gemborkan sebenarnya paling ideal seperti masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin, tetapi oleh mereka dibawa kepada pengertian sistem monarki kepentingan klan Islam, tidak sesuai dengan nama Islam yang disematkan oleh mereka sendiri yang sebenarnya rahmatan lil ‘alamin. Jadi yang mereka usung Khilafah Islam gadungan. Kita jangan salah gebuki Khilafah Islam nya, mestinya pencuri wacana itu yang telah merebut dari hati ummat Islam. Dan kita kembalikan Khilafah Islam dalam pengertian yang benar dalam bingkai NKRI, Pancasila dan Konstitusi UUD.

Lalu bagaimana tindakan kita dan pemerintah terhadap ISIS? Sepatutnya kita mencontoh cara Rasulullah menghadapi kekasaran badui (penulis tidak menggunakan lagi kata ISIS), yaitu dengan cara sabar, santun, bijak dan cerdas. Dalam batas terterntu selain melakukan pembinaan/ pendidikan kita juga meneladani Khalifah Abubakar bin Shiddiq bertindak tegas terhadap pemberontak yang melawan simbol negara  yang syah. (Contoh kedua cerita dalam sejarah dalam seri tulisan tersendiri)

Dalam percaturan global kita perlu mewaspadai peran negara besar dan zionis yang secara tidak langsung aktif di belakang metamorfosa berdirinya ISIS untuk mencari jalan mencampuri urusan dalam negeri orang lain dengan alasan kemudian ingin membantu memerangi ISIS. Aneh, kecurigaan kita beralasan, karena begitu cepat mereka mendapat persenjataan modern dan terlatih, kemampuan organisasi pergerakan, dan dana yang begitu besar dan keberhasilan ekspansi penguasaan wilayah yang semakin meluas ditopang oleh kebencian membara tanpa memiliki rasa kemanusiaan sedikitpun? Mereka dicekoki ideologi macam apa itu. Yang jelas Islam tidak mengenalnya sama sekali. Berpegang Al-Qur’an, kita jangan gentar secuil pun, Innallaha ma’ana, Dan bukankah Allah SWT telah  menjamin pertolongan-Nya, asal kita mau bekerja keras dengan ikhlas, segala kebathilan pasti lenyap di muka bumi.

Abdullah Hamid, Pengelola Pokjar Lasem Universitas Terbuka