Opini

Hukum Fiqih Memandang Fenomena Selfi

Sen, 14 Mei 2018 | 21:00 WIB

Hukum Fiqih Memandang Fenomena Selfi

Ilustrasi: techno.id

Oleh Saqifa Robi'ah Al Adawy

Siapa yang tidak mengenal selfie pada zaman modern ini? Jika dahulu berfoto hanya sebagai kebutuhan sekunder maka kini telah menjadi gaya hidup dalam kegiatan sehari-hari. Bahkan dalam melaksanakan setiap aktivitas tidak dapat lepas dari kegiatan selfie hanya untuk mengabadikan suatu momen.

Jika dahulu orang mengambil foto ketika mendapati suatu momen yang bagus dan hanya dijadikan hiasan rumah, sekarang dapat melibatkan si pelaku atau digunakan untuk potret diri. Dengan fasilitas internet selfie atau potret diri dengan mudahnya menghiasi linimasa atau halaman media sosial. Fenomena selfie seolah menjadi candu dan kebutuhan membudayayang telah mengakar di masyarakat. Selanjutnya, bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi?

Selfie merupakan tentang bagaimana kita mendefinisikan diri kita sendiri dan merupakan suatu cara untuk mencari jati diri kita. Faktor lainnya karena didukung oleh derasnya kemajuan teknologi yang semakin canggih, yang menyajikan perangkat dan modifikasi foto dengan kualitas yang lebih baik.

Media sosial merupakan faktor yang sangat memengaruhi hal tersebut, dengan mengambil foto dan membaginya dengan ribuan orang secara online kapan saja dan di mana saja, dan berdampak pada penilaian orang lain terhadap kita. Hal itu lah yang membuat pelaku sosial media ketagihan dengan selfie. Akan tetapi kebanyakan dari mereka menyalahgunakan hal tersebut untuk sekedar mencari perhatian, membuat sensasi, mendongkrak popularitas, riya’hingga pamer. Dan apabila kita tidak berhati-hati ketika ber-selfie, hal tersebut dapat mencelakai kita, bahkan tak jarang jika selfie berujung pada kematian.

Fenomena selfie semakin marak dan seolah seperti fenomena global, sebuah fenomena untuk sekedar pencitraan terhadap diri sendiri kepada seluruh penjuru dunia. Citra yang ditampilkan bukan cerminan asli dirinya sendiri, seakan hanya ingin di ekspresikan kepada orang lain yang melihat kita. Peminat selfie tidak dikelilingi remaja saja, akan tetapi tak terbatas baik dari ras, agama, usia, maupun kondisi ekonomi masyarakat.

Tak dapat dipungkiri bahwa selfie lebih banyak digandrungi oleh kaum hawa yakni muslimah. Kebanyakan dari mereka melakukan hal tersebut tanpa menjaga adab-adab Islami, baik kurang sempurnanya menutup aurat dan melakukan pose-pose yang diduga dapat menimbulkan fitnah atau mendorong kemaksiatan.

Lalu, bagaimana menurut kacamata fiqh perihal fenomena tersebut?  Berfoto merupakan perkara mu’amalah yang hukum asalnya boleh. Menurut kaidah fiqh

الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلَةُ الْإِبَاحَة حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمها
(Asal hukum mu’amalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya).

Namun, di kutip dari KaryaTulis.com, menurut hasil Bahtsul Masail para santri se-Jawa dan Madura di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri pada 15 April 2015), selfie menjadi haram jika menimbulkan fitnah dan mengundang orang lain untuk bekomentar negatif.

الفقه الإسلامي وأدلته الجزء الرابع, ص: ٢٢٤الكتاب:
أما التصوير الشمسي أو الخيالي فهذا جائز، ولا مانع من تعليق الصور الخيالية في المنازل وغيرها، إذا لم تكن داعية للفتنة كصور النساء التي يظهر فيها شيء من جسدها غير الوجه والكفين، كالسواعد والسيقان والشعور، وهذا ينطبق أيضا على صور التلفاز  . وما يعرض فيه من رقص وتمثيل وغناء مغنيات، كل ذلك حرام في رأيي

(Adapun hukum gambar dari hasil kamera itu boleh selama tidak mendatangkan fitnah seperti gambar wanita yang tampak sesuatu dari jasadnya selain wajah dan kedua telapak tangan).

الكتاب: توشيح على ابن قاسم, ص:١٩٧
الفتنة هي ميل النفس ودعاؤها إلى الجماع أو مقدماته والشهوة هو أن يلتذ بالنظر
(Yang dinamakan fitnah adalah ketertarikan hati untuk melakukan zina atau pendahuluannya dan mengundang orang lain untuk berkomentar yang yang negatif).

Jadi, hukum selfie adalah boleh apabila yakin atau ada dugaan kuat bahwa hal tersebut tidak akan menimbulkan fitnah. Fitnah di sini yang dikehendaki berarti suatu hal yang dapat mendorong kemaksiatan atau ketertarikan hati untuk mendekati zina bahkan melakukannya, dan mengundang orang lain berkomentar senonoh yang tidak sesuai syariat Islam. Adapun haram tidaknya selfie tergantung dari niat dan tujuan si mukallaf(pelaku), apabila digunakan untuk menipu, menghina, dan melecehkan orang lain yang dapat menimbulkan penyakit hati, maka hukumnya haram.

Seiring berkembangnya teknologi dan tuntutan zaman kebutuhan foto sangatlah tinggi. Seperti dalam foto surat kabar, sarana berbisnis, dokumentasi instansi pendidikan, bahan investigasi pihak kepolisian, urgensi pencacatan sipil warga negara, serta hal-hal penting lainnya, semuanya mutlak membutuhkan foto.

Penulis adalah mahasiswi Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang