Opini

Hukum Mengucapkan “Selamat Natal”

Sen, 14 Oktober 2019 | 05:00 WIB

Hukum Mengucapkan “Selamat Natal”

Ilustrasi persaudaraaan. Sumber Wikihow

Oleh Muchlishon

 

Masyarakat Indonesia kerap kali berdebat mengenai boleh dan tidaknya mengucapkan selamat atas hari besar agama lain, seperti hari Natal, Nyepi, dan seterusnya. Ada kelompok masyarakat yang membolehkan, namun tidak sedikit yang melarang. Perdebatan ini kerap membesar, baik di dalam kehidupan sehari-hari dan di jagad media digital.

 

Sebelum lebih jauh, ada baiknya kita melihat ragam pandangan ulama dalam melihat hal ini. Para ulama sendiri juga terbagi menjadi dua kelompok dalam melihat fenomena ini; ada kelompok ulama yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan. Masing-masing memiliki argumentasi dan dalil untuk mengukuhkan pendapatnya.

 

Perbedaan ini dikarenakan tidak adanya ayat Al-Qur’an atau hadits yang secara jelas menerangkan hukumnya. Oleh para ulama, hal seperti ini dimasukkan dalam kategori persoalan ijtihadi.

 

Boleh

 

Sebagian kelompok ulama yang membolehkan ucapan selamat atas hari besar umat beragama lain berpedoman pada Al-Qur’an Surat al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

 

Dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang seorang Muslim untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan mengusirnya. Nah, mengucapkan selamat hari raya non-Muslim dinilai sebagai salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-Muslim. Dengan demikian, adalah boleh hukumnya melakukan hal demikian.

 

Ulama yang memperbolehkan juga menjadikan hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan Anas bin Malik sebagai dalil atas pendapat mereka. Bunyi hadits tersebut adalah: “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi Muhammad, kemudian ia sakit. Maka, Nabi mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’ Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata: ‘Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad).’ Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi keluar seraya bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.”

 

Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad memberikan teladan kepada umatnya agar berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak memerangi mereka. Begitupun dengan mengucapkan selamat hari raya atas agama lain kepada mereka yang memperingatinya. Ulama yang membolehkankan menilai hal itu sebagai bentuk berbuat baik kepada non-Muslim. Maka memberi selamat hari raya kepada mereka hukumnya boleh.

 

Kelompok ulama ini juga berpendapat bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada non-Muslim bukan berarti mengakui apa yang dipercayai mereka, namun lebih pada penghormatan dalam bermasyarakat dan menjaga kerukunan bersama.

 

Di antara ulama yang membolehkan adalah Syekh Ali Jum’ah, Syekh Muhammad Rasyid Ridla, Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh al-Syurbashi, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Ishom Talimah, Syekh Musthafa al-Zarqa', Prof. Dr Abdussattar Fathullah Sa'id, Prof. Dr. Muhammad al-Sayyid Dusuqi, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan lainnya.

 

Tidak boleh

 

Sementara itu, di sini yang lain, terdapat ulama yang mengharamkan. Para ulama berpedoman pada beberapa sejumlah dalil, salah satunya adalah Al-Qur’an Surat al-Furqon ayat 72: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

 

Kelompok ulama ini menafsirkan ayat di atas bahwa ciri orang yang akan mendapatkan martabat tinggi di surga adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sementara seorang Muslim yang memberikan ucapan selamat atas hari raya agama lainnya dianggap sama dengan memberikan persaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat non-Muslim tentang hari rayanya. Sebagai konsekuensinya, dia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Atas dasar itulah, mereka mengharamkan ucapan selamat atas hari raya non-Muslim.

 

Dalil lain yang mereka gunakan untuk menguatkan argumentasinya adalah hadits riwayat Ibnu Umar, yaitu “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” Hadits ini sangat terkenal dan sering dipakai oleh sekelompok umat Islam untuk mengafirkan umat Islam lainnya, hanya karena mereka dianggap ‘menyerupai’ non-Muslim.

 

Hadits di atas juga dipakai dalam menghukumi ucapan selamat atas hari besar agama lain. Bagi ulama yang mengharamkan, seorang Muslim yang memberi ucapan selamat atas hari raya agama lain berarti dia menyerupai tradisi umat tersebut. Karena menyerupai, maka dia termasuk dari kaum tersebut. Oleh karena itu, memberi selamat haram non-Muslim menjadi haram hukumnya.

 

Di samping itu, mereka juga berpendapat bahwa seseorang Muslim yang mengucapkan selamat hari raya non-Muslim dianggap ikut serta dalam menysiarkan ajaran orang-orang kafir. Padahal, Allah tidak meridhai para hambanya yang kafir.

 

Di antara ulama yang mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat atas hari raya agama lain adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Haqil, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi, dan lainnya.

 

Saling menghormati

 

Karena sifatnya yang ijtihadi, maka hukum memberi selamat hari raya non-Muslim tidak lantas mutlak haram dan juga tidak multak boleh. Perbedaan situasi dan keadaan membuat setiap Muslim tidak bisa diseragamkan hukumnya dalam hal mengucapkan selamat atas hari raya agama lain bagi setiap Muslim tidak bisa diseragamkan.

 

Misalnya, seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada seseorang yang memiliki kedekatan dengannya—seperti hubungan saudara atau partner bisnis- sebagai bentuk penghormatan karena mereka juga menghormati Islam. Juga diniatkan untuk menunjukkan keutamaan ajaran Islam dari sisi akhlak. Maka hal itu boleh saja, sepanjang tidak diiringi keyakinan yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah seperti mengikuti rangkaian kegiatan pada Hari Natal atau hari raya agama lainnya. Namun dalam situasi dan keadaan sebaliknya, hukum mengucapkan selamat hari raya non-Muslim bisa haram.

 

Yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai perbedaan pendapat tersebut menjadi penyulut konflik di dalam tubuh umat Islam. Sekali lagi, karena hal ini bersifat ijtihadi, maka jangan sampai ada satu pihak yang mengklaim bahwa pendapatnya lah yang paling benar dan yang lainnya salah. Alangkah baiknya kalau kita saling menghormati dengan pilihan masing-masing, tanpa harus memaksakan pendapat kita kepada orang lain. Apalagi mengafirkan mereka yang tidak sependapat dengan kita. Wallahu ‘Alam

 

Penulis adalah Redaktur NU Online