Opini

Halal bi Halal sebagai Momentum Rekonsiliasi Nasional

Jum, 5 Juli 2019 | 16:00 WIB

Halal bi Halal sebagai Momentum Rekonsiliasi Nasional

Ilustrasi. Source:GNFI


Oleh: Ahmad Zainul Hamdi

Banyak yang meyakini bahwa Pilpres 2019 adalah Pilpres yang paling memecah kehidupan bangsa. Pilpres tidak lagi diperlakukan sebagai proses politik yang wajar dalam sebuah negara demokrasi untuk memiliki kepala negara secara demokratis. Kuatnya politisasi agama diyakini membuat pesta demokrasi lima tahunan ini dihayati seperti sebuah perang semesta (cosmic war) antara pasukan Tuhan dengan pasukan setan. Berbagai dinamika politik sebelum dan setelah pencoblosan, termasuk berbagai drama mulai demontrasi di depan Bawaslu hingga sidang gugatan Pilpres di Mahkama Konstitusi beberapa waktu lalu, dinarasikan sebagai jihad di mana kematian adalah kemartiran di jalan Tuhan.

Sekalipun formasi koalisi politik di tingkat elit tampak sangat cair dan dinamis, namun narasi-narasi politik yang penuh kebencian terlanjur memberi dampak perpecahan yang sangat dalam di kalangan rakyat. Kolega sekantor atau bahkan sesama anggota keluarga bisa saling tak enak hati, bukan semata-mata karena pilihan politik yang berbeda, tapi cara menarasikan lawan yang sepenuhnya dianggap sebagai liyan yang harus disingkirkan. Poilitik me-liyan-kan lawan inilah yang membuat Pilpres kali ini terasa sangat membelah. Bahkan, proses-proses konstitusional pun terasa tak mampu menyelesaikan polarisasi politik yang terlalu lebar nganganya akibat kebencian yang dipupuk atas nama Tuhan.

Dalam situasi seperti ini, untunglah kita memiliki tradisi Halal bi Halal. Sekalipun Halal bi Halal merupakan tradisi keagamaan Islam mengiringi perayaan Idul Fitri, namun tradisi ini lebih berkarakter sosial daripada peribadatan eksklusif sebuah agama. Halal bi Halal adalah momentum untuk saling meminta maaf dan memaafkan, sekalipun permintaan maaf ini tidak mesti menggungurkan kasus-kasus hukum yang sedang atau layak diproses oleh penegak hukum.

Bukan tanpa alasan menjadikan momentum halabihalal sebagai ajang rekonsiliasi nasional di tengah skhisma politik pasca-Pilpres. Konon, perayaan Halal bi Halal pertama kali digagas oleh Presiden Soekarno di tengah perpecahan politik tahun 1948, di mana para elit politik saling bertengkar dan sulit untuk bertemu. Ditambah dengan berbagai pemberontakan di beberapa daerah, ancaman disintegrasi bangsa saat itu tampak sangat nyata di depan mata. Atas nasehat KH. Wahab Chasbullah, seorang kiai kharismatik sekaligus politisi Nahdlatul Ulama, Presiden Soekarno menyelenggarakan silaturrahmi tokoh-tokoh politik nasional mengiringi Perayaan Idul Fitri dengan tajuk ‘Halal bi Halal’. Tujuannya adalah merekatkan kembali para elit politik yang tengah bersetikai untuk duduk bersama membicarakan kepentingan bangsa.

Istilah ‘Halal bi Halal’ sendiri, sekalipun menggunakan kosa kata Arab, sama sekali bukan Bahasa Arab. Istilah ini tidak ditemukan di kamus Bahasa Arab atau digunakan oleh para penutur asli Bahasa Arab. Istilah ini bisa dikatakan adalah kreativitas lokal tokoh Islam Indonesia (KH. Wahab Chasbullah) untuk menamai pertemuan kolektif pasca-Idul Fitri yang diadakan dengan semangat untuk saling memaafkan.
 
Claire Moon (2009:258) menyatakan bahwa salah satu faktor fundamental dalam rekonsiliasi adalah pengakuan kesalahan dan permintaan maaf. Pengakuan kesalahan dan permintaan maaf diyakini mampu mejadi katarsis dan penyembuhan untuk keluar dari situasi konflik. Menurut Moon, kerumitan rekonsiliasi terletak pada upayanya untuk menjawab dua tuntutan yang seringkali sangat sulit dipenuhi tapi tidak mungkin diabaikan: keadilan dan perdamaian. Tidak mungkin membangun perdamaian dengan mengabaikan penegakan keadilan karena hal itu seakan membenarkan kejahatan dan ketidakadilan. Namun menegakkan hukum kepada para pelaku kejahatan bisa jadi menggagalkan upaya rekonsiliasi, justru karena rekonsiliasi menginginkan perdamaian semua pihak, baik pelaku maupun korban.

Rekonsiliasi berbeda dengan revolusi kemerdekaan di mana yang dilawan adalah penjajah asing yang harus dikalahkan dan disingkirkan. Dalam rekonsiliasi, kedua belah pihak adalah bagian dari bangsa itu sendiri yang tidak mungkin diusir atau dimusnahkan. Rekonsiliasi bekerja dalam kerangka kesatuan bangsa, di mana kedua belak pihak bertekad membangun kehidupan bangsa yang damai dan adil di masa depan.

Belajar dari Afrika Selatan, misalnya, tuntutan keadilan dan perdamaian dalam proses rekonsiliasi dipenuhi oleh TRC (Truth and Reconciliation Commission/Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) melalui forum pengakuan bagi para pelaku kejahatan masa lalu untuk menceritakan kebenaran, mengakui kesalahan, dan meminta maaf secara terbuka di depan Sidang Komisi. Bayangkan, seorang polisi yang telah melakukan pembunuhan dan penyiksaan para aktivis pro-demokrasi membuat pengakuan secara jujur dan terbuka apa yang telah dilakukannya. Di akhir pengakuaannya, dia meminta maaf dan menyatakan kehidupan ideal apa yang dia inginkan di masa depan (Moon 2009:271). Atau, seorang ibu yang telah kehilangan anak laki-lakinya sepuluh tahun, kemudian suatu hari dia membaca surat kabar dan membaca berita tentang pengakuan seorang polisi bahwa dia dan kawan-kawannya telah menangkap anak itu, menyiksanya hingga otaknya mengalami pendarahan, membawanya ke tempat terpencil, menembaknya, kemudian membakar jasadnya. Saat jasad anak itu tebakar, si polisi dan kawan-kawannya meminum bir seakan-akan tengah mengadakan persta berbekyu (Stauffer 2014).

Cara yang ditempuh Afrika Selatan dalam melakukan rekonsiliasi nasional memang sangat epik. Perdamaian ke depan di bangun tidak dengan melupakan kesalahan masa lalu dan membiarkan para pelaku kejahatan melenggang seakan apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah kesalahan. Para pelaku kejahatan diampuni tapi mereka harus membuat pengakuan dan permintaan maaf. Tidak memuaskan semua pihak memang, tapi rekonsiliasi bukanlah pembalasan dendam atau penegakan hukum sebagaimana yang terjadi dalam situasi kehidupan normal. Jill staufer (2014) menyebut proses rekonsiliasi di Afrika Selatan ini dengan istilah “speaking trut to reconciliation”.

Dalam konteks halalbihalal, speaking truth sebagai mekanisme rekonsiliasi adalah sikap timbal-balik untuk mengakui segala kesalahan dan permaafan. Bukan perkara mudah untuk berendah hati mengakui kesalahan dan meminta maaf termasuk memaafkan orang lain. Hanya orang yang memiliki kebesaran jiwa yang sanggup melakukannya. Halal bi Halal menyediakan kesempatan bagi setiap orang, termasuk para politisi, untuk mengakui kesalahan dan membuka pintu maaf karena pada akhirnya tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.

Tak perlu membayangkan seorang politisi berdiri di sebuah forum resmi dan membuat pengakuan tindakan-tindakan dalam melakukan kecurangan, mengorkretrasi penyebaran kebencian hingga plot pembunuhan. Namun, jika semua pihak memanfaatkan momentum Halal bi Halal untuk secara jujur mengakui kesalahan-kesalahannya dan memohon maaf atas apa yang dilakukannya, itu akan menjadi langkah penting dalam membangun harmoni dan persatuan nasional.

Saat ini, memanfaatkan momentum Halal bi Halal untuk rekonsiliasi nasional terasa sangat penting karena bahkan Halal bi Halal yang sehartusnya menyatukan pun dimanipulasi untuk menebar kebencian dan mengokohkan perpecahan.

Penulis adalah dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya