Opini

Hati yang Berpuasa

NU Online  ·  Sabtu, 30 September 2006 | 08:52 WIB

Prof. Dr KH Said Aqiel Siradj

Alhamdulillah, bulan Ramadan telah  tiba. Untuk ke sekian kalinya kita diberi kesempatan  oleh Allah Yang Maha Kuasa merasakan  nikmatnya berpuasa. Dengan berpuasa kita  bisa lebih menikmati arti seteguk air bagi tenggorokan  yang kering. Dengan  puasa kita jadi lebih  tahu manfaat sepiring nasi  bagi perut yang lapar.

<>

Bukankah  hanya dengan kelaparan  kita mengetahui apa  itu kenyang, dan hanya dengan  kehausan kita mengetahui  apa itu kesegaran?  Pada hakikatnya, puasa  tidak hanya berhubungan  dengan kenyang dan lapar.  Memang, dari sisi pandang syariat, puasa sangat  identik dengan pengekangan lahiriah yang  biasa diartikulasikan dengan ”menahan diri  dari makan, minum, dan berhubungan dengan istri dari terbit fajar hingga terbenam matahari”. 

Hal ini dapat dirunut dari makna puasa secara  bahasa yang berasal dari bahasa Arab  Shama, yang berarti amsaka yaitu menahan, mengekang, berhenti, atau tidak bergerak.  Namun, jika ditelusuri lebih jauh, tampaknya kata sha-wa-mayang berarti menahan, juga  merujuk pada aktivitas batiniah  Puasa juga bermakna menahan  hati dari berbagai hal-hal negatif yang bisa merusak jiwa, seperti iri,  dengki, sombong, riya, ujub, dan penyakit hati yang lain.

Sehingga dalam berpuasa seorang muslim sebenarnya dilatih untuk mensinergikan antara dua eksistensi yang berbeda, yaitu jasmaniah dan rohaniah. Karena di dalam rohani kita terdapat ide-ide kebaikan dan  universalitas yang nantinya akan diejawantahkan oleh jasmani dengan sikap hidup keseharian. Sebenarnya dalam jagat rohaniah, dalam dunia batin yang tidak tampak oleh mata, manusia mempunyai beberapa ornamen, di antaranya  adalah qalbdan dlamir.

Biasanya qalb diartikan dalam bahasa Indonesia dengan hati. Akan tetapi makna sebenarnya bukanlah merujuk pada segumpal daging yang terletak di dalam rongga tubuh  manusia, namun lebih menunjuk pada sesuatu yang bersifat rohani yang metafisik dan bukan jasmaniah. Qalbinilah yang sering juga disebut  sebagai mata hati –eye of heart–  atau bashirah. Bashirah mempunyai  potensi untuk melihat kebaikan dan keburukan.

Bashirah adalah ruang dalam diri manusia yang dapat memilah antara yang baik dan yang buruk. Bashirah merupakan  alat pendeteksi yang dianugerahkan oleh Allah untuk manusia. Apabila bashirah hanya bisa  melihat dan memilah antara yang baik dan yang buruk, maka dlamir berfungsi memotivasi manusia untuk berbuat kebaikan dan menjauh dari hal-hal yang buruk.

Oleh karenanya dlamir juga dapat diartikan sebagai moral. Sehingga jika  dilihat dari sisi kualifikasi, konteks, dan batasannya, dlamir – atau  moral– dapat dibagi menjadi tiga,  yaitu pertama, dlamir ijtima’i yakni  moralitas yang terbentuk karena lingkungan dan bersifat sosial. Di sini moralitas lahir sebagai kesepakatan secara sosial.

Kedua, dlamir qanuni adalah moralitas yang terbentuk karena norma-norma dan  ketentuan-ketentuan yang berlaku  dan bersifat legal. Dan ketiga  adalah dlamir dini, yakni moralitas berdasarkan petunjuk agama. Dengan demikian, maka puasa pada dasarnya merupakan pekerjaan dlamir, baik dlamir ijtima’i, qanuni, maupun dlamir dini.

Maksudnya, di dalam puasa terdapat berbagai macam aspek yang tidak  terbatas pada masalah keagamaan  saja namun juga norma dan sosial. Ketika kita puasa, berniat di malam hari untuk menahan diri dari makan dan minum serta berbagai  hal-hal yang keji, hanya karena Allah.

Maka secara otomatis kita telah ikut menjaga kestabilan lingkungan, keamanan, dan ketertiban. Karena sebagai seorang yang  menjalankan puasa – shaim, kita  tidak akan melangkahkan kaki dan mengayunkan tangan untuk  hal-hal yang dianggap oleh masyarakat sebagai hal keji dan buruk.  Wallahu a’lam.(*)     

* Ketua PBNU