Salah satu yang menjadi kelebihan sekaligus kekayaan pesantren ialah keunikan pendidikannya yang cukup mengagumkan. Meskipun terdapat segelintir stigma negatif bahwa pesantren sudah kehilangan jati diri oleh sebab adanya ketergantungan kepada pemerintah, tentu tidak dibenarkan bila hal itu digeneralisir secara serampangan. Masih banyak pesantren di Nusantara ini, khususnya di Madura, yang kuasa sinergis dengan pemerintah tanpa harus tergerus kemandiriannya. Buka mata buka hati, Anda pasti mendapatkan bukti.<>
Itulah yang menjadi alasan penguat bahwa pendidikan di pesantren masih “sejuk” dan elastis. Elastisitas dari pendidikan di pesantren bisa kita lihat tiap kali akhir tahun pendidikan. Di situ kita akan mengenal yang namanya Haflatul Imtihan (Hima). Hima di pesantren lumrahnya diselenggarakan tiap akhir bulan Juni hingga pertengahan Juli. Pada umumnya, acara tersebut memakan waktu sampai seminggu atau bahkan lebih.
Di Hima, akan dijumpai mengentalnya persatuan dan kesatuan masyarakat dengan pesantren. Sebab, masyarakat juga diandilkan demi suksesnya acara tersebut. Meskipun tidak “diupah” secara memuaskan, masyarakat akan tetap mengedepankan kesemangatannya dan berusaha sekuat tenaga agar pengabdiannya tidak mengecewakan. Ikatan emosional antara pesantren dengan masyarakat kian terkukuhkan. Dari sinilah adanya pernyataan bahwa pesantren mulai menjauh dari masyarakat, dengan sendirinya akan lenyap.
Di Hima pula, kita akan menyaksikan beraneka ragam lomba dan hiburan edukatif yang tentu sangat menunjang terhadap kapabilitas keilmuan para santri. Santri akan berlomba-lomba agar menjadi yang terbaik. Dengan begitu, adanya kompetisi edukatif antar santri muaranya akan melahirkan persaingan sehat tanpa ditopang dengan manipulasi dan kecurangan yang bisa menggerus nilai-nilai kejujuran. Nilai-nilai kejujuran inilah yang sangat mahal harganya di era globalisasi saat ini.
Satu hal yang harus disayangkan dalam dunia pendidikan Indonesia secara umum, dalam pandangan Darmaningtyas, ialah kurangnya perhatian pengelola pendidikan terhadap penguatan mental anak didiknya. Meskipun konsep Taksonomi Bloom (Kognitif, Psikomotorik, Afektif), mulai ditanamkan dalam kehidupan anak didik, tapi masih saja didominasi oleh nilai-nilai kognitif. Penulis tidak bermaksud mengerdilkan pendidikan di Indonesia. Tapi yang pasti, kemampuan psikomotorik yang juga mengarah pada pengembangan mentalitas, belum seutuhnya tertanam kuat dalam diri anak didik. Apalagi pendidikan yang bersifat Afektif.
Hebatnya, fenomena semacam itu tidak menimpa kehidupan pesantren. Lagi-lagi kita dapat menemukannya selama Hima diselenggarakan. Uji mental amat dikedepankan. Santri yang kecakapannya tidak nampak sekalipun, menjadi terasah secara maksimal tatkala mereka dituntut untuk mengikuti lomba. Di samping ingin menunjukkan bahwa mereka “bisa”, mereka juga mengharap agar mampu meraih juara terbaik dan memperoleh penghargaan dari panitia penyelenggara. Di sinilah lahir, dalam teori sosiologi, yang namanya “gengsi sosial”. Teori ini sangat membantu timbulnya kekuatan mental yang membaja dari anak didik (baca: santri).
Lebih dari itu, pengajian yang diisi oleh penceramah kenamaan adalah ciri khas yang mewarnai malam puncak dari pelaksanaan Hima. Adalah suatu hal yang dianggap tidak wajar manakala pada malam puncak dari Hima tidak diparipurnai dengan pengajian. Bagi masyarakat, justru pada saat itulah yang menjadi acata inti dari Hima. Itu beralasan ketika menyaksikan kepedulian masyarakat untuk menghadiri sekaligus memeriahkan pengajian Hima.
Paling tidak, terdapat beberapa hikmah yang dapat kita petik dari adanya pengajian yang selama ini menjadi punutup dari Hima. Pertama, penyadaran. Ketika pengajian, kiailah yang tampil sebagai penceramah. Masyarakat yang selama ini tidak sempat sowan kepada kiai karena kesibukannya, dengan sendiri akan tercerahkan oleh sentuhan-sentuhan relijius yang bersumber dari ceramah kiai.
Kedua, rivitalisasi wibawa kiai. Diakui atau tidak, kegagalan beberapa kiai ketika bergelut dalam dunia politik juga berimbas negatif terhadap kiai-kiai yang memang tekun menyebarkan nilai-nilai keberislaman secara kultural. Pengajian di Hima yang diikuti banyak masyarakat tentu kuasa meneguhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada kiai. Konsekuensi logisnya, wibawa kiai menjadi terangkat kembali.
Ketiga, lahirnya relasi kuat antara pesantren yang satu dengan yang lainnya. Di malam puncak, lumrahnya panitia mengundang kiai sebagai penceramah yang berasal dari pesantren lain. Di samping itu, kiai-kiai yang bisa dijangkau secara geografis, juga diminta hadir sebagai bagian dari penghormatan kepada mereka. Jalinan relasi antar pesantren kain mengental.
Mengingat betapa besarnya manfaat dari Hima yang sudah membudaya di pesantren, penulis sangat berharap agar acara tersebut dipertahankan secara berkelanjutan. Sekadar catatan, alangkah lebih sempurnanya bila pelaksanaan acara tersebut juga ditopang dengan kehati-hatian dalam mengendalikan sound sistem yang seringkali mengganggu masyarakat yang mau istirahat pada malam harinya. Wallahu a’lam.
*) Ketua LPM-INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah) PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua